BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Perkara perceraian sering kali menimbulkan sengketa terhadap hak
nafkah anak, karena sebelum adanya perkara perceraian sering kali hak nafkah
anak tidak dipenuhi oleh ayah kandung anak, dan hak nafkah anak pun tetap tidak
dipenuhi oleh ayah kandung anak meskipun hak nafkah anak telah tercantum
didalam putusan pengadilan. Putusan majelis hakim pemeriksa perkara seharusnya
mempunyai sifat penghukuman (condemnatoir).
Hal ini dikarenakan putusan bersifat penghukuman saja, namun pelaksanaannya
pada pihak yang kalah tidak dapat dipaksakan. Dalam hal ini, ada nya kewajiban
seorang ayah tetap memberikan hak nafkah anak hingga anak tersebut dewasa,
sesuai dengan kemampuan.
Amar putusan terhadap hak nafkah anak dalam perkara perceraian
di pengadilan dapat dijalankan apabila salah satu pihak secara suka rela mau
melaksanakan isi putusan tersebut. Pada prakteknya, jika salah satu pihak tidak
bersedia melaksanakan putusan dengan suka rela maka harus dijalankan prosedur
eksekusi putusan. Secara teori putusan terhadap hak nafkah anak dalam perkara perceraian
dapat dieksekusi, hanya saja secara kasuistis perlu ditempuh melalui pendekatan
aspek psikologis dan kondisional disamping konsisten secara yuridis. HIR dan
RBg sebagai aturan dalam hukum acara perdata menyebutkan bahwa obyek eksekusi
dalam perdata hanyalah berbentuk benda (benda tetap atau benda bergerak).[1]
Berdasarkan latarbelakang tersebut LEMBAGA BANTUAN HUKUM
ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) Semarang, tertarik
melakukan penulisan penelitian hukum mengenai hak nafkah anak dengan judul
penelitian yaitu KEKUATAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI HAK NAFKAH ANAK
DALAM PROSES PERCERAIAN.
B.
PERMASALAHAN PENELITIAN
1)
Bagaimana bentuk-bentuk putusan pengadilan?
2) Bagaimana kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai hak nafkah anak dalam proses
perceraian?
C.
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1)
Untuk mengetahui kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai
hak nafkah anak dalam proses perceraian;
2)
Untuk memberikan saran kepada pemerintah untuk membangun dan
memperbaikki aturan hukum mengenai hak nafkah anak agar hak nafkah anak tetap
terpenuhi sebagai dasar hak anak hingga anak tersebut dewasa.
D.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yaitu
penelitian yang mengkaji bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan, asas,
doktrin dan dokumen hukum lainnya yaitu:
§
Peraturan
perundang-undangan
a) UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
b) UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
c) UU No. 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
d) UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 50
Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
e) Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975
f) Inpres Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
g) Herziene
Inlandsch Reglement (HIR)
h) Rechtsreglement
voor de Buitengewesten (RBg)
i) Konvensi tentang
Hak-Hak Anak
§
Putusan
Pengadilan Agama Semarang
E.
TINJAUAN TEORITIS/KONSEPSIONAL
Tinjauan teoritis/ konsepsional dalam penulisan penelitian ini
menggunakan tinjauan daftar pustaka dan putusan pengadilan dengan sasaran dalam
penulisan penelitian ini mengenai kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai
hak nafkah anak dalam proses perceraian.
F.
TEMPAT PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI
PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) SEMARANG di Jalan Poncowolo Timur
Raya No. 455, RT 007, RW 006, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang
Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
G.
JANGKA WAKTU PENELITIAN
Waktu penelitian dalam penulisan ini pada 1 September 2020 hingga 1 Oktober 2020.
BAB II
TINJAUAN/DATA KEPUSTAKAAN
A.
Tinjauan mengenai Putusan
Pengadilan
Istilah pengadilan disebut dalam Pasal 4 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada
sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri
perkara perdata. Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, yang
harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut
serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut
bersidang (Pasal 25 Ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Berdasarkan wujudnya, setiap putusan pengadilan dalam perkara
perdata terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:[2]
1.
Kepala Putusan, setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi :
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial kepada putusan
pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan oleh
pembuat Undang-Undang juga dimaksudkan
agar hakim selalu menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya
bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (Penjelasan Umum angka 6 UU No. 14
Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman).
2.
Identitas pihak-pihak yang berperkara, dalam putusan
pengadilan identitas pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat harus dimuat
secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan, dan sebagainya serta nama kuasanya
kalau yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain.
3.
Pertimbangan (alasan-alasan), dalam putusan pengadilan
terhadap perkara perdata terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu :
Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden),
adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya pertimbangan
tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi didepan pengadilan. Seringkali
dalam prakteknya gugatan penggugat dan jawaban tergugat dikutif secara lengkap,
padahal dalam Pasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap putusan
pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban
dengan jelas.
Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden), adalah pertimbangan atau alasan dalam arti yang
sebenarnya, pertimbangan hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan
pengadilan, yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang berperkara dan hakim
yang meninjau putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat banding dan tingkat
kasasi.
4.
Amar Putusan, dalam gugatan penggugat ada yang namanya
petitum, yakni apa yang dituntut atau diminta supaya diputuskan oleh hakim,
sehingga amar putusan (diktum) itu adalah putusan pengadilan merupakan jawaban
terhadap petitum dalam gugatan penggugat.
Dalam Hukum Acara Perdata hakim wajib mengadili semua
tuntutan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi, bila tidak dilakukan putusan
tersebut harus dibatalkan (MA Nomor 104 K/Sip/1968).
B.
Tinjauan mengenai Hak Nafkah
Anak
Kedua orang tua pada seorang anak pada dasarnya diwajibkan
untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut
kawin atau dewasa. Kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua telah putus. Terkhusus bagi si Ayah, ia bertanggung jawab atas
seluruh biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
41 huruf a dan b UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yaitu sebagai
berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, antaralain:
1)
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
2)
Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut.
3)
Kewajiban Suami atas Biaya Pemeliharaan dan Pendidikan Anak
Dalam putusan perceraian telah diatur kewajiban suami untuk
memberikan nafkah anak, namun suami tidak bersedia menjalakan isi putusan. Jika
pembagian nafkahnya telah diatur dalam putusan namun tidak dijalankan oleh
mantan suami, maka dapat meminta pengadilan untuk melakukan eksekusi secara
paksa terhadap mantan suami, hal tersebut diatur di dalam Pasal 196 dan Pasal
197 Herzien Inlandsch Reglement
(“HIR”) yaitu:
-
Pasal 196 HIR
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi
isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan,
baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang
tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua
menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia
memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang
selama-lamanya delapan hari.
-
Pasal 197 HIR
Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang
dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan
patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi
perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak
tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap
kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah
uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya
untuk menjalankan keputusan itu.
Jika mantan suami/si ayah tidak mau melaksanakan isi putusan
secara sukarela, maka atas permintaan ke pengadilan untuk eksekusi putusan
terhadap hak nafkah anak maka pengadilan akan memanggil dan memperingatkan
mantan suami/si ayah, dan apabila dalam waktu 8 (delapan) hari ia tetap tidak
mau melaksanakan isi putusan, maka ketua pengadilan akan memerintahkan panitera
pengadilan negeri untuk menyita barang-barang milik mantan suami/si ayah yang
nantinya dipergunakan untuk membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
sesuai jumlah yang tercantum dalam amar putusan.
BAB III
TINJAUAN/DATA LAPANGAN
Menurut catatan data LBH APIK Semarang selama melakukan
pendampingan bantuan hukum untuk anak korban kekerasan seksual dari tahun 2016
hingga tahun 2019 bahwa hak nafkah anak tidak terlaksana sesuai dalam putusan
pengadilan, sehingga hak nafkah anak yang menjadi tanggungjawab ayah anak tidak
dipenuhi oleh ayah anak tersebut sehingga hak nafkah anak tidak dapat terpenuhi untuk anak sebagai salahsatu
hak anak dari ayah anak tersebut hingga anak dalam usia dewasa.
Hasil penelitian dalam penulisan penelitian ini telah
dilakukan Forum Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada 30 September 2020
yaitu:
1) Memberikan masukan kepada Pemerintah Negara Indonesia untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur secara lengkap mengenai pelaksanaan hak nafkah anak dalam proses perceraian.
BAB IV
ANALISIS
1.
Bentuk-Bentuk Putusan
Pengadilan
Perkara perceraian merupakan proses hukum acara perdata, dalam
penyusunan hukum acara perdata telah dibuat prosesnya agar dapat berjalan
secara cepat, sederhana, mudah di mengerti dan tentunya dengan biaya yang
murah. Menurut bentuk nya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu:[3]
1)
Putusan / vonis merupakan suatu putusan diambil untuk memutus
suatu perkara;
2)
Penetapan / beschikking
merupakan suatu penetapan di ambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu
dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair”.
Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan
dikenal dua macam pengolongan putusan yaitu:[4]
1)
Putusan Sela (Putusan Interlokutoir)
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir
yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara dikenal putusan sela yaitu putusan Preparatuir, putusan persiapan mengenai
jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan
akhir.
2)
Putusan Interlocutoir,
putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut
pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir.
3)
Putusan Incidental, putusan
yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa
yang menghentikan
prosedur peradilan biasa.
4)
Putusan Provisional,
putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara
agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan.
5)
Putusan Akhir
Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada
tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan
tinggi dan Mahkamah Agung. Putusan akhir terdiri atas:
- Putusan Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya
menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya menerangkan bahwa
A adalah ahli waris dari B dan C.
- Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya
meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru,
misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit.
- Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi
penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah
berikut bangunan yang ada diatasnya untuk membayar hutangnya.
2.
Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan
mengenai Hak Nafkah Anak dalam Proses Perceraian
Putusan hakim atau dengan istilah putusan pengadilan merupakan
sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna
menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan
kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.[5] Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan
yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai aturan hukum yang
ada bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya
melakukan suatu perbuatan atau supaya tidak melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.
Menurut ketentuan penjelasan Pasal 60 UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, menyebutkan bahwa putusan
adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu
sengketa. Mengenai kata "putusan" yang diterjemahkan dari ahli,
menyebutkan bahwa vonis adalah hasil
akhir yang disebut: interlocutoir yang diterjemahkan dengan keputusan antara
atau keputusan sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan
pendahuluan/ keputusan persiapan, serta keputusan provisionele yang
diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.[6]
Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan oleh penulis
bahwa terdapat beberapa kasus perceraian yang berkembang menjadi sengketa
terhadap hak nafkah anak di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri. Kasus
tersebut di antaranya adalah:
Kasus sengketa MR dengan BW dalam proses persidangan perkara di Pengadilan Agama Semarang pada tahun 2018 mengenai hak nafkah anak. MR (sebagai isteri yang menggugat cerai BW di Pengadilan Agama Semarang) dalam putusan pengadilan untuk pihak BW (sebagai pihak Tergugat) menghukum untuk membayarkan hak nafkah anak dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk anak hingga dewasa. Namun, implementasinya kekuatan hukum putusan pengadilan tersebut seakan terkesan “kebal” bagi Tergugat, karena Tergugat telah 2 (dua) tahun ini tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dalam putusan pengadilan tersebut, namun tidak ada upaya paksa dalam kekuatan hukum putusan pengadilan tersebut.
Pertentangan tersebut menimbulkan permasalahan yang berakibat
menghambat proses eksekusi terhadap putusan, yaitu:[7]
1)
Hambatan yang bersifat yuridis seperti tidak adanya aturan
yang khusus dan terperinci mengenai eksekusi terhadap hak nafkah anak;
2)
Tergugat tidak mempunyai harta yang dapat dieksekusi sebagai
pengganti biaya hak nafkah anak;
3)
Kesadaran Tergugat secara psikologis sebagai seorang ayah yang
tidak secara sadar memberikan hak nafkah anak sebagai salahsatu kewajibannya
meskipun hubungan Tergugat dengan Penggugat telah putus cerai sebagai pasangan
suami isteri, akan tetapi Tergugat masih mempunyai kewajiban memberikan nafkah
anak sesuai dengan putusan pengadilan tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam
juncto UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayahnya;
sedangkan menurut ketentuan Herzien
Indonesia Reglement (HIR) menyebutkan bahwa proses eksekusi putusan harus
melalui prosedur peringatan, surat perintah eksekusi dan eksekusi eksekusi. Ketentuan pada Pasal 1917 dan 1918
KUHPerdata juga menyebutkan bahwa kekuatan suatu putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak juga dalam Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.
Proses eksekusi ada beberapa syarat pokok yaitu:[8]
a.
Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
b.
Putusan hakim yang akan
dieksekusi harus bersifat menghukum (condemmnatoir);
c.
Putusan tidk dijalankan
secara suka rela;
d.
Eksekusi atas perintah
dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan, yang dilaksanakan oleh Panitera dan
Juru Sita pengadilan yang bersangkutan.
Adapun jenis-jenis pelaksanaan putusan adalah sebagai berikut:
a.
Eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang;
b.
Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk memenuhi suatu
perbuatan;
c. Eksekusi riil.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk
menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu:
1)
Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah bersepakat
untuk menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap putusan
yang dibuat oleh pengadilan atau hakim.
2)
Kekuatan Pembuktian
Putusan pengadilan yang dituangkan dalam bentuk tertulis
merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh kedua
pihak apabila diperlukan sewaktu – waktu oleh para pihak untuk mengajukan upaya
hukum.
3)
Kekuatan Executorial
Putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kekuatan untuk
dilaksanakan secara paksa oleh para pihak dengan bantuan alat – alat negara terhadap pihak yang tidak
melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.
Kedudukan Peradilan Agama semakin dipertegas dengan lahirnya UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang
membawa perubahan terutama dalam hal:[9]
a. Mempertegas
kedudukan dan kekuasaan peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman;
b. Menciptakan
kesatuan hukum Peradilan Agama
c. Memurnikan fungsi Peradilan Agama.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan :
Kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai hak nafkah anak dalam proses
perceraian hanya bersifat Putusan Condemnatoir,
putusan yang berisi penghukuman namun tidak bersifat memaksa karena belum ada
aturan khusus yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan terkait
dengan hak nafkah anak.
B.
Saran :
1)
Para aparat penegak hukum khususnya aparat penegak
hukum yaitu hakim, perlu dibekali wawasan mengenai hukum perlindungan anak. Hal
ini dimaksudkan agar para penegak hukum dan aparat pengadilan tersebut
menangani perkara yang melibatkan anak dapat memegang prinsip mengedepankan kepentingan
yang terbaik bagi anak;
2)
Pemerintah Indonesia segera menyusun kebijakan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan putusan pengadilan
mengenai hak nafkah anak.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Soesilo, R. 1980. RIB/HIR dengan
Penjelasan. Bandung: PT. Karya Nusantara.
Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum
Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Marpaung, Leden. 2001. Proses
Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum
Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cetak Keenam, Liberty.
M. Yahya Harahap. 1989. Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
B.
Peraturan
Perundang-Undangan
Sekretariat Negara RI. UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta: 1974.
Sekretariat Negara RI. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Jakarta: 2002.
Sekretariat Negara RI. UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jakarta: 2004.
Sekretariat Negara RI. UU No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Jakarta: 2009.
Sekretariat Negara RI. UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: 2009.
Sekretariat Negara RI. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Jakarta: 1975.
Sekretariat Negara RI. Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: 1991.
Sekretariat Negara RI. Herziene
Inlandsch Reglement (HIR)
Sekretariat Negara RI. Rechtsreglement
voor de Buitengewesten (RBg)
Sekretariat Negara RI. Konvensi tentang Hak-Hak Anak
C.
Lain-lain
Catatan
pendampingan bantuan hukum LBH APIK Semarang Tahun 2016 hingga Tahun 2019
Semarang, 30
Oktober 2020
Mengetahui,
Raden rara
Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.
Direktur LBH
APIK Semarang
[1]R.Soesilo,
RIB/HIR dengan Penjelasan (Bandung:
PT. Karya Nusantara, 1980 ), halaman 145.
[2]Riduan
Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara
Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cetakam V, 2009), halaman 15.
[3] Herzien
Indonesia Reglement (HIR)
[4] Herzien
Indonesia Reglement (HIR)
[5]Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum
Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1998), halaman 24.
[6]Leden
Marpaung, Proses Penanganan Perkara
Pidana Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), halaman 406.
[7]Catatan
pengalaman pendampingan bantuan hukum LBH APIK Semarang
[8]Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia
(Yogyakarta: Cetak Keenam, Liberty, 2002), halaman 240.
[9]M.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Jakarta:
Sinar grafika, Cetakan Kedua, 2003), halaman 8-14.