Selasa, 10 Maret 2020

PENELITIAN HUKUM URGENSI PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

 





BAB I

PENDAHULUAN

 

A.        PENDAHULUAN

 

 Istilah Pekerja Rumah Tangga (PRT) telah diatur didalam Pasal 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menyebutkan bahwa Pekerja Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PRT adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain.

Negara Indonesia sudah saat nya memberikan perlindungan secara hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT), hal tersebut sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labor Organisation (ILO) Nomor 189 Tahun 2011. Konvensi ILO Nomor 189 Tahun 2011 telah mengatur mengenai perlindungan khusus bagi PRT. Konvensi tersebut juga menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar, dan mengharuskan negara mengambil langkah untuk mewujudkan kerja layak bagi PRT.

Pada 14 Juni 2012 Uruguay menjadi negara pertama yang meratifikasi Konvensi ILO 189, dan Negara Filipina pada 5 September 2012 menyusul menjadi negara kedua di dunia yang meratifikasi Konvensi ILO 189 dan menjadi negara pertama di ASEAN yang meratifikasi konvensi ini. Sepanjang tahun 2013 ada 11 (sebelas) negara meratifikasi Konvensi ILO 189, yang menjadikannya salahsatu konvensi yang paling cepat perkembangan ratifikasinya. Pada Januari 2014 Komisi Eropa mengeluarkan resolusi yang memberi otorisasi pada negara anggota untuk meratifikasi Konvensi ILO 189.

Berdasarkan catatan LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) Semarang bahwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika mengalami kecelakaan kerja tidak ada perlindungan hukum khusus yang mengatur untuk perlindungan hak mereka sehingga ketika PRT yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau mendapatkan kekerasan dari pemberi kerja hingga mengalami cacat tubuh seumur hidup, negara tidak hadir secara maksimal dalam perlindungan PRT tersebut, dikarenakan tidak ada nya aturan hukum khusus yang mengatur tentang perlindungan untuk PRT.

Negara Indonesia dapat mencontoh Negara Filipina yang telah meratifikasi Konvensi ILO 189 bahwa PRT di Filipina selain mendapatkan perlindungan hukum dari Negara Filipina juga mendapatkan gaji sesuai dengan standar tertentu sebagaimana dengan pekerja di tempat lain seperti di perusahaan.

Berdasarkan permasalahan terhadap PRT di Negara Indonesia maka LBH APIK Semarang melakukan penelitian hukum mengenai pentingnya perlindungan terhadap PRT, perlindungan tersebut dituangkan dalam suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap PRT di Negara Indonesia, dengan judul penelitian hukum yaitu URGENSI PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT).

B.         PERMASALAHAN

1)    Bagaimana bentuk perlindungan dari negara terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja?

2)    Mengapa rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) penting untuk disahkan?

C.       TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan dilaksanakan penelitian hukum tentang URGENSI PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) adalah:

1)     Terwujudnya keadilan dalam sistem peradilan melalui bantuan hukum gender struktural, baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan terhadap PRT yang mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja.

2)     Terwujudnya pengesahan rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai dasar hukum yang mengatur tentang perlindungan PRT.

D.        LOKASI PENELITIAN

            Penelitian ini dilakukan di Kantor LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) SEMARANG di Jalan Poncowolo Timur  Raya No. 455, RT 007, RW 006, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

E.         SASARAN PENELITIAN

            Sasaran penelitian ini adalah Pekerja Rumah Tangga khususnya Komunitas Pekerja Rumah Tangga yang didampingi oleh LBH APIK Semarang dan mitra (klien) LBH APIK Semarang yang bekerja sebagai PRT yang mengalami kekerasan berbasis gender dari pemberi kerja.


BAB II

METODE PENELITIAN

 1.         Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis karena mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji mendasarkan pada norma-norma, peraturan-peraturan, perundang-undangan, teori-teori hukum, dan pendapat-pendapat ahli hukum khususnya mengkaji ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga dalam aturan di negara Indonesia.

2.         Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian bertujuan untuk mendekati pokok masalah penelitian, dengan menggunakan penelitian deskriptif analitis yaitu dengan melukiskan keadaan masalahnya tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Berdasarkan pada undang-undang, norma hukum positif dan doktrin-doktrin hukum.

3.         Sumber Data

Sumber data yang diambil menggunakan sumber data primer dan sumber utama data sekunder diambil dari literatur, buku-buku, makalah-makalah, putusan pengadilan, serta bahan-bahan hukum lain yang berkaitan dengan ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga dalam aturan di negara Indonesia.

4.        Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan.

1)         Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan cara memperoleh data secara tidak langsung dari objek penelitian yaitu dalam bentuk mempelajari literatur, peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lain yang erat kaitannya dengan ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga dalam aturan di negara Indonesia, meliputi:

a)        Bahan Hukum Primer

1.         UUD 1945;

2.     Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

3.         Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT);

4.     Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;

5.         Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

6.         Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;

7.         Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

8.         Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Jakarta: 2015.

b)        Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diambil dari literatur,buku-buku dan makalah-makalah serta bahan-bahan hukum lain yang berkaitan dengan Ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga dalam aturan di negara Indonesia.

c)        Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk asas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

5.         Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif yaiu analisis yang sifatnya non-statistik atau non-matematis. Data yang sudah diperoleh akan di analisis isinya dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli dan peraturan perundang-undangan yang ada, untuk selanjutnya di susun secara sistematis dalam bentuk laporan penelitian.

 

                                                                     BAB III

HASIL PENELITIAN

 

1)    Bentuk perlindungan dari negara terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja

Pengalaman LBH APIK dalam penanganan kasus bahwa budaya patriakhi masih kental mempengaruhi sistem hukum di Negara Indonesia baik di ranah substansi hukum, struktur hukum serta budaya hukum. Sistem hukum yang bias gender ini sangat merugikan perempuan korban sehingga seringkali kehilangan hak-haknya karena sistem hukum yang tidak mendukung untuk memperoleh akses keadilan bagi dirinya.

LBH APIK Semarang memberikan bantuan hukum bagi perempuan dengan konsep Bantuan Hukum Gender Struktural (BHGS), di gagas untuk mengisi ruang kosong dimana struktur yang timpang dan masyarakat miskin menjadi korban kekerasan. Konsep BHGS menggunakan pengalaman penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai pintu masuk untuk melakukan advokasi perubahan sistem hukum yang adil dan setara gender. Beberapa produk hukum dan kebijakan yang didorong LBH APIK dari konsep kerja BHGS ini, salahsatunya adalah advokasi lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Menurut pengalaman LBH APIK Semarang di tahun 2016 – tahun 2020 dalam pendampingan bantuan hukum terhadap kelompok rentan antaralain Pekerja Rumah Tangga (PRT) khususnya perempuan yang bekerja sebagai PRT, ketika mereka mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja dari pemberi kerja (majikan) tidak adanya bentuk tanggung jawab penuh dari pemberi kerja, maupun negara untuk keberlangsungan kehidupan PRT tersebut. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya aturan hukum khusus yang mengatur tentang perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

LBH APIK Semarang ketika melakukan pendampingan bantuan hukum dan pemberdayaan terhadap PRT  yang mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja akan bersinergi bersama dengan Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Merdeka Semarang dan lembaga terkait dalam proses penanganan kasus PRT tersebut misal JALA, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan lembaga terkait lainnya.

Menurut pengalaman LBH APIK Semarang dalam pendampingan bantuan hukum terhadap PRT (korban) yang mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja dalam proses bantuan hukum terdapat hambatan selain tidak adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap PRT, hambatan lainnya adalah keterbukaan informasi dari pihak keluarga korban. Keterbukaan informasi dari pihak keluarga korban menjadi bagian hal terpenting dalam bentuk dukungan psikologis untuk korban, karena jika keluarga tidak memberikan keterbukaan informasi dalam proses investigasi terhadap permasalahan yang terjadi pada korban maka pihak lembaga terkait yang turut serta membantu dalam proses pendampingan bantuan hukum untuk korban juga akan menghentikan proses pendampingan, karena tidak adanya komitmen dari pihak keluarga terutama sebagai pihak pemberi kuasa untuk mewakili korban.

Pihak keluarga korban terkadang sudah mendapatkan intimidasi dan/atau merasa “balas budi” terhadap pemberi kerja sehingga jika akan melakukan proses hukum terhadap pemberi kerja maka akan ada rasa kekhawatiran dari pihak keluarga mendapatkan intimidasi yang lain dan/atau merasa bersalah. Hal tersebut terjadi pada PRT yang telah lama bekerja dengan pemberi kerja yang sistem kerja nya seperti sudah dianggap sebagai “keluarga”.

Namun, fakta yang terjadi ketika PRT mengalami kekerasan dari pemberi kerja dan/atau kecelakaan kerja oleh pihak pemberi kerja tidak bertanggung jawab, dan tidak ada komitmen yang dibuat secara tertulis jika sanggup bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup korban hingga seumur hidup korban, hal tersebut untuk korban yang sudah tidak dapat bekerja lagi akibat dari kekerasan dan/atau kecelakaan kerja yang dialami korban.

Menurut catatan LBH APIK Semarang bahwa PRT yang bekerja tidak ada pemberian jaminan sosial dari pemberi kerja, sehingga ketika terjadi kekerasan dan/atau kecelakaan kerja yang dialami oleh PRT menyebabkan PRT mengalami hambatan dalam proses keberlanjutan biaya perawatan ketika di rumah sakit maupun pemulihan.

CONTOH KASUS I  DI KABUPATEN KUDUS

 LBH APIK Semarang  di Tahun 2016 hingga Tahun 2017 bersama Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga mendampingi seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang mengalami kekerasan dari pemberi kerja (majikan), kekerasan tersebut berupa kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan fisik tersebut diantaranya yang dilakukan oleh pemberi kerja (pelaku) kepada PRT tersebut (korban) dengan cara menendang, memukul dengan menggunakan sapu atau benda tumpul lainnya hingga menimbulkan rasa sakit pada korban, menyulut rokok di kepala korban, meletakan setrika panas di perut korban akibat perbuatan pelaku tersebut mengakibatkan luka yang sangat parah pada tubuh korban, korban yang saat itu disekap oleh pelaku akhirnya melarikan diri ketika mendapatkan peluang melarikan diri dari rumah pelaku. Korban yang bekerja dengan pelaku selama kurang lebih hampir 1 (satu) tahun tidak mendapatkan gaji dari pelaku.

LBH APIK Semarang bersama Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga dan lembaga jaringan melakukan pendampingan bantuan hukum dan pemberdayaan terhadap korban untuk agar terpenuhinya hak-hak korban sebagi wujud terbentuknya rasa keadilan. Keluarga korban melakukan pelaporan ke kantor kepolisian dan saat itu sempat mendapatkan penolakan laporan dikarenakan alasannya tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kami memberikan informasi hukum terkait adanya aturan hukum yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa PRT juga mendapatkan perlindungan dalam aturan hukum tersebut terkait ketika seorang PRT mendapatkan kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,  yang  berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi: a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang  yang  mempunyai hubungan  keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap  dalam rumah tangga tersebut. (2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Pelaku yang merupakan suami isteri yang telah melakukan kekerasan berupa fisik dan psikis terhadap korban dikenakan Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada   ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak      Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dengan, putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kudus terhadap pelaku yaitu hukuman penjara selama 8 tahun penjara dan 7 tahun penjara. Namun, didalam putusan tersebut tidak dicantumkan mengenai hak gaji korban yang belum terbayarkan oleh pelaku. Dinas Ketenagakerjaan pun tidak dapat melakukan pendampingan terkait hak gaji korban tersebut, dikarenakan tidak adanya aturan hukum khusus yang mengatur mengenai perlindungan PRT.

Korban yang telah mendapatkan kekerasan dari pelaku hingga menimbulkan luka cacat seumur hidup dan korban pun tidak dapat beraktivitas maupun bekerja lagi, hal tersebut negara wajib hadir memberikan hak-hak korban yang pelaku pun tidak dapat memberikan hak-hak korban tersebut antaralain hak gaji korban, hak pemulihan kesehatan jasmani korban, hak pemulihan psikologis korban, hak rehabilitasi korban di dalam masyarakat, hak pemberdayaan ekonomi korban agar korban dapat melanjutkan kehidupan korban secara mandiri ekonominya. 

CONTOH KASUS II DI KOTA SEMARANG

 LBH APIK Semarang di Tahun 2020 bersama Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga mendampingi seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang mengalami kecelakaan kerja pada tanggal 31 Januari 2020 di rumah pemberi kerja, saat itu korban sedang mengasuh anak pemberi kerja dan sebuah kerudung tanpa sengaja terjatuh tersangkut di kabel listrik kemudian korban mengambilnya dengan sebuah tongkat yang mengakibatkan korban tersetrum dan saat itu ada anak kedua korban yang melihat korban tersetrum langsung membantu korban dan akhirnya anak kedua korban turut tersetrum.

Kecelakaan kerja tersebut hingga menyebabkan kedua tangan korban harus diamputasi dan tangan kanan serta 3 jari kaki kiri anak kedua korban juga diamputasi. Korban bekerja dengan pemberi kerja selama 6 (enam) tahun dan selama bekerja tidak mendapatkan jaminan sosial dari pemberi kerja. Ketika korban diakseskan ke rumah sakit dari pihak pemberi kerja pun meminta untuk ke pihak keluarga menyampaikan ke pihak rumah sakit bahwa hal yang dialami oleh korban dan anak kedua korban terjadi dirumah saudara korban agar biaya rumah sakit dapat menggunakan BPJS PBI yang dimiliki oleh korban, padahal pemberi kerja termasuk dalam segi ekonomi mampu. Biaya perawatan korban dan anak kedua korban di rumah sakit menggunakan akses BPJS PBI.

Korban pulang dari rumah sakit pada tanggal 20 Februari 2020 meninggal dunia pada jam 01.00 WIB tanggal 22 Februari 2020. Saat ini komitmen pemberi kerja terhadap jaminan kesejahteraan kehidupan anak kedua korban yang belum dilakukan oleh pemberi kerja antaralain biaya kuliah anak kedua korban yang memang saat ini korban telah meninggal dunia, yang selama ini korban sebagai tulang punggung keluarga termasuk membiayai kuliah anak kedua korban dan anak pertama korban juga yang masih kuliah.

  

 Kasus diatas merupakan 2 contoh kasus PRT yang mengalami kekerasan dari pemberi kerja dan PRT yang mengalami kecelakaan kerja di rumah pemberi kerja, yang LBH APIK Semarang bersama dengan Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Merdeka Semarang bersama lembaga terkait lainnya turut mendampingi dalam proses pendampingan bantuan hukum maupun proses pemberdayaan untuk korban.[1]

Bentuk perlindungan dari negara terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja pun tidak dapat secara maksimal dikarenakan tidak adanya aturan khusus yang mengatur khusus tentang perlindungan terhadap PRT, terutama ketika akan mengakses program-program pemerintah yang ada kaitannya terhadap korban kekerasan dan/atau kecelakaan kerja, pemerintah tidak “jemput bola” namun pihak keluarga perwakilan dari korban dan/atau korban nya langsung yang hadir ke instansi terkait untuk mengajukan permohonan bantuan sosial untuk proses pemberdayaan hidup korban pasca kekerasan dan/atau kecelakaan kerja yang dialami korban.

2)        Rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) penting untuk disahkan

            Contoh kasus yang terjadi di  Kabupaten Kudus dan Kota Semarang merupakan gambaran fakta bahwa pentingnya adanya suatu aturan khusus yang mengatur terhadap perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal tersebut karena PRT termasuk ke dalam kelompok rentan khususnya perempuan yang bekerja sebagai PRT. PRT tergolong ke dalam pekerja non-formal yang masih berada di luar jangkauan pengaturan ketenagakerjaan.

Kondisi ini tentunya memerlukan perhatian khusus, karena sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, untuk penyebutan PRT (Pekerja Rumah Tangga) dengan Pembantu Rumah Tangga, dan perencanaan kerja antara pemberi kerja dengan PRT juga tidak diatur dengan adanya sebuah perjanjian tertulis sehingga UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam perlindungan terhadap PRT ketika seorang PRT mengalami kekerasan dari pemberi kerja dan/atau kecelakaan kerja.

Menurut ketentuan Pasal 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[2] menyebutkan bahwa segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja (ayat 1); Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (ayat 2); Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (ayat 3); Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (ayat 4).

Rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah 16 (enam) belas tahun diperjuangkan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA) bersama dengan lembaga terkait lainnya yang fokus terhadap kelompok rentan khususnya PRT termasuk LBH APIK Semarang bersama dengan Serikat Pekerja Rumah Tangga Merdeka Semarang.

Pekerja Rumah Tangga (PRT) rentan menjadi korban kekerasan dari pemberi kerja dan/atau kecelakaan kerja saat menjalankan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara PRT dengan pemberi kerja.

Menurut Abdussalam menyebutkan bahwa victim (korban) adalah orang yang telah mendapatkan penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.[3]

Menurut Arif Gosita menyebutkan bahwa pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani (fisik dan mental) sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.[4]

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menyebutkan bahwa korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.[5]

Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menyebutkan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban atau ahli warisnya.[6]

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat menyebutkan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusa yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasaan pihak manapun.[7]

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga apabila disahkan maka akan ada nya aturan khusus yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga khususnya adanya aturan mengenai sanksi pidana terhadap pelaku yang melakukan kekerasan terhadap PRT selama PRT tersebut bekerja. Menurut Bambang Waluyo menyebutkan bahwa tersangka adalah sebutan seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam tahap penyidikan.[8]

Menurut Roger Hood, tujuan pidana selain untuk mencegah pelaku atau potensial pelaku melakukan tindak pidana, pidana juga ditunjukan untuk:[9]

1)      Memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values);

2)      Menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime).

Konvensi Badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) urusan ketenagkerjaan, ILO mengatur prinsip dan norma internasional dalam rangka melindungi nasib PRT. Dalam konvensi ini didefinisikan secara umum relasi antara pekerja dan pemberi kerja memiliki kewajiban tertentu agar saling menghormati hak dan kewajiban. Pentingnya ratifikasi aturan ini bagi Pekerja Rumah Tangga di Negara Indonesia maupun di luar negeri adalah mensosialisasikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan secara layak, meningkatkan perekonomian dan menghapuskan eksploitasi.

Meskipun saat ini telah ada Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, namun peraturan tersebut belum dalam bentuk undang-undang sehingga belum ada aturan khusus yang mengatur tentang adanya sanksi pidana dan perdata bagi pemberi kerja apabila melakukan kekerasan terhadap PRT serta tidak adanya konsekuensi bagi pemberi kerja jika tidak memfasilitasi jaminan sosial kepada PRT, dan dalam ketentuan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah, menggunakan istilah “Pengguna Kerja” bukan “Pemberi Kerja” dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berikut aturan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menyebutkan bahwa Pekerja Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PRT adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain (ayat 1). Pengguna PRT yang selanjutnya disebut Pengguna adalah orang perseorangan yang mempekerjakan PRT dengan membayar upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain (ayat 2).

Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga manusia yang memiliki hak asasi manusia dalam berkehidupan masyarakat sehingga berhak mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan sosial. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan terjemahan dari istilah droits de l’homme dalam bahasa perancis yang berarti hak-hak manusia atau dalam Bahasa Inggris human rights dan dalam bahasa belanda mensencrehten. Negara Indonesia, umumnya digunakan istilah hak asasi manusia yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam Bahasa Inggris dan grondrechten dalam Bahasa Belanda, sebagian orang menyebutnya dengan istiah hak-hak fundamental sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam Bahasa Inggris dan fundamentele rech-ten dalam Bahasa Belanda. Negara Amerika Serikat selain digunakan istilah human rights digunakan pula istilah civil-rights.[10]  

Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengartikan Hak Asasi Manusia (HAM) diartikan sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan di junjung tinggi dan di lindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta pada dengan harkat dan martabat manusia.[11]

Sehingga pengesahan rancangan undang-undang perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangatlah urgensi untuk segera disahkan, agar adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga.

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

 

1.     Kesimpulan

Pengesahan rancangan undang-undang perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangatlah urgensi untuk segera disahkan, agar adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga.

 

2.     Saran

Negara Indonesia segera melakukan pengesahan rancangan undang-undang perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di tahun 2020, agar adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

1.           Buku

Abdussalam, Victimology. Jakarta: PTIK, 2010.

Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademia Presindo, 1989.

Naning, Ramdlon. Cita dan Citra Hak Asasi Manusia. Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,1983.

Renggong, Ruslan. Hukum Pidana Khusus. Jakarta: PT  Balebat Dedikasi Prima.

Sambas, Nandang. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

 

2.           Peraturan Perundang-Undangan

Sekretariat Negara RI. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: 2003.

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Jakarta: 2004.

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jakarta: 2004.

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: 2006.

Sekretariat Negara RI. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Jakarta: 2015.

 

3.           Artikel

Laporan tahunan  Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, Semarang: 2016 - 2017.

 

Semarang, 10 Maret 2020

Mengetahui,

     

Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.

Direktur LBH APIK Semarang



[1]Laporan tahunan  Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, Semarang: 2016 - 2017.

[2]Sekretariat Negara RI. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: 2003.

[3]Abdussalam, Victimology (Jakarta: PTIK, 2010), halaman 5.

[4]Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta: Akademia Presindo, 1989), halaman 75.

[5]Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta: 2004.

[6]Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Jakarta: 2004.

[7]Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: 2006.

[8]Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), halaman 35-36.

[9]Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia (Yogyakarta:

 Graha Ilmu, 2010), halaman 17.

[10]Ramdlon Naning, Cita Dan Citra Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,1983), halaman 7.

[11]Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus,(Jakarta: PT  Balebat Dedikasi Prima,  Cetakan Ke-4, 2017), halaman 115-116.