BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Istilah Pekerja
Rumah Tangga (PRT) telah diatur didalam Pasal 1 Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menyebutkan bahwa Pekerja Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PRT adalah orang
yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan
pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk
lain.
Negara Indonesia sudah saat nya
memberikan perlindungan secara hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT), hal
tersebut sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labor Organisation
(ILO) Nomor 189 Tahun 2011. Konvensi ILO Nomor 189 Tahun 2011 telah mengatur
mengenai perlindungan khusus bagi PRT. Konvensi tersebut juga menetapkan
hak-hak dan prinsip-prinsip dasar, dan mengharuskan negara mengambil langkah
untuk mewujudkan kerja layak bagi PRT.
Pada 14 Juni 2012 Uruguay menjadi
negara pertama yang meratifikasi Konvensi ILO 189, dan Negara Filipina pada 5
September 2012 menyusul menjadi negara kedua di dunia yang meratifikasi
Konvensi ILO 189 dan menjadi negara pertama di ASEAN yang meratifikasi konvensi
ini. Sepanjang tahun 2013 ada 11 (sebelas) negara meratifikasi Konvensi ILO
189, yang menjadikannya salahsatu konvensi yang paling cepat perkembangan
ratifikasinya. Pada Januari 2014 Komisi Eropa mengeluarkan resolusi yang
memberi otorisasi pada negara anggota untuk meratifikasi Konvensi ILO 189.
Berdasarkan catatan LEMBAGA BANTUAN
HUKUM ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) Semarang bahwa
Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika mengalami kecelakaan kerja tidak ada
perlindungan hukum khusus yang mengatur untuk perlindungan hak mereka sehingga
ketika PRT yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau mendapatkan kekerasan dari
pemberi kerja hingga mengalami cacat tubuh seumur hidup, negara tidak hadir
secara maksimal dalam perlindungan PRT tersebut, dikarenakan tidak ada nya
aturan hukum khusus yang mengatur tentang perlindungan untuk PRT.
Negara Indonesia dapat mencontoh
Negara Filipina yang telah meratifikasi Konvensi ILO 189 bahwa PRT di Filipina
selain mendapatkan perlindungan hukum dari Negara Filipina juga mendapatkan
gaji sesuai dengan standar tertentu sebagaimana dengan pekerja di tempat lain
seperti di perusahaan.
Berdasarkan permasalahan terhadap
PRT di Negara Indonesia maka LBH APIK Semarang melakukan penelitian hukum
mengenai pentingnya perlindungan terhadap PRT, perlindungan tersebut dituangkan
dalam suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap PRT di
Negara Indonesia, dengan judul penelitian hukum yaitu URGENSI PENGESAHAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT).
B. PERMASALAHAN
1) Bagaimana
bentuk perlindungan dari negara terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika
mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja?
2) Mengapa
rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) penting untuk
disahkan?
C. TUJUAN DAN
MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dilaksanakan penelitian
hukum tentang URGENSI PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PEKERJA
RUMAH TANGGA (PRT) adalah:
1) Terwujudnya keadilan dalam sistem peradilan melalui bantuan
hukum gender struktural, baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan terhadap
PRT yang mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja.
2) Terwujudnya pengesahan rancangan undang-undang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai dasar hukum yang mengatur tentang
perlindungan PRT.
D. LOKASI
PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kantor LEMBAGA BANTUAN HUKUM
ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) SEMARANG di Jalan
Poncowolo Timur Raya No. 455, RT 007, RW
006, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang,
Provinsi Jawa Tengah.
E. SASARAN
PENELITIAN
Sasaran penelitian ini adalah Pekerja Rumah Tangga khususnya
Komunitas Pekerja Rumah Tangga yang didampingi oleh LBH APIK Semarang dan mitra
(klien) LBH APIK Semarang yang bekerja sebagai PRT yang mengalami kekerasan
berbasis gender dari pemberi kerja.
BAB II
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian yuridis karena mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji
mendasarkan pada norma-norma, peraturan-peraturan, perundang-undangan,
teori-teori hukum, dan pendapat-pendapat ahli hukum khususnya mengkaji
ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga dalam aturan di negara
Indonesia.
2. Spesifikasi
Penelitian
Spesifikasi penelitian bertujuan
untuk mendekati pokok masalah penelitian, dengan menggunakan penelitian
deskriptif analitis yaitu dengan melukiskan keadaan masalahnya tanpa maksud
untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Berdasarkan
pada undang-undang, norma hukum positif dan doktrin-doktrin hukum.
3. Sumber Data
Sumber data yang diambil
menggunakan sumber data primer dan sumber utama data sekunder diambil dari
literatur, buku-buku, makalah-makalah, putusan pengadilan, serta bahan-bahan
hukum lain yang berkaitan dengan ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah
Tangga dalam aturan di negara Indonesia.
4. Metode
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan.
1) Studi
Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan cara
memperoleh data secara tidak langsung dari objek penelitian yaitu dalam bentuk
mempelajari literatur, peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lain yang
erat kaitannya dengan ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga
dalam aturan di negara Indonesia, meliputi:
a) Bahan
Hukum Primer
1. UUD
1945;
2. Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT);
4. Undang-Undang
No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
5. Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
6. Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;
7. Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
8. Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga. Jakarta: 2015.
b) Bahan
Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diambil dari
literatur,buku-buku dan makalah-makalah serta bahan-bahan hukum lain yang
berkaitan dengan Ketentuan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga dalam
aturan di negara Indonesia.
c) Bahan
Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang memberikan
petunjuk asas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.
5. Metode
Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif yaiu analisis yang sifatnya
non-statistik atau non-matematis. Data yang sudah diperoleh akan di analisis
isinya dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum, pendapat para
ahli dan peraturan perundang-undangan yang ada, untuk selanjutnya di susun
secara sistematis dalam bentuk laporan penelitian.
HASIL PENELITIAN
1) Bentuk
perlindungan dari negara terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika mengalami
kekerasan dan/atau kecelakaan kerja
Pengalaman LBH APIK dalam penanganan
kasus bahwa budaya patriakhi masih kental mempengaruhi sistem hukum di Negara
Indonesia baik di ranah substansi hukum, struktur hukum serta budaya hukum.
Sistem hukum yang bias gender ini sangat merugikan perempuan korban sehingga
seringkali kehilangan hak-haknya karena sistem hukum yang tidak mendukung untuk
memperoleh akses keadilan bagi dirinya.
LBH APIK Semarang memberikan
bantuan hukum bagi perempuan dengan konsep Bantuan Hukum Gender Struktural
(BHGS), di gagas untuk mengisi ruang kosong dimana struktur yang timpang dan
masyarakat miskin menjadi korban kekerasan. Konsep BHGS menggunakan pengalaman
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai pintu masuk untuk
melakukan advokasi perubahan sistem hukum yang adil dan setara gender. Beberapa
produk hukum dan kebijakan yang didorong LBH APIK dari konsep kerja BHGS ini,
salahsatunya adalah advokasi lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Menurut pengalaman LBH APIK
Semarang di tahun 2016 – tahun 2020 dalam pendampingan bantuan hukum terhadap kelompok
rentan antaralain Pekerja Rumah Tangga (PRT) khususnya perempuan yang bekerja
sebagai PRT, ketika mereka mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan kerja dari
pemberi kerja (majikan) tidak adanya bentuk tanggung jawab penuh dari pemberi
kerja, maupun negara untuk keberlangsungan kehidupan PRT tersebut. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya aturan hukum khusus yang mengatur tentang perlindungan
Pekerja Rumah Tangga (PRT).
LBH APIK Semarang ketika melakukan
pendampingan bantuan hukum dan pemberdayaan terhadap PRT yang mengalami kekerasan dan/atau kecelakaan
kerja akan bersinergi bersama dengan Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga
(SPRT) Merdeka Semarang dan lembaga terkait dalam proses penanganan kasus PRT
tersebut misal JALA, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, dan lembaga terkait lainnya.
Menurut pengalaman LBH APIK
Semarang dalam pendampingan bantuan hukum terhadap PRT (korban) yang mengalami
kekerasan dan/atau kecelakaan kerja dalam proses bantuan hukum terdapat
hambatan selain tidak adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan
terhadap PRT, hambatan lainnya adalah keterbukaan informasi dari pihak keluarga
korban. Keterbukaan informasi dari pihak keluarga korban menjadi bagian hal
terpenting dalam bentuk dukungan psikologis untuk korban, karena jika keluarga
tidak memberikan keterbukaan informasi dalam proses investigasi terhadap
permasalahan yang terjadi pada korban maka pihak lembaga terkait yang turut
serta membantu dalam proses pendampingan bantuan hukum untuk korban juga akan
menghentikan proses pendampingan, karena tidak adanya komitmen dari pihak
keluarga terutama sebagai pihak pemberi kuasa untuk mewakili korban.
Pihak keluarga korban terkadang
sudah mendapatkan intimidasi dan/atau merasa “balas budi” terhadap pemberi
kerja sehingga jika akan melakukan proses hukum terhadap pemberi kerja maka
akan ada rasa kekhawatiran dari pihak keluarga mendapatkan intimidasi yang lain
dan/atau merasa bersalah. Hal tersebut terjadi pada PRT yang telah lama bekerja
dengan pemberi kerja yang sistem kerja nya seperti sudah dianggap sebagai
“keluarga”.
Namun, fakta yang terjadi ketika
PRT mengalami kekerasan dari pemberi kerja dan/atau kecelakaan kerja oleh pihak
pemberi kerja tidak bertanggung jawab, dan tidak ada komitmen yang dibuat
secara tertulis jika sanggup bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup korban
hingga seumur hidup korban, hal tersebut untuk korban yang sudah tidak dapat
bekerja lagi akibat dari kekerasan dan/atau kecelakaan kerja yang dialami
korban.
Menurut catatan LBH APIK Semarang
bahwa PRT yang bekerja tidak ada pemberian jaminan sosial dari pemberi kerja, sehingga
ketika terjadi kekerasan dan/atau kecelakaan kerja yang dialami oleh PRT
menyebabkan PRT mengalami hambatan dalam proses keberlanjutan biaya perawatan
ketika di rumah sakit maupun pemulihan.
LBH APIK Semarang bersama Komunitas
Serikat Pekerja Rumah Tangga dan lembaga jaringan melakukan pendampingan
bantuan hukum dan pemberdayaan terhadap korban untuk agar terpenuhinya hak-hak
korban sebagi wujud terbentuknya rasa keadilan. Keluarga korban melakukan
pelaporan ke kantor kepolisian dan saat itu sempat mendapatkan penolakan
laporan dikarenakan alasannya tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kami memberikan informasi
hukum terkait adanya aturan hukum yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa PRT juga mendapatkan
perlindungan dalam aturan hukum tersebut terkait ketika seorang PRT mendapatkan
kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga.
Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut. (2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c
dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.
Pelaku yang merupakan suami isteri
yang telah melakukan kekerasan berupa fisik dan psikis terhadap korban
dikenakan Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah). Dengan, putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kudus terhadap pelaku
yaitu hukuman penjara selama 8 tahun penjara dan 7 tahun penjara. Namun,
didalam putusan tersebut tidak dicantumkan mengenai hak gaji korban yang belum
terbayarkan oleh pelaku. Dinas Ketenagakerjaan pun tidak dapat melakukan
pendampingan terkait hak gaji korban tersebut, dikarenakan tidak adanya aturan
hukum khusus yang mengatur mengenai perlindungan PRT.
Korban yang telah mendapatkan kekerasan dari pelaku hingga menimbulkan luka cacat seumur hidup dan korban pun tidak dapat beraktivitas maupun bekerja lagi, hal tersebut negara wajib hadir memberikan hak-hak korban yang pelaku pun tidak dapat memberikan hak-hak korban tersebut antaralain hak gaji korban, hak pemulihan kesehatan jasmani korban, hak pemulihan psikologis korban, hak rehabilitasi korban di dalam masyarakat, hak pemberdayaan ekonomi korban agar korban dapat melanjutkan kehidupan korban secara mandiri ekonominya.
CONTOH KASUS II DI KOTA SEMARANG
Kecelakaan kerja tersebut hingga
menyebabkan kedua tangan korban harus diamputasi dan tangan kanan serta 3 jari
kaki kiri anak kedua korban juga diamputasi. Korban bekerja dengan pemberi
kerja selama 6 (enam) tahun dan selama bekerja tidak mendapatkan jaminan sosial
dari pemberi kerja. Ketika korban diakseskan ke rumah sakit dari pihak pemberi
kerja pun meminta untuk ke pihak keluarga menyampaikan ke pihak rumah sakit
bahwa hal yang dialami oleh korban dan anak kedua korban terjadi dirumah
saudara korban agar biaya rumah sakit dapat menggunakan BPJS PBI yang dimiliki
oleh korban, padahal pemberi kerja termasuk dalam segi ekonomi mampu. Biaya
perawatan korban dan anak kedua korban di rumah sakit menggunakan akses BPJS
PBI.
Korban pulang dari rumah sakit pada
tanggal 20 Februari 2020 meninggal dunia pada jam 01.00 WIB tanggal 22 Februari
2020. Saat ini komitmen pemberi kerja terhadap jaminan kesejahteraan kehidupan
anak kedua korban yang belum dilakukan oleh pemberi kerja antaralain biaya
kuliah anak kedua korban yang memang saat ini korban telah meninggal dunia,
yang selama ini korban sebagai tulang punggung keluarga termasuk membiayai
kuliah anak kedua korban dan anak pertama korban juga yang masih kuliah.
Bentuk perlindungan dari negara
terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) ketika mengalami kekerasan dan/atau
kecelakaan kerja pun tidak dapat secara maksimal dikarenakan tidak adanya
aturan khusus yang mengatur khusus tentang perlindungan terhadap PRT, terutama
ketika akan mengakses program-program pemerintah yang ada kaitannya terhadap
korban kekerasan dan/atau kecelakaan kerja, pemerintah tidak “jemput bola”
namun pihak keluarga perwakilan dari korban dan/atau korban nya langsung yang
hadir ke instansi terkait untuk mengajukan permohonan bantuan sosial untuk
proses pemberdayaan hidup korban pasca kekerasan dan/atau kecelakaan kerja yang
dialami korban.
2) Rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) penting untuk disahkan
Contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Kudus dan Kota Semarang merupakan gambaran fakta bahwa pentingnya adanya suatu aturan khusus yang mengatur terhadap perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal tersebut karena PRT termasuk ke dalam kelompok rentan khususnya perempuan yang bekerja sebagai PRT. PRT tergolong ke dalam pekerja non-formal yang masih berada di luar jangkauan pengaturan ketenagakerjaan.
Kondisi ini tentunya memerlukan perhatian
khusus, karena sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2
Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, untuk penyebutan PRT
(Pekerja Rumah Tangga) dengan Pembantu Rumah Tangga, dan perencanaan kerja
antara pemberi kerja dengan PRT juga tidak diatur dengan adanya sebuah
perjanjian tertulis sehingga UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam perlindungan terhadap PRT ketika
seorang PRT mengalami kekerasan dari pemberi kerja dan/atau kecelakaan kerja.
Menurut ketentuan Pasal 1 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[2]
menyebutkan bahwa segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa
kerja (ayat 1); Tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (ayat
2); Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (ayat 3); Pemberi kerja adalah orang perseorangan,
pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga
kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (ayat 4).
Rancangan undang-undang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah 16 (enam) belas tahun diperjuangkan oleh
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA) bersama dengan lembaga
terkait lainnya yang fokus terhadap kelompok rentan khususnya PRT termasuk LBH
APIK Semarang bersama dengan Serikat Pekerja Rumah Tangga Merdeka Semarang.
Pekerja Rumah Tangga (PRT) rentan
menjadi korban kekerasan dari pemberi kerja dan/atau kecelakaan kerja saat
menjalankan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara PRT dengan
pemberi kerja.
Menurut Abdussalam menyebutkan
bahwa victim (korban) adalah orang yang
telah mendapatkan penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta
benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.[3]
Menurut Arif Gosita menyebutkan
bahwa pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani (fisik
dan mental) sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.[4]
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menyebutkan bahwa
korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.[5]
Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menyebutkan bahwa korban
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik
fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian,
pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai pelanggaran hak asasi
manusia yang berat termasuk korban atau ahli warisnya.[6]
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat menyebutkan
bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusa yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan
kekerasaan pihak manapun.[7]
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
apabila disahkan maka akan ada nya aturan khusus yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga khususnya adanya aturan mengenai
sanksi pidana terhadap pelaku yang melakukan kekerasan terhadap PRT selama PRT
tersebut bekerja. Menurut Bambang Waluyo menyebutkan bahwa tersangka adalah sebutan seorang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana dalam tahap penyidikan.[8]
Menurut Roger Hood, tujuan pidana selain untuk mencegah pelaku
atau potensial pelaku melakukan tindak pidana, pidana juga ditunjukan untuk:[9]
1) Memperkuat
kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values);
2) Menentramkan rasa
takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime).
Konvensi Badan Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) urusan ketenagkerjaan, ILO mengatur prinsip dan norma
internasional dalam rangka melindungi nasib PRT. Dalam konvensi ini
didefinisikan secara umum relasi antara pekerja dan pemberi kerja memiliki
kewajiban tertentu agar saling menghormati hak dan kewajiban. Pentingnya
ratifikasi aturan ini bagi Pekerja Rumah Tangga di Negara Indonesia maupun di
luar negeri adalah mensosialisasikan kesempatan yang sama dalam memperoleh
pekerjaan secara layak, meningkatkan perekonomian dan menghapuskan eksploitasi.
Meskipun saat ini telah ada
Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,
namun peraturan tersebut belum dalam bentuk undang-undang sehingga belum ada
aturan khusus yang mengatur tentang adanya sanksi pidana dan perdata bagi
pemberi kerja apabila melakukan kekerasan terhadap PRT serta tidak adanya
konsekuensi bagi pemberi kerja jika tidak memfasilitasi jaminan sosial kepada
PRT, dan dalam ketentuan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang
Perlindungan Pekerja Rumah, menggunakan istilah “Pengguna Kerja” bukan “Pemberi
Kerja” dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berikut aturan dalam Pasal 1
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga menyebutkan bahwa Pekerja
Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PRT adalah orang yang bekerja pada
orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan
kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain (ayat
1). Pengguna PRT yang selanjutnya
disebut Pengguna adalah orang perseorangan
yang mempekerjakan PRT dengan membayar upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain
(ayat 2).
Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga
manusia yang memiliki hak asasi manusia dalam berkehidupan masyarakat sehingga
berhak mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan sosial. Istilah Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan terjemahan dari istilah droits de l’homme dalam bahasa perancis yang berarti hak-hak
manusia atau dalam Bahasa Inggris human
rights dan dalam bahasa belanda mensencrehten.
Negara Indonesia, umumnya digunakan istilah hak asasi manusia yang merupakan
terjemahan dari basic rights dalam
Bahasa Inggris dan grondrechten dalam
Bahasa Belanda, sebagian orang menyebutnya dengan istiah hak-hak fundamental
sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam Bahasa Inggris dan fundamentele rech-ten dalam Bahasa
Belanda. Negara Amerika Serikat selain digunakan istilah human rights digunakan
pula istilah civil-rights.[10]
Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengartikan Hak Asasi Manusia (HAM) diartikan
sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan
di junjung tinggi dan di lindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta pada dengan harkat dan martabat manusia.[11]
Sehingga pengesahan rancangan
undang-undang perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangatlah urgensi untuk
segera disahkan, agar adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan
terhadap Pekerja Rumah Tangga.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pengesahan rancangan undang-undang
perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangatlah urgensi untuk segera
disahkan, agar adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap
Pekerja Rumah Tangga.
2.
Saran
Negara Indonesia segera melakukan pengesahan
rancangan undang-undang perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di tahun 2020,
agar adanya aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap Pekerja
Rumah Tangga.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku
Abdussalam, Victimology. Jakarta: PTIK, 2010.
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademia Presindo, 1989.
Naning, Ramdlon. Cita dan Citra Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Lembaga Kriminologi UI, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,1983.
Renggong, Ruslan. Hukum Pidana Khusus. Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima.
Sambas, Nandang. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di
Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
2.
Peraturan Perundang-Undangan
Sekretariat Negara RI. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Jakarta: 2003.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Jakarta: 2004.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jakarta: 2004.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: 2006.
Sekretariat Negara RI. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2
Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Jakarta: 2015.
3.
Artikel
Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, Semarang: 2016 - 2017.
Semarang, 10 Maret 2020
Mengetahui,
Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.
Direktur LBH APIK Semarang
[1]Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, Semarang: 2016 - 2017.
[2]Sekretariat Negara RI. UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Jakarta: 2003.
[3]Abdussalam, Victimology (Jakarta: PTIK, 2010),
halaman 5.
[4]Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta:
Akademia Presindo, 1989), halaman 75.
[5]Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta: 2004.
[6]Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Jakarta: 2004.
[7]Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: 2006.
[8]Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), halaman 35-36.
[9]Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di
Indonesia (Yogyakarta:
Graha
Ilmu, 2010), halaman 17.
[10]Ramdlon Naning, Cita Dan Citra Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Lembaga Kriminologi UI, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,1983),
halaman 7.
[11]Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus,(Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima, Cetakan Ke-4, 2017), halaman 115-116.