Minggu, 12 April 2020

Mereka yang Terus Bekerja untuk Korban...



0leh : Soka Handinah Pengurus LBH APIK Semarang

Di tengah pandemik Covid-19 yang getir ini, para pekerja kemanusiaan pendamping korban tetap bekerja. Mereka tidak dapat bekerja di rumah. Mengapa? Karena aksi kekerasan terhadap perempuan ternyata sama sekali tidak berhenti.

Pada Minggu, 29 Maret 2020, ada laporan kasus yang masuk berupa kekerasan seksual pada anak. Kasus itu dirujuk oleh paralegal komunitas ke divisi pelayanan hukum LBH APIK Semarang.

Paralegal pun ternyata terus bergerak. Mereka saling memberi motivasi. Padahal, secara ekonomi mereka merupakan para pekerja sektor informal yang sangat bergantung pada pendapatan harian, sehingga mereka pun tergolong dalam kelompok masyarakat yang sangat terpukul dengan adanya pandemik ini.

Malam harinya, tanpa kenal lelah dan dalam kondisi yang serba terbatas, mereka langsung melakukan koordinasi untuk menentukan langkah-langkah pendampingan selanjutnya. Termasuk menyikapi adanya anjuran dari pihak luar kepada keluarga untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, atau dengan kata lain menyelesaikan di luar proses hukum. Ini suatu solusi yang sangat dihindari oleh LBH APIK Semarang.

Di samping itu, korban dan keluarga yang pasti sangat terpukul, tertekan, malu dan kebingungan juga membutuhkan pendampingan dengan segera. Hal itu merupakan suatu kondisi yang tidak dapat ditunda.
Pada Senin hari ini, mereka sudah memutuskan akan melakukan intervensi penguatan psikologis kepada korban dan keluarganya.

Mereka juga akan melakukan penyusunan kronologi dan legal opinion, melakukan koordinasi dengan aparatur penegak hukum dan koordinasi dengan jaringan penanganan korban di kabupaten, dan lain-lain. Ketersediaan perlengkapan yang dibutuhkan di lapangan telah dikoordinasikan juga tadi malam.

Respons dari para pendamping korban di LBH APIK Semarang sangat mengharukan dan membanggakan. Salut dan hormat yang sedalam-dalamnya terhadap teman-teman LBH APIK Semarang, dan juga lembaga penyedia layanan lainnya yang masih tetap bergerak di tengah keterbatasan yang semakin mendesak ini.



Pembakaran Mira: Nasib Manusia di Bawah Meja,...




0leh : Soka Handinah, Pengurus LBH APIK Semarang


Di sela-sela berita tentang pamdemi corona, minggu lalu rasa kemanusiaan kita tercabik-cabik dengan kasus pembakaran Mira.

Mira adalah nama seorang transgender, selama ini masyarakat menyebutnya waria, yang dianiaya dan dibakar sampai mati oleh beberapa pria di Jakarta minggu yang lalu.

Mira mewakili mereka yang kehidupannya tak masuk dalam hitungan statistik, maka dia juga tak "tampak" oleh kelas menengah apalagi elit pengambil kebijakan.

Tidak banyak media massa yang memberitakan kematian Mira yang tragis itu. Selain berita-berita tentang pandemi corona, media massa lebih memilih untuk memberitakan liga Inggris yang ditunda, gaji pemain-pemain premiere league yang dipotong, atau Ronaldo yang bercukur rambut di rumah karena stay at home.

Karena dianggap tidak normal, maka Mira-Mira ini seringkali tidak diakui keluarganya, disiksa, disembunyikan, dibuang. Oleh masyarakat dihina, dilecehkan dibully dan dianggap liyan atau "orang lain" (excluded). Mereka adalah manusia "dibawah meja". Ada (exist), berguna/bermanfaat, tapi tidak pantas untuk ditampilkan dan bisa dibuang begitu saja bila sudah dianggap tidak berguna.

Karena tidak diterima di dunia kerja, maka sebagian besar Mira-Mira ini terjun ke dunia prostitusi. Mereka mendapatkan nafkah dari para laki-laki yang menjadi kliennya. Kita tidak tahu (atau merasa tidak perlu tahu) apakah pendapatan Mira-Mira ini terdampak dengan  situasi pandemi belakangan. Padahal mereka perlu uang juga buat makan, bayar kontrakan, atau kirim uang ke keluarga di kampung.

Mereka punya banyak pelanggan, laki-laki muda, dewasa atau yang sudah usia lanjut. Saya pernah nongkrong di jalanan Yogya di waktu malam. Si Mira Yogya sedang kedatangan klien tetapnya, seorang laki-laki berambut putih mengendarai mobil bagus.
Usai memberikan layanan Mira Yogya cerita, si Bapak suka gaya-gaya tertentu.

Biasanya bapak-bapak ini memiliki kehidupan diatas meja, sebagai laki-laki "normal" yang mempunyai isteri dan anak-anak, pekerjaan atau jabatan yang cukup terhormat atau bahkan bergengsi.

Sebetulnya cerita-cerita seperti itu tidaklah sulit kita jumpai. Banyak sekali. Tapi adanya dibawah meja.

Ketika si klien terhormat ada masalah barang/uangnya hilang, maka mudah sekali menuduh manusia di bawah meja itu, semudah pula menghukumnya, bahkan melenyapkannya....

Banyak uang negara hilang trilyunan, jelas pula pencurinya, tapi sangat tidak mudah menghukum pencurinya. Karena mereka manusia diatas meja.