Selasa, 14 Juni 2022

PENELITAN HUKUM PERLINDUNGAN HAK ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM


BAB I

PENDAHULUAN

 

                     

A.         LATAR BELAKANG PENELITIAN

Usia anak pada masa remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa remaja mengalami pertumbuhan yang pesat dan membutuhkan nutrisi yang baik untuk mendukung tumbuh kembangnya. Masa remaja yaitu usia 10-19 tahun merupakan suatu periode masa pematangan organ reproduksi manusia termasuk masa pada tubuh mengalami kematangan secara seksual yang sering disebut masa pubertas. Anak pada usia 10-19 tahun mengalami perubahan fisik, alat reproduksi, kognitif dan psikososial remaja mengalami pertumbuhan fisik seperti berat badan dan tinggi badan bertambah serta kematangan organ reproduksi. Selain itu diiringi dengan meningkatnya rasa ingin tahu dan suka dengan hal yang baru karena dianggap lebih menantang, serta secara psikologis lebih menjadi sensitif, mudah cemas dan mudah frustasi.

Anak seringkali meniru karena rasa penasaran terhadap hal-hal baru yang menjadi masih trend atau terkesan modern tanpa mengetahui akibat dari hal yang telah dilakukan misal menirukan melakukan hubungan seksual di video pornografi yang ditonton, atau dibujuk rayu melakukan hubungan seksual dengan temannya hingga anak mengalami kehamilan tidak diinginkan

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kehamilan tidak diinginkan pada anak antara lain kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, pergaulan bebas tanpa kendali orangtua menyebabkan anak pada masa remaja merasa bebas untuk melakukan yang diinginkan, perkembangan teknologi media komunikasi yang semakin canggih yang memperbesar kemungkinan remaja mengakses konten bermuatan hal-hal negatif seperti video pornografi, serta anak menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual.

Kehamilan tidak diinginkan (unwanted pregnancy) merupakan terminologi yang biasa dipakai untuk memberi istilah adanya kehamilan yang tidak dikehendaki. Kehamilan tidak diinginkan adalah suatu kehamilan yang terjadi dikarenakan suatu sebab sehingga keberadaannya tidak diinginkan oleh salah satu atau calon orang tua bayi tersebut. unwanted pregnancy merupakan suatu kondisi pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran dari suatu kehamilan.

Kehamilan ini merupakan akibat dari suatu perilaku seksual/hubungan seksual baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kehamilan tidak diinginkan merupakan masalah kesehatan yang penting baik pada negara yang berpenghasilan tinggi, negara berpenghasilan menengah maupun negara berpenghasilan rendah karena memiliki dampak merugikan dari segi ekonomi, sosial serta kesehatan ibu dan anak.

Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan antara lain perencanaan kehamilan, minimnya pengetahuan tentang perilaku seksual, tidak menggunakan alat kontrasepsi, kegagalan kontrasepsi, kehamilan karena pemerkosaan, kondisi kesehatan ibu, persoalan ekonomi, alasan karir serta kondisi janin yang cacat.

Kejadian kehamilan tidak diinginkan dapat meningkatkan resiko kesakitan pada perempuan dan efek yang merugikan, misalnya wanita yang tidak menginginkan kehamilan akan menunda untuk pergi ke pelayanan antenatal care merupakan pemeriksaan kehamilan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental pada ibu hamil, sehingga yang nantinya akan mempengaruhi terhadap kesehatan ibu dan bayi. Selain itu kehamilan tidak diinginkan akan mengakibatkan aborsi spontan, yang terjadi 4 juta jiwa setiap tahun, serta aborsi yang direncanakan yang terjadi pada 42 juta jiwa setiap tahun serta kehamilan yang tidak diinginkan terjadi 34 juta jiwa setiap tahun di seluruh dunia. Tingginya angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan tidak diinginkan yang berakhir dengan aborsi mencapai 13% saat ini.

Masyarakat belum dapat menerima anak yang orangtuanya belum jelas, sehingga dianggap anak haram atau hasil perzinahan. Walaupun perkawinan dapat dilangsungkan tetapi kemungkinan besar perkawinan tersebut tidak dapat bertahan lama karena dilakukan dalam keadaan mental dan jiwa belum matang. Planned Parenthood Federation of America menyebutkan bahwa kehamilan pada usia anak memiliki beberapa konsekuensi bagi bayi, ibu si bayi dan masyarakat diantaranya keguguran, kematian bayi, kematian ibu si bayi, bayi lahir dengan berat rendah, bayi sering disalahgunakan atau diabaikan, putus sekolah serta menimbulkan beban bagi masyarakat terkait dengan keuangan untuk perawatan kesehatan anak.

Kehamilan tidak diinginkan terhadap anak salahsatu faktornya antaralain karena anak mengalami kekerasan seksual. Menurut catatan tahunan LBH APIK Semarang juga menyebutkan bahwa Kasus kekerasan seksual terhadap anak pada saat pandemi Covid-19 terus meningkat, dengan rata-rata pelaku adalah orang terdekat korban seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek, dan tetanga korban. Indonesia meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak yang lebih memperberat sanksi bagi pelaku, ternyata belum juga mempunyai efek jera.

Kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa karena korban akan mengalami trauma seumur hidup dan segala hak korban terkadang tidak dipenuhi oleh negara apabila pelaku tidak dapat bertanggung jawab. Menurut catatan tahunan LBH APIK Semarang bahwa angka kekerasan seksual dari tahun 2016-2021 mengalami peningkatan namun peran negara tidak hadir sepenuh nya dalam perlindungan hak korban, antaralain anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh perusahaan riset yang berbasis di Singapura, Value Champion, menemukan bahwa Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik , dari 14 negara asia pasifik yang yang dianalisis, India, Indonesia dan Filipina dianggap sebagai negara yang paling tidak aman bagi perempuan. Indonesia menjadi salahsatu negara yang paling tidak aman bagi perempuan karena akses di bawah standar untuk perawatan kesehatan, lemahnya undang-undang tentang keselamatan perempuan dan ketidaksetaraan gender.

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan hukum adalah tempat berlindung, perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi. Pemaknaan kata perlindungan  secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan unsur-unsur yaitu unsur tindakan melindungi, unsur cara-cara melindungi. 

Berdasarkan latarbelakang tersebut maka LBH APIK Semarang melakukan penulisan proposal penelitian hukum dalam dengan judul “PERLINDUNGAN HAK ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM”.

 

B.         PERMASALAHAN PENELITIAN

Permasalahan dalam penulisan penelitian ini adalah:

1.          Bagaimana perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum?

2.          Bagaimana hambatan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum?

 

C.         TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Tujuan dan kegunaan penulisan penelitian ini adalah:

1)         Untuk mengetahui perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum;

2)         Untuk mengetahui hambatan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum;

3)         Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum.

D.         METODE PENELITIAN

Metode penelitian dalam penulisan penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkaji bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan, asas, doktrin dan dokumen hukum lainnya.

§          Studi Kepustakaan

Penulisan penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan menganalisa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum, antaralain:

a)              UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan;

b)                  UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;

c)              UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah   Tangga;

d)              UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

e)              UU No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum;

f)               UU No. 17 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak;

g)              UU No. 7 Tahun 1984 Tentang CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women);

h)              Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat;

i)               Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana;

j)                   UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;

k)              Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum;

l)               Hak-hak anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990).

§           Deskriptif Analitis

Penulisan pada penelitian ini dengan melukiskan keadaan masalahnya tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Berdasarkan pada undang-undang, norma hukum positif dan doktrin-doktrin hukum.

§           Purposive Sampling

Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian pengumpulan data dengan Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan mengambil kelompok subjek tertentu dari populasi yang akan diteliti. Hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya yang ada pada peneliti. Penelitian ini menggunakan sampel yang diambil adalah:

1)              Putusan hakim yang berkaitan dengan kasus Kekerasan Seksual terhadap anak dengan kehamilan tidak diinginkan, studi kasus di Polrestabes Semarang dan Putusan Pengadilan Negeri Rembang;

2)              Ketentuan UU No. 17 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak;

3)              Ketentuan UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

 

E.         TINJAUAN TEORITIS/KONSEPSIONAL

Tinjauan teoritis / konsepsional dalam penulisan penelitian hukum ini menggunakan 2 (dua) teori yaitu:

1)         Teori Perlindungan Hukum

Penulisan penelitian ini menggunakan perlindungan hukum dengan alasan bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaanya kepadanya, untuk bertindak dalam rangka kepentinggan nya, dan kepentingan itu merupakan sasaran hak. Perlindungan hukum yang ditempuh melalui suatu aturan hukum mempunyai asas hukum yang mendasarinya dengan mencantumkan langkah-langkah melalui aturan hukum yang memiliki tujuan, ruang lingkup direncanakan melalui strategi dan kebijakan dalam suatu kepentingan sosial. Kepentingan sosial adalah ketertiban hukum, keamanan nasional, perlindungan ekonomi masyarakat, perlindungan agama, moral, hak-hak kemanusiaan, hasil-hasil penemuan, kesehatan dan kesatuan ras, lingkungan, kepentingan-kepentingan perorangan, kepentingan-kepentingan keluarga. Dengan adanya jaminan kebebasan serta kesetaraan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud.[1]

2)         Teori Feminisme / Feminist Legal Theory (FLT)

Secara etimologis, kata feminisme berasal dari bahasa latin, yaitu femina yang   berasal dari bahasa Inggris feminine, artinya perempuan. Kemudian kata itu ditambah isme menjadi feminisme yang berarti paham keperempuan. Istilah itu muncul pertama kali pada tahun 1895, dan sejak itu pula feminisme dikenal secara luas.[2] Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970-an bersamaan dengan berkembangnya pemikiran Critical Legal Studies (CLS) sebagai sebuah aliran pemikiran yang berusaha melakukan terobosan dan kritik terhadap praktik diskriminasi hukum terhadap perempuan. Perkembangan aliran hukum FLT ini selanjutnya berkembang menjadi 4 (empat) pemikiran yaitu:[3] 

a.     Equal Treatment Theory

Equal Treatment Theory adalah jenis Feminist Legal Theory yang memberikan kesempatan dan hak yang sama (formal equality) baik kepada laki-laki maupun perempuan seperti kesetaraan sebagai warga negara, kesetaraan dalam urusan publik, individual dan rasionalitas.

b.     Cultural Feminism

Pemahaman mengenai memandang perempuan secara kodrat mempunyai karakteristik yang berbeda dengan laki-laki seperti keadaan biologisnya (reproduksi).

3)         Dominance Theory; dan

4)         Anti Essentialism. 

 

F.         TEMPAT PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) SEMARANG di Jalan Poncowolo Timur I, No. 409A, RT 001, RW 006, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

 

G.        JANGKA WAKTU PENELITIAN

Jangka waktu penelitian yang dibutuhkan adalah:

No.

Kegiatan

Bulan

Juni

Juli

Agustus

Minggu ke-

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1.

Persiapan: Pembagian Tugas dan Pengumpulan data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.

Penyusunan Proposal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.

Pengajuan Proposal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4.

Perbaikan Proposal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5.

Penelitian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6.

Pengolahan Data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7.

Finalisasi Laporan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8.

Percetakan. Penggandaan, dan Penyampaian laporan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

H.     SUSUNAN ORGANISASI TIM PENELITIAN

Berikut ini adalah Susunan Panitia Pelaksana Penelitian Hukum Tentang Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak Diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum, dengan susunan panitia yaitu:

Ketua                 : Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.

Anggota             : Rr. Maharani Herlina S, S.H.

Anggota             : Masnuah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN / DATA KEPUSTAKAAN

 

A.         Pengertian Perlindungan

Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sangatlah penting dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum antaralain terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan karena kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu perbuatan kekerasan yang telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Korban kekerasan berhak mendapatkan perlindungan hukum ketika berhadapan hukum antaralain negara wajib menjamin perlindungan hukum sebagai korban tindak pidana antaralain anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan.[4] Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, asas keadilan dan kesetaraan gender, asas non diskriminasi; dan perlindungan korban.[5] Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan, sangatlah penting karena sebagai bentuk penghapusan kekerasan seksual terhadap anak yang bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak, melindungi korban kekerasan seksual, memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual; dan memelihara kenyamanan negara dari kekerasan seksual.

Menurut ketentuan Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga berhak mendapatkan:

a.              Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b.              Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c.              Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d.   Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e.       Pelayanan bimbingan rohani.

         

 

 

 

Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.[6]

Menurut Ketentuan Pasal 1 Ayat (18) UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/ atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7]

Negara Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Anak dalam bentuk peraturan perundang-undangan, keputusan presiden dan peraturan perundang-undangan lain yang telah mengatur perlindungan anak. Hak-hak anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990) yaitu:[8]  

a)      Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman.

b)      Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan.

c)      Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak mengetahui dan diasuh orangtuanya.

d)      Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungn keluarga.

e)      Hak untuk tinggal bersama dengan orang tua.

f)       Kebebasan menyatakan pendapat / pandangan.

g)      Hak perawatan khusus bagi anak cacat.

h)      Hak anak atas pendidikan.

i)       Hak anak untuk bersenang-senang dan beristirahat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya.

j)       Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.

k)      Perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan anak.

l)       Hak memperoleh bantuan hukum baik dalam maupun luar pengadilan.

Hak-hak anak menurut Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:

a)      Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga nya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

b)      Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menajdi warga negara yang baik dan berguna.

c)      Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d)      Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan.

e)      Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.[9]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  mengartikan perlindungan hukum adalah tempat berlindung, perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi. Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan unsur-unsur, yaitu unsur tindakan melindungi, unsur cara-cara melindungi.[10]

 

B.         Pengertian Anak

Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 yang diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan.[11]

Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (5) UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

C.         Pengertian Korban

Korban kekerasan seringkali identik dengan pihak yang lemah secara fisik, psikis, ekonomi, politik dan sosial, dan yang sering menjadi korban adalah perempuan dan anak. Menurut kamus Webster’s sebagaimana dikutip oleh Farhan bahwa Korban adalah:[12]

1)              Orang atau binatang dikorbankan kepada dewa atau didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami penindasan, kerugian atau penderitaan;

2)              Seseorang yang dibunuh, dianiaya, atau didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami penindasan, kerugian, atau penindasan;

3)              Seseorang yang mengalami kematian atau luka-luka dalam berusaha menyelamatkan diri;

4)              Seseorang yang diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan seseorang yang diperkerjakan atau dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan tidak layak.

Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman

kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

 

D.         Pengertian Kekerasan Seksual

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (16) UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.[13]

 

E.         Bentuk-bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Menurut ketentuan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.[14]

Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual menurut ketentuan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:[15]

-                 Pasal 76D: Persetubuhan terhadap anak

-                 Pasal 76E: Cabul terhadap anak

-                 Pasal 76I: Perbuatan eksploitasi seksual terhadap anak

 

Menurut ketentuan Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa:[16]

(1)     Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

a.            pelecehan seksual nonfisik;

b.            pelecehan seksual fisik;

c.       pemaksaan kontrasepsi;

d.       pemaksaan sterilisasi;

e.       pemaksaan perkawinan;

f.       penyiksaan seksual;

g.       eksploitasi seksual;

h.       perbudakan seksual; dan

i.       kekerasan seksual berbasis elektronik.

(2)     Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:

a.            perkosaan;

b.            perbuatan cabul;

c.            persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap anak;

d.            perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak  Korban;

e.            pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;

f.             pemaksaan pelacuran;

g.            tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi

          seksual;

h.            kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;

i.             tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan

          tindak pidana kekerasan seksual; dan

j.             tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

 

 

 

BAB III

TINJAUAN/DATA LAPANGAN

 

Menurut catatan data LBH APIK Semarang selama melakukan pendampingan bantuan hukum untuk perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum dari tahun 2016 hingga tahun 2021 mengalami peningkatan data pengaduan yang diterima oleh LBH APIK Semarang, namun secara implementasi pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan seksual belum maksimal dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, apabila anak korban kekerasan seksual ketika berhadapan dengan hukum tidak di dampingi oleh lembaga bantuan hukum yang fokus terhadap perlindungan untuk korban kekerasan berbasis gender.

Data lapangan yang dijadikan penelitian didalam penulisan penelitian ini adalah:

1)         Putusan hakim yang berkaitan dengan kasus Kekerasan Seksual terhadap anak dengan kehamilan tidak diinginkan, studi kasus di Polrestabes Semarang dan Putusan Pengadilan Negeri Rembang;

2)         Catatan Tahunan LBH APIK Semarang tahun 2016 hingga tahun 2021.

Hasil penelitian dalam penulisan penelitian ini telah dilakukan Forum Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada tanggal 30 Juni 2022 yaitu:

1.          Memberikan masukan kepada Pemerintah Negara Indonesia untuk memberikan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum dan memberikan informasi mengenai hambatan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum;

2.          Aparat Penegak Hukum untuk memberikan perlindungan hukum terhadap memberikan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum;

3.          Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak bukanlah aib atau sebagai permasalahan domestik / pribadi, namun kekerasan seksual merupakan kejahatan atau tindak pidana, sehingga masyarakat yang melihat atau mendengar tentang kasus kekerasan seksual wajib melakukan pelaporan.

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

ANALISIS

 

1.          Perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum 

Korban kekerasan seringkali tidak melakukan pelaporan jika telah mengalami kekerasan. Korban kekerasan tersebut terkhusus adalah perempuan dan anak yang mengalami kekerasan berbasis gender, yang di dalam masyarakat terkadang kekerasan yang dialami korban sebagai akibat dari perilaku korban sendiri, contoh kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, terkadang perempuan disalahkan karena berpakaian dengan cara memakai rok pendek dan keluar rumah di malam hari, sehingga akibat dari cara berpakaian korban tersebut maka korban wajar jika di perkosa; sedangkan anak korban kekerasan di dalam masyarakat juga masih ditemukan adanya stigma diskriminasi terhadap korban antaralain anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, dianggap sebagai aib keluarga karena dianggap masih dalam ranah domestik terutama ketika pelaku adalah orang-orang terdekat korban seperti ayah kandung, paman, kakek, atau tetangga korban sehingga korban lebih memilih bungkam tidak melakukan pelaporan.

Angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak khususnya pada kasus kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun yang tercatat adalah korban yang berani melakukan pelaporan masih rendah, dan data tersebut dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan rendah nya implementasi penegakan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum.

Menurut catatan LBH APIK Semarang bahwa kasus kekerasan seksual masih dianggap suatu aib keluarga terutama pada masyarakat pedesaan, sehingga korban / orang tua korban / wali korban akan memilih tidak melakukan pelaporan, karena jika korban melakukan pelaporan maka keluarga akan merasa malu dengan para tetangga di tempat tinggal sekitar korban, karena orang lain mengetahui permasalahan kekerasan seksual yang dialami korban. Masyarakat atau tetangga yang mengetahui permasalahan kekerasan seksual yang dialami korban terkadang tidak membantu namun justru menyalahkan korban bahkan menjadi “buah bibir atau gosip” yang memojokkan korban. Hal tersebut, yang membuat korban tidak dapat keluar dari lingkaran kekerasan pelaku, bahkan korban dapat depresi menyalahkan diri sendiri ketika korban telah berani melakukan pelaporan namun tidak ada dukungan dari keluarga dan/atau lingkungan sekitar korban. Korban juga rentan putus sekolah karena kehamilan tidak diinginkan dari akibat kekerasan seksual yang dialami korban.

Pengalaman pendampingan kasus LBH APIK Semarang pada tahun 2017 di Pengadilan Negeri Rembang dan tahun 2019 di Polrestabes Semarang terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum:

Contoh Kasus 1

 

Data kasus LBH APIK Semarang tahun 2017, anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum di Pengadilan Negeri Rembang.

 

§    Korban adalah anak berusia 16 tahun sebagai pelajar kelas XII Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tercatat sebagai siswa prestasi dan sebagai anak tunggal dari orang tua yang bekerja sebagai petani.

§    Korban mengalami kekerasan seksual dari pacar korban / pelaku (usia 17 tahun) disertai dengan kekerasan fisik hingga mengalami kehamilan tidak diinginkan. Korban menyadari mengalami hamil di saat usia kehamilan 7 bulan. Korban memberitahukan kepada pelaku atas kehamilan korban tersebut, namun pelaku menyuruh korban menggugurkan kehamilan korban dengan pelaku membelikan minuman beralkohol dan buah nanas untuk korban setiap hari konsumsi.

§    Korban takut memberitahukan kehamilan korban kepada orang tua korban, karena tidak ingin mengecewakan orang tua korban serta korban masih ingin melanjutkan sekolah.

§    Korban masih mengikuti kegiatan praktek olahraga seperti rol belakang dan rol depan. Korban merasakan perut mulas seperti akan buang air besar disaat usai kegiatan praktek olahraga tersebut. Korban langsung ke kamar mandi sekolah dan jongkok untuk buang air besar namun korban terkejut karena bayi yang keluar dari dubur korban.

§    Korban meminta bantuan teman korban yang diluar kamar mandi untuk mengambilkan gunting, kantong plastik, dan tas sekolah korban di kelas. Teman korban menanyakan untuk apa? Korban menjawab kalau korban menstruasi.

§    Korban menggunting tali pusar pada bayi dan menusuk bayi tersebut, kemudian memasukan bayi tersebut ke kantong plastik dimasukan ke dalam tas sekolah korban.

§    Korban ketika keluar dari kamar mandi sekolah langsung pingsan dan rok sekolah korban penuh dengan darah.

§    Pihak sekolah menghubungi polisi dan orang tua korban.

§    Pihak sekolah mengeluarkan korban dari sekolah karena menganggap bahwa perilaku yang dilakukan oleh korban merupakan contoh buruk dan mencemarkan nama baik sekolah. Korban seketika mengalami depresi karena mengetahui diri nya putus sekolah.

§    Korban mendapatkan sanksi hukuman penjara 1 tahun 5 bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum selama 4 tahun penjara.

§    Korban tidak mendapatkan hak restitusi dari pelaku, serta hak pemulihan psikologis dan hak psikososial untuk melanjutkan pendidikan dari negara.

 

Contoh Kasus 2

 

Data kasus LBH APIK Semarang tahun 2019, anak korban kekerasan seksual  dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum di Polrestabes Semarang.

 

§    Korban adalah anak usia 16 tahun, anak bungsu dari 5 bersaudara, korban sebagai pelajar kelas XII di Sekolah Menengah Atas dan sebagai anak yatim piatu.

§    Korban mengalami kekerasan seksual disertai kekerasan fisik dari pacar korban / pelaku, hingga mengalami kehamilan tidak diinginkan.

§    Pelaku meminta korban menggugurkan kehamilan korban, namun korban tidak sepakat.

§    Korban menceritakan kepada kakak-kakak korban mengenai kekerasan seksual yang dialami korban.

§    Keluarga korban menemui pelaku dan meminta pertanggungjawaban pelaku namun pelaku tidak mengakui perbuatannya.

§    Pihak sekolah tidak mengetahui keadaan kehamilan korban. Korban setelah selesai mengikuti ujian nasional dan dinyatakan lulus.

§    Korban pindah ke Jogja untuk tinggal dengan kakak korban di Jogja, hingga melahirkan di Jogja.

§    Korban dan keluarga korban melakukan pelaporan ke Polrestabes Semarang pada November 2019.

§    Saat ini kasus korban di Polrestabes Semarang masih dalam tahap penyelidikan karena dianggap alat bukti korban belum cukup.

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Contoh kasus I dan kasus II memperlihatkan bahwa implemetasi penegakan keadilan terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, masih mengalami stigma dan diskriminasi bahkan proses hukum litigasi pidana yang lama waktu nya hingga 2 tahun (contoh kasus II) namun masih dalam tahap penyelidikan. Anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum juga mengalami putus sekolah karena tidak ada nya dukungan dari pihak sekolah dan/ atau masyarakat yang masih beranggapan bahwa kasus kekerasan seksual adalah aib yang mencemarkan nama baik sekolah dan/atau masyarakat disekitar tempat tinggal korban. Hal-hal tersebut menjadikan korban semakin tersudut dan bentuk perbuatan yang dilakukan oleh sekolah dan/atau masyarakat adalah diskriminasi karena pelaku tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang didapatkan oleh korban, korban yang lebih disalahkan karena tidak melakukan pembelaan diri atau menolak. Sekolah dan/atau masyarakat juga secara tidak langsung telah turut serta melakukan kekerasan terhadap korban.

Perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum menurut ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan bahwa: Saksi dan Korban berhak:

a.              memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b.              ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

c.       memberikan keterangan tanpa tekanan;

d.       mendapat penerjemah;

e.       bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f.       mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g.       mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h.       mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i.       dirahasiakan identitasnya;

j.       mendapat identitas baru;

k.       mendapat tempat kediaman sementara;

l.       mendapat tempat kediaman baru;

m.      memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n.       mendapat nasihat hukum;

o.       memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau

p.       mendapat pendampingan.

 

Dukungan secara psikis untuk korban dari keluarga dan/ atau masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal korban sangat penting, karena akan membantu korban untuk lebih percaya diri dan berani melakukan pelaporan. Korban juga tidak merasa sendirian dan tidak menjadi korban lagi.

 

2.      Hambatan Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak Diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum

Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual sangatlah penting, karena sebagai salahsatu hak anak korban kekerasan seksual yang telah diatur didalam UU No. 35 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak, serta diatur diperaturan perundang-undangan khusus lainnya yang mengatur mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan antaralain UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (12) UU No. 35 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.

Menurut ketentuan Pasal 22 UU No. 35 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Menurut ketentuan Pasal 15 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk a) mencegah berlangsungnya tindak pidana; b) memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan pertolongan darurat; dan d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum bahwa anak korban kekerasan seksual berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagai salahsatu hak korban yang harus dipenuhi oleh negara, aparat penegak hukum, pelaku dan pihak terkait dengan peristiwa hukum yang dihadapi oleh anak korban kekerasan seksual.

Menurut catatan laporan tahunan LBH APIK Semarang di tahun 2021 bahwa hambatan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, tidak melakukan pelaporan antaralain:[17]

1)                  Korban kekerasan seksual dianggap sebagai aib keluarga merupakan kasus aib keluarga, sehingga stigma atau pandangan negatif terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak masih ada yang menganggap sebagai ranah domestik  bukan publik dan bukan termasuk kejahatan atau tindak pidana, hal tersebut terjadi karena masyarakat Indonesia yang masih banyak berada di budaya patriarkhi dan belum tersosialisasi secara maksimal khususnya di masyarakat pedesaan mengenai UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak;

2)              Tidak ada dukungan dari Aparat penegak hukum secara progresif, ketika korban kekerasan seksual melakukan pelaporan mengenai kasus kekerasan seksual yang telah dialaminya. Menurut catatan LBH APIK Semarang bentuk tidak ada dukungan tersebut antaralain ketika korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan melakukan pelaporan ke aparat penegak hukum, oleh aparat penegak hukum masih ditemukan belum ada dukungan terhadap korban dengan menolak laporan korban karena dianggap tidak ada saksi yang melihat atau mendengar saat kejadian kekerasan seksual yang dialami korban dan/atau merekomendasikan untuk proses mediasi, hal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 55 UU No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.; serta ketentuan Pasal 25 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa lah yang bersalah melakukannya.

3)              Seringkali tidak ada dukungan dari keluarga korban, ketika anak korban kekerasan seksual melakukan pelaporan mengenai kasus kekerasan seksual yang telah dialaminya. Menurut catatan LBH APIK Semarang bentuk tidak ada dukungan tersebut antaralain ketika anak korban kekerasan seksual akan melakukan pelaporan ke kepolisian maka keluarga korban akan mencegah karena dianggap kasus kekerasan seksual sebagai aib, korban dan keluarga korban masih ada relasi ketergantungan ekonomi dengan pelaku, serta korban mendapatkan ancaman dari pelaku sehingga keluarga korban menyarankan untuk korban tidak melakukan pelaporan.

4)              Masih kurangnya bentuk kesadaran masyarakat mengenai partisipasi pencegahan dan penanganan terhadap korban kekerasan sekssual. Menurut catatan LBH APIK Semarang masyarakat yang melihat dan/atau mendengar peristiwa kekerasan seksual terkadang pura-pura “tutup mata dan telinga” karena menganggap bukan urusan nya atau takut jika turut campur dengan urusan rumah tangga orang lain, hal tersebut membuat korban kekerasan seksual akan tetap berada di dalam lingkaran kekerasan pelaku, dan korban kekerasan seksual juga terkadang mengalami hambatan ketika menempuh penyelesaian secara litigasi maka akan membutuhkan saksi yang melihat dan/atau mendengar peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban namun masih banyak masyarakat sekitar korban yang melihat dan/atau mendengar peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban tidak mau menjadi saksi ketika di pengadilan.

5)              korban dan/atau wali / orang tua korban tidak melakukan pelaporan karena bingung akan melakukan pelaporan kepada siapa, dimana, dan bingung menceritakan kasus yang dialaminya karena faktor depresi atau ancaman dari pelaku

6)              korban dan/atau wali / orang tua korban tidak melakukan pelaporan karena korban tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan seksual antaralain faktor mengenai ketidakpahaman mengenai yang dimaksud kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan seksual, intelektual pada diri korban hal ini terjadi pada korban kekerasan seksual dengan disabilitas intelektual, dan korban dalam kondisi psikologis yang tidak stabil atau gila.

Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum diharapkan terimplementasi secara maksimal agar anak korban kekerasan seksual mendapatkan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah diatur, karena hal tersebut sebagai langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak, agar korban dapat keluar dari lingkaran kekerasan pelaku dan pelaku mendapatkan efek jera, sehingga tidak terjadi pengulangan kejahatan atau tindak pidana terhadap korban yang dilakukan oleh pelaku atau pelaku lain, sehingga diharapkan angka kekerasan terhadap anak dapat diminimalisir dan penegak hukum benar-benar mewujudkan menjadi penegak keadilan sesuai dengan sumpah jabatan yang diampu, serta meningkatkan solidaritas kemanusiaan di masyarakat terhadap penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

 

A.         Kesimpulan

1.          Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak Diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum, masih belum terimplementasikan secara maksimal. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, diharapkan terimplementasi secara maksimal agar anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum mendapatkan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah diatur, karena hal tersebut sebagai langkah pencegahan dan penanganan kasus anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, agar korban dapat keluar dari lingkaran kekerasan pelaku dan pelaku mendapatkan efek jera, sehingga tidak terjadi pengulangan kejahatan atau tindak pidana terhadap korban yang dilakukan oleh pelaku atau pelaku lain, sehingga diharapkan angka kekerasan terhadap perempuan dapat diminimalisir dan penegak hukum benar-benar mewujudkan menjadi penegak keadilan sesuai dengan sumpah jabatan yang diampu, serta meningkatkan solidaritas kemanusiaan di masyarakat terhadap penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

2.          Hambatan Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak Diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum

1)              Anak korban kekerasan seksual dianggap sebagai aib keluarga, sehingga stigma atau pandangan negatif terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak masih ada yang menganggap sebagai ranah domestik  bukan publik dan bukan termasuk kejahatan atau tindak pidana.

2)              Tidak ada dukungan dari Aparat penegak hukum, ketika anak korban kekerasan seksual melakukan pelaporan mengenai kasus kekerasan seksual yang telah dialaminya.

3)              Tidak ada dukungan dari keluarga korban, ketika korban dan/atau wali / orang tua korban melakukan pelaporan mengenai kasus kekerasan seksual yang telah dialaminya.

4)              Masih kurangnya bentuk kesadaran masyarakat mengenai partisipasi pencegahan dan penanganan terhadap perempuan korban kekerasan seksual.

5)              Korban dan/atau wali / orang tua korban kekerasan seksual tidak melakukan pelaporan karena bingung akan melakukan pelaporan kepada siapa, dimana, dan bingung menceritakan kasus yang dialaminya karena faktor depresi atau ancaman dari pelaku.

6)              Korban dan/atau wali / orang tua korban tidak melakukan pelaporan karena korban tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan seksual antaralain faktor mengenai ketidakpahaman mengenai yang dimaksud kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan seksual, intelektual pada diri korban hal ini terjadi pada perempuan korban kekerasan seksual dengan disabilitas intelektual, dan korban dalam kondisi psikologis yang tidak stabil atau gila.

 

B.         Saran

1.          Para aparat penegak hukum perlu dibekali wawasan mengenai hukum perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, hal ini dimaksudkan agar para penegak hukum dan aparat pengadilan tersebut menangani perkara yang melibatkan anak dapat memegang prinsip mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak ketika berhadapan dengan hukum, sehingga meminimalisir hambatan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum.

2.          Masyarakat agar lebih membangun solidaritas kemanusiaan mengenai pencegahan dan penanganan kasus anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum karena kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan kekerasan yang secara hukum termasuk kejahatan atau tindak pidana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.      Buku

Adussallam. Victimologi. Jakarta: PTIK, 2010.

 

Agus Yudho Hermoko.  Asas proporsionalitas dalam kontrak komersil. Yogyakarta: Laksbang Mediatma, 2008.

 

Anonim. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi Kedua, Cetakan 1. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.

 

Farhan. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

 

Levit, Nancy and Robert R.M Verchick. Feminist Legal Theory A Primer. New York and London: New York University Press, Secon Edition, 2016.

 

M. Echol, John dan Hassan Saddily. Kamus Bahasa Kamus Inggris Indonesia. Cetakan XIX. Jakarta: Gramedia, 1993.

 

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

 

Sambas, Nandang. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

 

Setiono. Supremasi Hukum. Surakarta: UNS, 2004.

 

Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-4, 2016.

 

C.         Peraturan Perundang-Undangan

Sekretariat RI. UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Jakarta: 1979.

 

Sekretariat RI.  UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Jakarta: 1984.

 

Sekretariat RI. UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: 2004.

 

Sekretariat RI. UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: 2006.

 

Sekretariat RI. UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: 2004.

 

Sekretariat RI. UU No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Jakarta: 2011.

 

Sekretariat RI. UU No. 17 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: 2016.

 

Sekretariat RI. UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jakarta: 2022.

 

Sekretariat RI. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: 2002.

 

Sekretariat RI. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Jakarta: 2017.

 

Sekretariat RI. Hak-hak anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990). Jakarta: 1990.

 

Sekretariat RI. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Jakarta: 2017.

 

D.         Lain-lain

Catatan laporan tahunan LBH APIK Semarang di tahun  2016 – 2021.

 

Catatan kasus yang didampingi oleh LBH APIK Semarang di Juni 2019.

 

Catatan kasus yang didampingi oleh LBH APIK Semarang di Oktober 2020.

 

Putusan Pengadilan Negeri Rembang Tahun 2017.

 

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Polrestabes Semarang perihal kasus anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum.

 

 

 

Semarang, 25 Juli 2022

Mengetahui,

  

                                                             

Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.

Direktur LBH APIK Semarang

 



[1]Agus Yudho Hermoko,  Asas Proporsionalitas dalam kontrak komersil, (Yogyakarta: Laksbang Mediatma, 2008), halaman 45.

[2]M. Echol, John dan Hassan Saddily, Kamus Bahasa Kamus Inggris Indonesia Cet. XIX, (Jakarta: Gramedia, 1993).

[3]Levit, Nancy and Robert R.M Verchick, Feminist Legal Theory A Primer, (New York and London: New York University Press, Secon Edition, 2016).

[4]Sekretariat Republik Indonesia, UU No. 17 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: 2016.

[5]Ibid.                                                                                                                             

[6]Ibid.

[7]Sekretariat Republik Indonesia. UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jakarta, 2022.

[8]Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), halaman 14.

[9]Setiono, Supremasi Hukum, (Surakarta: UNS, 2004), halaman 3.

[10]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, Cetakan 1, (Jakarta: Balai Pustaka), halaman 595.

[11]Sekretariat Republik Indonesia. UU No. 35 Tahun 2014 yang diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: 2016.

[12]Farhan,  Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia,  (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), halaman 154.

[13]Sekretariat Republik Indonesia, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: 2016.

[14]Ibid.

[15]Ibid.

[16]Ibid.

[17]lbhapiksemarang.blogspot.com/?m=1, diakses di Semarang: 15 Mei 2021.