PENELITIAN
HUKUM
IMPLEMENTASI HAK RESTITUSI TERHADAP
ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
A.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Anak adalah generasi bangsa yang harus dilindungi dari segala
bentuk kekerasan, dan Negara Indonesia telah membentuk undang-undang
perlindungan anak yaitu UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Meskipun secara implementasi aturan
undang-undang perlindungan anak belum terlaksana secara maksimal, khususnya
pada implementasi hak restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 17
Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan; Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Seorang anak yang menjadi korban tindak pidana yang berhak
mengajukan restitusi menurut Pasal 59
Ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “(b)
anak yang berhadapan dengan hukum; (d) anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual; (f) anak yang menjadi korban ponografi; (h) anak korban
penculikan,penjualan,dan/atau perdagangan; (i) anak korban kekerasaan fisik
dan/atau psikis; (j) anak korban kejahatan seksual.”
Hak restitusi telah diatur dalam Pasal 71D Ayat (1) UU No.35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “Setiap anak yang
menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d,
huruf f, huruf h, huruf i, huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak
restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.” Menurut penjelasan
ketentuan Pasal 71D Ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa “Restitusi adalah pembagian ganti kerugian yang dibebankan
oleh pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas
kerugian materiil atau inmateriil yang diderita oleh korban tindak pidana atau
ahli warisnya. Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak
mendapatkan restitusi adalah anak korban.”
Anak korban tindak pidana berhak mendapatkan hak restitusi sesuai
ketentuan undang-undang perlindungan anak, namun juga sesuai ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur bagi pelaku
untuk menjadi keharusan bagi pelaku tindak pidana selain mempertanggungjawabkan
perbuatannya melalui sanksi pidana namun pelaku juga harus mengganti kerugian
yang timbul pada korban dan keluarga korban akibat perbuatannya.
Pertanggungjawaban pelaku tersebut akan dicantumkan juga dalam putusan
pengadilan. Putusan pengadilan merupakan putusan akhir (vonnis) dalam putusan
hakim tersebut hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah
dipertimbangkan dan putusannya yang sesuai dengan undang-undang perlindungan
anak.
Berdasarkan latar belakang tersebut Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang melakukan penelitian
mengenai “Implementasi Hak Restitusi terhadap Anak korban Kekerasan Seksual”.
B.
PERMASALAHAN PENELITIAN
Permasalahan Penelitian mengenai Implementasi Hak Restitusi
terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual adalah:
1.
Bagaimana Aturan Hukum mengenai Hak-Hak Anak Korban Kekerasan
Seksual?
2.
Bagaimana Implementasi Hak Restitusi terhadap Anak Korban
Kekerasan Seksual?
C.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dan manfaat penelitian adalah:
1)
Untuk mengetahui aturan hukum mengenai hak-hak anak korban
kekerasan seksual;
2)
Untuk mengetahui implementasi hak restitusi terhadap anak
korban kekerasan seksual;
3) Memberikan informasi dan kesadaran terhadap aparat penegak
hukum dan masyarakat mengenai hak-hak anak korban kekerasan seksual.
D.
HASIL PENELITIAN
1.
Aturan Hukum
mengenai Hak-Hak Anak Korban Kekerasan Seksual
Hak-hak anak korban
kekerasan seksual telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan,
yaitu:
1) Hak atas pemulihan medis dan hak atas
pemulihan psikologis
Hak ini diatur dalam UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun
2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun
2016 tentang Perlindungan Anak.
2) Hak atas bantuan hukum
Hak ini diatur dalam UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
3) Hak atas layanan / pemulihan psiko-sosial
Hak ini diatur dalam UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
4) Hak atas reintegrasi
Hak ini diatur dalam UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun 2007
tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 17 Tahun 2016
tentang Perlindungan Anak.
5) Hak atas pendamping
Hak ini diatur dalam UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
6) Hak atas informasi perkembangan kasus
Hak ini diatur dalam UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun
2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun
2016 tentang Perlindungan Anak.
7) Hak atas layanan shelter
Hak ini diatur dalam UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun
2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun
2016 tentang Perlindungan Anak.
8) Hak atas layanan rohani
Hak ini diatur dalam UU No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 tahun
2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun
2016 tentang Perlindungan Anak.
9) Hak atas restitusi
Hak restitusi untuk korban
kekerasan seksual di atur di dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan
Anak.
2.
Implementasi Hak
Restitusi terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual
Menurut
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana menyebutkan bahwa
“Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian
materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Bentuk-bentuk restitusi adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti
kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau penggantian
biaya perawatan medis dan/atau psikologis”.
Tata
Cara Pengajuan Permohonan Restitusi
yaitu:
(1) Setiap Anak yang menjadi korban tindak
pidana berhak memperoleh Restitusi.
(2) Anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
Anak yang berhadapan dengan hukum;
b.
Anak yang dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual;
c.
Anak yang menjadi korban pornografi;
d.
Anak korban penculikan, penjualan ,
dan/atau perdagangan;
e.
Anak korban kekerasan fisik dan/atau
psikis; dan
f.
Anak korban kejahatan seksual.
Menurut
Pasal 7 ayat (1) huruf (b) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban menyebutkan bahwa “Restitusi adalah hak atas restitusi atau ganti
kerugian menjadi yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak pidana”.
Menurut
Roger Hood, tujuan pidana selain untuk mencegah pelaku atau potensial pelaku
melakukan tindak pidana, pidana juga ditunjukan untuk:[1]
1) Memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values);
2) Menentramkan rasa takut masyarakat
terhadap kejahatan (allaying public fear
of crime).
Restitusi
sangatlah penting untuk seseorang yang telah menjadi korban suatu tindak pidana
antaralain anak yang menjadi korban kekerasan seksual karena meskipun restitusi
tidak dapat mengembalikan secara keseluruhan kerugian materiil dan inmateriil
yang dialami oleh korban namun setidaknya dapat memberikan keringan kerugian
yang telah dialami korban sehingga bentuk keadilan ada untuk korban, namun
terkadang proses tahapan restitusi banyak mengalami hambatan ketika dalam
penegakan hukum pada permasalahan korban dan masih banyak juga aparat penegak
hukum ketika dalam melakukan penegakan hukum anak sebagai korban kekerasan
seksual tidak mencantumkan restitusi untuk korban.
Proses
restitusi telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UU
No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Berikut mekanisme proses restitusi yaitu:[2]
a)
Restitusi merupakan ganti kerugian yang
diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
b)
Restitusi diberikan dan dicantumkan
sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
c)
Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban
atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
d)
Pelaku memberikan restitusi paling lambat
60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.
e)
Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan
pelaku atau pihak ketiga kepada ketua pengadilan yang memutus perkara, disertai
dengan ada bukti pelaksanaan pemberian restitusi.
f)
Salinan tanda pelaksanaan restitusi
disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.
g) Setelah ketua pengadilan menerima tanda
bukti diatas, ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan
pengumuman pengadilan.
h)
Apabila pelaksanaan pemberian restitusi
kepada pihak korban melampaui batas waktu 14 hari yang telah ditetapkan, maka
korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan.
i)
Pengadilan memberikan surat peringatan
secara tertulis kepada pemberi kuasa untuk segera memenuhi kewajibannya. Apabila
surat peringatan tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari, pengadilan
memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang
harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
j)
Pengadilan segara memerintahkan pelaku atau
pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lamabat 30 hari kerja
terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
k)
Apabila pemberian kompensasi dapat
dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan
pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.
l)
Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi,
maka pelaku dikenai kurungan pengganti paling lama 1 tahun.[3]
Hak-hak
anak ketika anak berhadapan dengan hukum terutama pada anak sebagai korban maka
Negara Indonesia menjamin perlindungan hukum untuk anak sebagai korban tindak
pidana antaralain anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual. Negara
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anak dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
keputusan presiden dan peraturan perundang-undangan lain yang telah mengatur
perlindungan anak.
Hak-hak
anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990) yaitu:[4]
a) Memperoleh perlindungan dari bentuk
diskriminasi dan hukuman.
b) Memperoleh perlindungan dan perawatan
seperti untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan.
c) Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak
mengetahui dan diasuh orangtuanya.
d) Hak memelihara jati diri termasuk
kebangsaan, nama dan hubungn keluarga.
e) Hak untuk tinggal bersama dengan orang
tua.
f) Kebebasan menyatakan pendapat/pandangan.
g) Hak perawatan khusus bagi anak cacat.
h) Hak anak atas pendidikan.
i) Hak anak untuk bersenang-senang dan
beristirahat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya.
j) Melindungi anak dari segala bentuk
eksploitasi seksual.
k)
Perlindungan terhadap penculikan dan
penjualan atau perdagangan anak.
l) Hak memperoleh bantuan hukum baik dalam
maupun luar pengadilan.
Hak-hak
anak menurut Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU
No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:
a) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan,
asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga nya maupun
didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
b) Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menajdi warga negara yang baik dan berguna.
c) Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
d) Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak
memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan.
e) Anak yang tidak mampu berhak memperoleh
bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan
wajar.
Menurut
catatan LBH APIK Semarang dari tahun 2016 hingga tahun 2019 bahwa pendampingan
bantuan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual untuk hak restitusi korban
belum terimplementasi secara maksimal, apalagi jika korban tidak mendapatkan
pendampingan dari lembaga bantuan hukum yang fokus terhadap perempuan dan anak.
Berikut
faktor-faktor belum terimplementasi secara maksimal hak restitusi untuk anak
korban kekerasan seksual adalah:[5]
1)
Kurangnya informasi hukum pada keluarga
korban akan hak-hak korban.
2)
Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan
hakim) tidak memberikan informasi hukum kepada korban dan keluarga korban
terkait dengan hak-hak korban, salahsatunya adalah hak restitusi.
3)
Pendamping yang melakukan pendampingan
bantuan hukum terhadap korban, tidak memberikan informasi hukum terkait hak
restitusi untuk korban.
4)
Keluarga korban tidak menginginkan
mengajukan permohonan hak restitusi untuk korban, namun hanya cukup pelaku
dapat dikenakan sanksi hukuman penjara.
Menurut
Abdussalam menyebutkan bahwa victim
(korban) adalah orang yang telah mendapatkan penderitaan fisik atau penderitaan
mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha
pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.[6] Menurut
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
menyebutkan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusa yang berat
yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan
kekerasaan pihak manapun.
Korban kekerasan
seksual selain mengalami kerugian materiil juga terutama kerugian inmateriil
yang tidak dapat terhitung dengan uang, karena trauma pada korban akan
kekerasan seksual yang dialami korban, akan tetap membekas seumur hidup korban,
sehingga hak restitusi sebagai salahsatu hak korban yang penting
diimplementasikan dalam penegakan keadilan untuk korban, karena hak restitusi
dapat membantu korban untuk survive dalam keberlanjutan kehidupan korban, misal
korban masih harus melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi korban seumur
hidup karena dampak kekerasan seksual yang dialami korban membuat korban
terinfeksi penyakit menular seksual.
E.
PENUTUP
§
Kesimpulan:
1)
Hak restitusi
untuk anak korban kekerasan seksual telah diatur didalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan
Anak.
2)
Implementasi
hak restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual belum terlaksana maksimal,
karena Menurut catatan LBH APIK Semarang bahwa dari tahun 2016 hingga tahun
2019 terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam putusan pengadilan di
Provinsi Jawa Tengah masih 80% belum
mencantumkan hak restitusi.
F.
DAFTAR
PUSTAKA
§
Peraturan
Perundang-Undangan
Sekretariat RI. UU No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak. Jakarta: 1979.
Sekretariat RI. UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta: 2004.
Sekretariat RI. UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: 2006.
Sekretariat RI. UU
No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jakarta: 2004.
Sekretariat RI. UU
No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Jakarta: 2011.
Sekretariat RI. UU
No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Jakarta: 2016.
Sekretariat RI. Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan
Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: 2002.
Sekretariat RI. Peraturan
Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang
Menjadi Korban Tindak Pidana. Jakarta: 2017.
Sekretariat RI. Hak-hak
anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990). Jakarta: 1990.
§
Buku
Adussallam. Victimologi.
Jakarta: PTIK, 2010.
Nashriana. Perlindungan
Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Sambas, Nandang. Pembaharuan
Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Waluyo, Bambang. Viktimologi
Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-4, 2016.
§
Lain-lain
Catatan laporan tahunan LBH APIK Semarang di tahun 2016 – 2019.
Semarang, 30 Oktober 2020
Mengetahui,
Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.
Direktur LBH APIK Semarang
[1]Nandang
Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), halaman 17.
[2]Sekretariat
Negara RI, Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak (Jakarta: 2014), halaman 2.
[3]Bambang
Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban
dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-4, 2016), halaman 95 &
121.
[4]Nashriana,
Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), halaman 14.
[5]Catatan
laporan tahunan LBH APIK Semarang di tahun
2016 – 2019.
[6] Adussallam, victimologi (Jakarta: PTIK, 2010), halaman 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar