Okay ... Yuk baca sama - sama artikel dibawah ini, artikel ini kami kutip dari website PKBI DIY
Ada Pepatah mengatakan "TAK KENAL MAKA TAK SAYANG", maka mari pertama kita mengenal terlebih dahulu asal - usul budaya PATRIARKI
Mengapa kaum perempuan masih dianggap
sebagai warga negara kelas dua? Mengapa mereka terpasa harus memilih
antara menjadi ibu yang “baik” atau menjadi wanita (pemburu) karir yang
“hanya mementingkan diri sendiri”? Mengapa kapasitas untuk melahirkan
anak membatasi rentang pilihan yang tersedia bagi kaum perempuan,
sementara kapasitas untuk menghasilkan anak tak membatasi kaum lelaki?
Anggapan bahwa perempuan memiliki
derajat yang lebih rendah daripada laki-laki ternyata tidak tercipta
sejak dahulu kala. Berbagai penelitian arkeolog menunjukkan bukti yang
berbeda. Dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan
dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan
dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan
mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis
tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku
melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua laki-laki dan
perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai jauh ke abad ke
19. Dalam masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar
perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan
mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya.
Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena
setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku.
Demikian pula yang berlaku di tengah
suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan perempuan
dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.
Namun jika kita cermati lebih lanjut,
masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki
benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan
perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama
mereka. Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun
masih dalam bentuk sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di
tengah masyarakat Jermania dan Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah
pengisi waktu ketika hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu
tempat. Data-data arkeologi bahkan menunjukkan bahwa pertanian primitif
ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan sebagai pengisi waktu senggang,
dan tidak dianggap sebagai satu hal yang terlalu penting untuk dapat
dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.
Namun, ketika berbagai masyarakat
manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat pertanian, seluruh
struktur masyarakat pun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara
laki-laki dan perempuan.
Pertanian dan Bangkitnya Patriarki
Berlawanan dengan pandangan umum tentang
bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan sukarela
memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan bahwa
manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang
cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi
menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh
perubahan kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi
mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul
bahan makanan.
Peradaban pertanian yang pertama kali
muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya lahir dari
terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang rumput
yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah
musnah ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia
sampai pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 – 11.000 tahun
yang lalu, ketika Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini
mengalami ketandusan akibat perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari
daerah Arabia dan meluas ke utara dan selatan. Bersamaan dengan
mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan buruan akan berpindah
mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan pengumpul yang
mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah sungai
Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai
Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak
tertembus oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang
masih perawan seperti ini dapat kita lihat di Papua. Karena terjepit
antara dua keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka,
kelompok-kelompok pemburu dan pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk
bergerak memasuki lembah-lembah sungai ini dan berusaha menaklukkannya –
setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih tersedia air.
Proses penaklukan ini pasti berjalan
dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki, pada awalnya,
hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan
improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk
membersihkan lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses
pembukaan lahan ini dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara
jarang ada binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki
lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada keharusan untuk
menemukan sumber makanan lain.
Dan di saat inilah, menurut data
arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Mereka
menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi
tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang
tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan
utama seluruh masyarakat.
Keharusan manusia untuk menemukan
cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat perkembangan
teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian, jika
dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya.
Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat
dikerjakan bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian
(individual). Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini
berangsur-angsur berubah dari proses komunal menjadi proses individual.
Dan, hal yang paling wajar ketika
pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa hasilnya
kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia.
Di samping itu, pertanian sesungguhnya
menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan mengumpul. Tiap kali
panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada yang dapat
dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil lebih pada pri-kehidupan manusia.
Namun, hasil lebih ini tidaklah muncul
secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen, mereka
mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai
panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan
membagi hasil lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan
ini menumbuhkan tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian
memperkenalkan Negara pada pri-kehidupan manusia. Sekalipun
berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik,
perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada
pri-kehidupan manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan,
baik melalui penaklukan atau melalui proses inkulturasi, pada
peradaban-peradaban lain di seluruh dunia. Dan salah satu perubahan
penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Pertama, pertanian pada awalnya
membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi
yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah
pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses reproduksi
manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan
sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas seksual,
yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah
masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang
penting. Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah
masyarakat pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah
melainkan juga tingkat kesuburan reproduksi perempuan.
Dan sebagai akibat logis dari keadaan
ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di tengah
masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam
kegiatan-kegiatan reproduktif.
Kedua, teknologi pertanian yang
maju semakin pesat ini ternyata malah membuat aktivitas produksi di
sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan
arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak (luku) telah menggusur
kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak merupakan alat pertanian
yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih
lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di
mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan
kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam
pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya
hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup. Karena perempuan semakin
tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin
tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika
perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki
mulai menampakkan batang hidungnya di muka bumi.
Dikutip Dari : PKBI - DIY "ASAL - USUL BUDAYA PATRIARKI" https://pkbi-diy.info/asal-usul-budaya-patriarki/
Topik selanjutnya, kira - kira kita akan bahas apa yaa ?
STAY TUNE yah di blog LBH APIK SEMARANG
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kaum Perempuan di Antara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi", https://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08481931/kaum.perempuan.di.antara.budaya.patriarki.dan.diskriminasi.regulasi.
Penulis : Kristian Erdianto
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kaum Perempuan di Antara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi", https://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08481931/kaum.perempuan.di.antara.budaya.patriarki.dan.diskriminasi.regulasi.
Penulis : Kristian Erdianto
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kaum Perempuan di Antara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi", https://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08481931/kaum.perempuan.di.antara.budaya.patriarki.dan.diskriminasi.regulasi.
Penulis : Kristian Erdianto
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kaum Perempuan di Antara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi", https://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08481931/kaum.perempuan.di.antara.budaya.patriarki.dan.diskriminasi.regulasi.
Penulis : Kristian Erdianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar