Jumat, 30 Oktober 2020

PENELITIAN HUKUM IMPLEMENTASI HAK RESTITUSI TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

 




PENELITIAN HUKUM

IMPLEMENTASI HAK RESTITUSI TERHADAP 

ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL


 

A.           LATAR BELAKANG PENELITIAN

Anak adalah generasi bangsa yang harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, dan Negara Indonesia telah membentuk undang-undang perlindungan anak yaitu UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Meskipun secara implementasi aturan undang-undang perlindungan anak belum terlaksana secara maksimal, khususnya pada implementasi hak restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan; Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Seorang anak yang menjadi korban tindak pidana yang berhak mengajukan restitusi menurut  Pasal 59 Ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “(b) anak yang berhadapan dengan hukum; (d) anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; (f) anak yang menjadi korban ponografi; (h) anak korban penculikan,penjualan,dan/atau perdagangan; (i) anak korban kekerasaan fisik dan/atau psikis; (j) anak korban kejahatan seksual.”

Hak restitusi telah diatur dalam Pasal 71D Ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.” Menurut penjelasan ketentuan Pasal 71D Ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “Restitusi adalah pembagian ganti kerugian yang dibebankan oleh pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil atau inmateriil yang diderita oleh korban tindak pidana atau ahli warisnya. Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah anak korban.”

Anak korban tindak pidana berhak mendapatkan hak restitusi sesuai ketentuan undang-undang perlindungan anak, namun juga sesuai ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur bagi pelaku untuk menjadi keharusan bagi pelaku tindak pidana selain mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui sanksi pidana namun pelaku juga harus mengganti kerugian yang timbul pada korban dan keluarga korban akibat perbuatannya. Pertanggungjawaban pelaku tersebut akan dicantumkan juga dalam putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan putusan akhir (vonnis) dalam putusan hakim tersebut hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya yang sesuai dengan undang-undang perlindungan anak. 

Berdasarkan latar belakang tersebut Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang melakukan penelitian mengenai “Implementasi Hak Restitusi terhadap Anak korban Kekerasan Seksual”.

 

B.            PERMASALAHAN PENELITIAN

Permasalahan Penelitian mengenai Implementasi Hak Restitusi terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual adalah:

1.             Bagaimana Aturan Hukum mengenai Hak-Hak Anak Korban Kekerasan Seksual?

2.             Bagaimana Implementasi Hak Restitusi terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual?

 

C.           TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan dan manfaat penelitian adalah:

1)             Untuk mengetahui aturan hukum mengenai hak-hak anak korban kekerasan seksual;

2)             Untuk mengetahui implementasi hak restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual;

3)    Memberikan informasi dan kesadaran terhadap aparat penegak hukum dan masyarakat mengenai hak-hak anak korban kekerasan seksual.

 

D.           HASIL PENELITIAN

1.             Aturan Hukum mengenai Hak-Hak Anak Korban Kekerasan Seksual

Hak-hak anak korban kekerasan seksual telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1)      Hak atas pemulihan medis dan hak atas pemulihan psikologis

Hak ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

2)      Hak atas bantuan hukum

Hak ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

3)      Hak atas layanan / pemulihan psiko-sosial

Hak ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4)      Hak atas reintegrasi

Hak ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

5)      Hak atas pendamping

Hak ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

6)      Hak atas informasi perkembangan kasus

Hak ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

7)      Hak atas layanan shelter

Hak ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

8)      Hak atas layanan rohani

Hak ini diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

9)      Hak atas restitusi

Hak restitusi untuk korban kekerasan seksual di atur di dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

 

2.             Implementasi Hak Restitusi terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual

 

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana menyebutkan bahwa “Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Bentuk-bentuk restitusi adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis”.

Tata Cara Pengajuan Permohonan  Restitusi yaitu:

(1)     Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi.

(2)  Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.       Anak yang berhadapan dengan hukum;

b.       Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

c.       Anak yang menjadi korban pornografi;

d.      Anak korban penculikan, penjualan , dan/atau perdagangan;

e.       Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; dan

f.       Anak korban kejahatan seksual.

Menurut Pasal 7 ayat (1) huruf (b) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa “Restitusi adalah hak atas restitusi atau ganti kerugian menjadi yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak pidana”.

Menurut Roger Hood, tujuan pidana selain untuk mencegah pelaku atau potensial pelaku melakukan tindak pidana, pidana juga ditunjukan untuk:[1]

1)      Memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values);

2)      Menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime).

Restitusi sangatlah penting untuk seseorang yang telah menjadi korban suatu tindak pidana antaralain anak yang menjadi korban kekerasan seksual karena meskipun restitusi tidak dapat mengembalikan secara keseluruhan kerugian materiil dan inmateriil yang dialami oleh korban namun setidaknya dapat memberikan keringan kerugian yang telah dialami korban sehingga bentuk keadilan ada untuk korban, namun terkadang proses tahapan restitusi banyak mengalami hambatan ketika dalam penegakan hukum pada permasalahan korban dan masih banyak juga aparat penegak hukum ketika dalam melakukan penegakan hukum anak sebagai korban kekerasan seksual tidak mencantumkan restitusi untuk korban.

Proses restitusi telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Berikut mekanisme proses restitusi yaitu:[2]

a)                 Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.

b)                Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

c)                 Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.

d)                Pelaku memberikan restitusi paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.

e)                 Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan pelaku atau pihak ketiga kepada ketua pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan ada bukti pelaksanaan pemberian restitusi.

f)                 Salinan tanda pelaksanaan restitusi disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.

g)      Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti diatas, ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan.

h)                Apabila pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu 14 hari yang telah ditetapkan, maka korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan.

i)                  Pengadilan memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi kuasa untuk segera memenuhi kewajibannya. Apabila surat peringatan tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.

j)                  Pengadilan segara memerintahkan pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lamabat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

k)                Apabila pemberian kompensasi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.

l)                  Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai kurungan pengganti paling lama 1 tahun.[3]

Hak-hak anak ketika anak berhadapan dengan hukum terutama pada anak sebagai korban maka Negara Indonesia menjamin perlindungan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana antaralain anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual. Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anak dalam bentuk peraturan perundang-undangan, keputusan presiden dan peraturan perundang-undangan lain yang telah mengatur perlindungan anak.

Hak-hak anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990) yaitu:[4]

a)      Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman.

b)      Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan.

c)      Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak mengetahui dan diasuh orangtuanya.

d)      Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungn keluarga.

e)      Hak untuk tinggal bersama dengan orang tua.

f)       Kebebasan menyatakan pendapat/pandangan.

g)      Hak perawatan khusus bagi anak cacat.

h)      Hak anak atas pendidikan.

i)       Hak anak untuk bersenang-senang dan beristirahat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya.

j)       Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.

k)      Perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan anak.

l)       Hak memperoleh bantuan hukum baik dalam maupun luar pengadilan.

Hak-hak anak menurut Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:

a)      Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga nya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

b)      Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menajdi warga negara yang baik dan berguna.

c)      Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d)      Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan.

e)      Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Menurut catatan LBH APIK Semarang dari tahun 2016 hingga tahun 2019 bahwa pendampingan bantuan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual untuk hak restitusi korban belum terimplementasi secara maksimal, apalagi jika korban tidak mendapatkan pendampingan dari lembaga bantuan hukum yang fokus terhadap perempuan dan anak.

Berikut faktor-faktor belum terimplementasi secara maksimal hak restitusi untuk anak korban kekerasan seksual adalah:[5]

1)                 Kurangnya informasi hukum pada keluarga korban akan hak-hak korban.

2)                Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) tidak memberikan informasi hukum kepada korban dan keluarga korban terkait dengan hak-hak korban, salahsatunya adalah hak restitusi.

3)                Pendamping yang melakukan pendampingan bantuan hukum terhadap korban, tidak memberikan informasi hukum terkait hak restitusi untuk korban.

4)                Keluarga korban tidak menginginkan mengajukan permohonan hak restitusi untuk korban, namun hanya cukup pelaku dapat dikenakan sanksi hukuman penjara.

Menurut Abdussalam menyebutkan bahwa victim (korban) adalah orang yang telah mendapatkan penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.[6] Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat menyebutkan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusa yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasaan pihak manapun.

Korban kekerasan seksual selain mengalami kerugian materiil juga terutama kerugian inmateriil yang tidak dapat terhitung dengan uang, karena trauma pada korban akan kekerasan seksual yang dialami korban, akan tetap membekas seumur hidup korban, sehingga hak restitusi sebagai salahsatu hak korban yang penting diimplementasikan dalam penegakan keadilan untuk korban, karena hak restitusi dapat membantu korban untuk survive dalam keberlanjutan kehidupan korban, misal korban masih harus melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi korban seumur hidup karena dampak kekerasan seksual yang dialami korban membuat korban terinfeksi penyakit menular seksual.

E.            PENUTUP

§           Kesimpulan:

1)                Hak restitusi untuk anak korban kekerasan seksual telah diatur didalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

2)                Implementasi hak restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual belum terlaksana maksimal, karena Menurut catatan LBH APIK Semarang bahwa dari tahun 2016 hingga tahun 2019 terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam putusan pengadilan di Provinsi Jawa Tengah masih 80% belum  mencantumkan hak restitusi.

 

F.            DAFTAR PUSTAKA

§           Peraturan Perundang-Undangan

Sekretariat RI. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Jakarta: 1979.

Sekretariat RI. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: 2004.

Sekretariat RI. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: 2006.

Sekretariat RI. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: 2004.

Sekretariat RI. UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Jakarta: 2011.

Sekretariat RI. UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: 2016.

Sekretariat RI. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: 2002.

Sekretariat RI. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Jakarta: 2017.

Sekretariat RI. Hak-hak anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990). Jakarta: 1990.

§           Buku

Adussallam. Victimologi. Jakarta: PTIK, 2010.

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Sambas, Nandang. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-4, 2016.

§           Lain-lain

Catatan laporan tahunan LBH APIK Semarang di tahun  2016 – 2019.

 

 

Semarang, 30 Oktober 2020

Mengetahui,

   

Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.

Direktur LBH APIK Semarang

 



[1]Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), halaman 17.

[2]Sekretariat Negara RI, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Jakarta: 2014), halaman 2.

[3]Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-4, 2016), halaman 95 & 121.

[4]Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), halaman 14.

[5]Catatan laporan tahunan LBH APIK Semarang di tahun  2016 – 2019.

[6] Adussallam, victimologi (Jakarta: PTIK, 2010), halaman 11.

Tidak ada komentar: