Senin, 07 November 2016

Paralegal LBH APIK Semarang melakukan Audiensi ke Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah

Audiensi Ke Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah

LBH APIK Semarang dan Paralegal dari Pati, Rembang, Demak dan Semarang pada hari Senin, 7 November 2016 melakukan audiensi ke Kantor Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah di Jalan Erlangga. Dalam audiensi Paralegal dari masing-masing wilayah menyampaikan tentang permasalahan pelayanan publik yang mereka alami saat mengakses. 




Rabu, 25 Mei 2016

AKSI NYALA 1.000 LILIN UNTUK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL


PRESS RELEASE

AKSI NYALA 1.000 LILIN UNTUK PARA KORBAN

OLEH SOLIDARITAS “SAHABAT KORBAN”


Kasus perkosaan massal (gank rape) yang terjadi pada YY di Rejanglebong, Bengkulu telah menggugah masyarakat. Kita semua tersentak dengan kematian tragis seorang gadis cilik karena diperkosa dan dianiaya 14 orang pemuda, beberapa diantaranya juga masih berusia anak.

Di Jawa Tengah pada 2014-2015, angka kekerasan pada tahun 2014 menunjukkan jumlah korban 2.689 orang. Sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 2.630 kasus. Dari keseluruhan kasus terbanyak adalah kasus Kekerasan Seksual, yakni sebanyak 846 kasus, kemudian kasus Kekerasan Fisik sebanyak 823 kasus, dan berikutnya adalah kasus kekerasan Psikis yakni sebanyak 768 kasus.

Khusus untuk kasus kekerasan seksual, pada tahun 2012 terdapat korban 7 orang anak laki-laki dan 450 orang anak perempuan, untuk tahun 2013 terdapat korban 16 orang anak laki-laki dan 409 orang anak perempuan, sedangkan tahun 2014 terdapat korban 53 orang anak laki-laki dan 556 orang anak perempuan. Artinya setiap hari di Jawa Tengah terdapat lebih dari 2 orang anak menjadi korban kekerasan seksual.

Contoh kasus:
-     Tiga orang anak laki-laki (usia 9 dan 8 tahun) mencabuli adik kelasnya yang berusia 7 tahun,
-     Seorang tokoh masyarakat melakukan pembelian jasa seks dari seorang mucikari dimana korbannya masih berusia 16 tahun dan kemudian hamil. Sedangkan tokoh masyarakat tersebut menolak bertanggungjawab
-     Tiga orang anak laki-laki disodomi seorang anak laki-laki berusia 17 tahun
-     Tiga orang anak laki-laki usia 12 – 14 tahun memperkosa selama jangka waktu satu tahun terhadap seorang anak perempuan sejak usia 6 sampai 7 tahun
-     Seorang anak berumur 5 tahun diperkosa oleh tetangganya yang berstatus mahasiswa
-     17 orang anak siswa SD menjadi korban kekerasan seksual dari guru agama di sekolahnya
-     Seorang anak laki-laki kelas V SD memperkosa 7 orang adik kelasnya, korban terdiri dari 5 orang perempuan dan 2 orang anak laki-laki.
Anak yang menjadi korban sejumlah 1486 orang anak, dan Korban disabilitas sebanyak 61 orang. Dari sisi pelaku terdapat mayoritas pelaku laki-laki, yaitu sebanyak 2.352 orang.

Jenis kekerasan terhadap anak yang tertinggi adalah kekerasan seksual. Kasus-kasus tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Bentuk Kekerasan seksual: Pelecehan seksual, perkosaan, sodomi, trafficking, pemaksaan perkawinan/perkawinan usia anak, eksploitasi seksual.
  Korban kekerasan seksual adalah anak perempuan dan laki-laki (walaupun sebagian besar adalah anak perempuan), termasuk anak penyandang disabilitas.
  Mayoritas pelaku kekerasan seksual anak adalah orang yang dikenal dan orang dekat.
  Anak juga menjadi pelaku kekerasan seksual.

Berdasarkan situasi tersebut, Jaringan Solidaritas Sahabat Korban mengadakan Aksi Solidaritas Nyala 1.000 Lilin Untuk Para Korban. Adapun aksi akan dilaksanakan pada:

Hari                 : Selasa
Tanggal           : 24 Mei 2016
Waktu              : 18.30 - selesai 
Tempat            : Tugu Muda Semarang

Acara akan diisi dengan penampilan pentas seni dari berbagai jaringan dan doa bersama lintas agama seraya menyalakan 1000 lilin. Aksi ini adalah upaya bersama yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk mewujudkan komitmen bersama perlindungan menyeluruh kepada perempuan dan anak kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Untuk itu kami mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat sebagai berikut:
1.      Segera mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual
2.   Segera membangun sistem pencegahan kekerasan seksual berupa re-edukasi kepada seluuruh masyarakat tentang keadilan dan kesetaraan gender di bidang pendidikan formal maupun informal
3.    Segera mengefektifkan sistem layanan korban yang berpusat pada pemenuhan hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan.
4.      Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku dan perlindungan bagi korban
5. Memerintahkan kepada Kapolri untuk menerbitkan kebijakan pemeriksaan satu pintu untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dengan berpegang teguh pada aturan perlindungan saksi dan korban pelapor, untuk mencegah korban mengalami kriminalisasi.

Untuk itu kami mengajukan tuntutan kepada pemerintah daerah sebagai berikut:
1)             Penguatan penyelenggaraan layanan korban kekerasan seksual di seluruh PPT Kabupaten/kota dengan membangun sistem rehabilitasi sosial korban kekerasan sekaul yang komprehensif dan melibatkan semua pihak dan dilakukan dalam tiap proses penanganan:
2)             Mendorong Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah serta untuk segera melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang pencegahan kekerasan seksual dan perlindungan korban kekerasan di lingkungan sekolah
3)             Mendorong kebijakan dan alokasi dana desa yang menjamin alokasi untuk penyelenggaraan layanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak



#SayaYuyun
#SahabatKorban
#TidakMemperkosa

Semarang, 24 Mei 2016
SOLIDARITAS SAHABAT KORBAN




Jumat, 22 April 2016

PEREMPUAN MEMBACA AMDAL dalam Rangka Memperingati Hari Kartini


Press Release
Sarasehan
Peringatan Hari Kartini
“Perempuan Membaca Amdal”
Semarang, 21 April 2016

Salam kendeng lestari..!!!
Berbagai daerah di Pati sebelah selatan (Pegunungan Kendeng)—daerah yang menjadi lumbung pangan Jawa Tengah bahkan Nasional—satu per satu menjadi bidikan berbagai perusahaan tambang Perjuangan masyarakat untuk menolak alih fungsi pegunugan karst Kendeng sudah berlangsung sejak 2004.
Sampai saat ini terdapat 203,217 jiwa yang tinggal di tiga Kecamatan di Pati Selatan yang menggantungkan hidupnya ke pegunugan Kendeng. Terdapat 112 mata air di wilayah Grobogan dan Sukolilo Pati dengan debit relatif stabil, menjadi sumber air bagi ribuan keluarga dan lebih dari 8000 keluarga dan lebih dari 4000 hektar sawah di Sukolilo.
Warga menggantungkan hidupnya dari lahan subur di pegunungan Kendeng,  serta limpahan pakan untuk ternak. Pendapatan ekonomi untuk satu tahun di lahan seluas 300 hektar, dari padi tegalan mencapai lebih dari Rp3,4 miliar dan Rp2,8 miliar dari Jagung. Sedangkan singkong menghasilkan Rp1,8 miliar dan cabai Rp10,8 miliar untuk setiap panennya di lahan seluas 150 hektar. Sektor peternakan untuk sapi menghasilkan lebih dari Rp3,8 miliar pendapatan. Belum termasuk ternak lain seperti ayam, kambing, bebek, lele dan kerbau.  Hanya warga desa Timbrangan di Pegunungan Kendeng Utara total ada Rp. 21,7 miliar pendapat per tahun.
Solidaritas Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (SM-PPK) lahir sebagai wujug tanggung jawab solidaritas pada warga Kendeng. Gerakan ini bergerak dalam advokasi non-litigasi yang terdiri dari gabungan berbagai LSM, Yayasan, Sanggar Seni, Perguruan Tinggi, Akademisi, Mahasiswa hingga masyarakat umum dari berbagai wilayah.
Sebagai gerakan solidaritas maka SM-PPK menyuarakan perjuangan penolakan pengalihan fungsi karst Kendeng yang berpotensi merusak lingkungan dan mengganggu ekosistem serta sumber kehidupan warga yang telah bertempat tinggal disana. Berbagai acara diselenggarakan untuk menggalang dukungan dan merangkul masyarakat lebih luas untuk bergabung dalam gerakan solidaritas ini. Acara “Perempuan Membaca Amdal” diinisiasi untuk menjadi pengeras suara perempuan pembela Pegunungan Kendeng untuk meneriakan suara hati nuraninya. SM-PPK mencoba mengangkat perspektif perempuan Pembela Pegunungan Kendeng dalam konteks mereka sebagai masyarakat yang terkena dampak pendirian pabrik semen.
Perspektif perempuan dengan pendekatan kebudayaan ini adalah bentuk komitmen SM-PPK dalam proses advokasi non-litigasinya terhadap masalah di pegunungan Kendeng. SM-PPK bergerak menuju tuntutan akhir (final goal) kepada pemerintah—Presiden Jokowi dan Gubernur Ganjar—untuk mengeluarkan kebijakan membatalkan alih fungsi pegunungan karst Kendeng.
Selama ini akses perempuan terhadap berbagai program pembangunan selalu diabaikan. Suara mereka diabaikan. Padahal perempuan adalah bagian dari masyarakat yang mendapat dampak dari alih fungsi karst Kendeng. Selama ini perempuan telah berperan menjadi perawat dan pemelihara lingkungan, air, pohon dan binatang yang telah memberikan hidup bagi masyarakat.
SM-PPK juga berkomitmen tinggi untuk terus melakukan gerakan nir-kekerasan. Sementara tujuan jangka pendek dari acara “Perempuan Membaca Amdal” tentu sebagi gerakan “nyambung nafas” perjuangan penolakan alih fungsi pegunungan karst Kendeng. SM-PPK juga menghimbau untuk melakukan moratorium kegiatan pertambangan khususnya di Pulau Jawa, serta mengharap agar pemerintah menaati segala bentuk produk hukum yang mengatur dan melindungi kelestarian lingkungan.
Tujuan dari diadakannya Sarasehan Perempuan Membaca Amdal kali ini adalah:
1. Menghimbau kepada pemerintah untuk mendengar suara warga terutama dari perspektif  perempuan. 
2. Meminta Pemerintah baik pusat maupun Provinsi untuk membatalkan alih fungsi pegunungan   karst Kendeng.
3. Menghimbau Pemerintah untuk melakukan moratorium pertambangan di Pulau Jawa.
4. Menghimbau agar Pemerintah menaati semua produk hukum yang mengatur kelestarian   lingkungan. 
5. Menghimbau masyarakat peduli lingkungan untuk bergabung menyuarakan penolakan pendirian pabrik semen di Pulau Jawa dan khususnya Kawasan Pegunungan Kendeng.

Hormat Kami

Salam Kendeng Lestari

Semarang, 21 April 2016
Solidaritas Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng
(SMPPK)

Kontak person
Dinah Katjasungkana (081326695762)

Hotmauli Sidabalok (08122560448)

Minggu, 20 Maret 2016

Kegiatan Ke-3 Memperingati Hari Perempuan Sedunia Tahun 2016



Press Release
Pemutaran dan Diskusi Film “SAMIN Vs SEMEN”
Kamis, 17 Maret 2016
Gd.Thomas Aquinas Lt.3 – UNIKA Soegijapranata

           
Salam Perempuan Indonesia......

Perjuangan perempuan belum usai. Masih banyaknya diskriminasi, ketimpangan, kekerasan, dan ketidakadilan yang dialami perempuan, menjadi penyebab masih panjangnya perjuangan perempuan-perempuan di dunia. Dari Wilhelmina Drucker, Audre Lodre, Vandana Shiva, Kartini, hingga yang saat ini masih sorotan di Indonesia adalah perjuangan ibu-ibu Kendeng melawan pabrik semen sebagai bukti nyata.

Berangkat dari adanya perjuangan perempuan Masyarakat Kendeng melawan pembangunan pabrik semen tersebut, maka peringatan Hari Perempuan se-Dunia/International Women’s Day (IWD) 2016 di Semarang bertema Membuka Ruang Ekspresi Perempuan, untuk itu kami dalam rangkaian kegiatan di bulan Maret ini kami mengadakan pemutaran film  “SAMIN Vs SEMEN” Karya Dhandy Laksono & Suparta ARZ. Untuk mengapresiasi Perjuangan Perempuan Samin menolak pembangunan pabrik Semen yang berpotensi merusak alam berikut dengan perusakan sumber penghidupan mereka selama ini. Harapan kami, masyarakat luas dapat mengetahui dan menjadi saksi serta mendukung perjuangan rakyat Kendeng tersebut yang secara artikulatif dilakukan oleh perempuan di Indonesia. Dalam film tersebut, nampak bahwa para perempuan menjadi pasukan garda depan dalam aksi perlawanan terhadap upaya perusakan alam, yang disimbolkan dengan pendirian tambang semen. 

Acara yang digelar pada Kamis (17/3) pukul 13.00-16.00 WIB, di Gedung Thomas Aquinas Lt. 3 – UNIKA Soegijapranata tersebut juga menghadirkan langsung Gunritno dan Sukinah sebagai pelaku dari perjuangan melawan pabrik semen yang direpresentasikan dalam film “SAMIN Vs SEMEN” sebagai narasumber. Selain itu, narasumber yang dihadirkan adalah Dewi Candraningrum dari Jejer Wadon dan Jurnal Perempuan, dan Soka Handinah Katjasungkana dari LBH Apik Semarang, dengan dimoderatori oleh Donny Danardhono dari UNIKA Soegijapranata.

Acara peringatan Hari Perempuan Se-Dunia di Semarang juga merupakan rangkaian dari kegiatan seluruh elemen Gerakan Perempuan di Indonesia. Dimana tahun ini tema yang diambil adalah “Gerakan Perempuan Melawan Ketimpangan” dengan tuntutan sebagai berikut:
  1. Negara menghentikan segala bentuk ketimpangan yang berujung pada kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Imdonesia serta menjamin kepastian hukum
  2. Negara mendukung pembangunan berkelanjutan (SDGs) untuk mengakhiri ketimpangan dan tidak meninggalkan satupun rakyat Indonesia
  3. Negara menghentikan segala bentuk ketimpangan yang dialami perempuan di berbagai sektor
  4. Negara menjamin keamanan dan kebebasan perempuan untuk berekspresi dan berpendapat, termasuk kelompok dengan orientasi seks tertentu
  5. Negara berhenti sebagai sponsor atas tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Selamat Hari Perempuan Se-Dunia, mari Kita “Menyatukan Rasa, Membuka Ruang Ekspresi dan Semangat Perempuan Indonesia untuk Mengakhiri Ketimpangan di Berbagai Bidang”

Semarang, 17 Maret 2016
Panitia IWD Semarang:
LBH APIK Semarang, LP Wanita Bulu, GADIS (Girls Against Discrimination),
Yayasan Setara, Serikat PRT Merdeka, PMLP (Program Magister Lingkungan dan Perkotaan), PSW (Pusat Studi Wanita) UNIKA Soegijapranata, Jejer Wadon Solo, LSKAR Magelang, PBHI Jawa Tengah dan LRC-KJHAM.


Rabu, 09 Maret 2016

SARASEHAN HARI PEREMPUAN SEDUNIA_2016




Press Release
SARASEHAN HARI PEREMPUAN SEDUNIA
“Menyatukan Rasa, Ekspresi dan Semangat Perempuan Indonesia”
Selasa, 8 Maret 2016
LP Wanita Bulu Semarang


           
Salam Perempuan Indonesia......
Peringatan Hari Perempuan menjadi 8 Maret bermula dari konferensi perempuan se dunia tahun 1911 yang memperjuangkan hak perempuan untuk bekerja, memiliki hak politik, memegang jabatan publik dan mengakhiri diskriminasi. Namun kurang dari sepekan kemudian, pada 25 Maret 1911 terjadi peristiwa kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York. Pada saat itu gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes mengenai kondisi kerja yang buruk. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes kondisi kerja yang buruk dan tingkat gaji yang rendah. Kemudian para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi yang mengakibatkan 140 orang buruh perempuan meninggal dunia. Peristiwa itu memaksa pemerintah Amerika lebih memperhatikan kondisi pekerja perempuan melalui undang-undang Perburuhan yang lebih adil.

Kegiatan peringatan Hari Perempuan Se-Dunia di Semarang kali ini mengambil tema “Membuka Ruang Ekspresi Perempuan”. Sedangkan pemilihan lokasi di LP Wanita Bulu sebagai simbol tentang keterbatasan dan keterpenjaraan perempuan dalam mengekspresikan dirinya dan kepentingannya sebagai manusia. Perempuan telah dihalangi oleh norma-norma patriarki yang membatasi ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan diri dan mengartikulasikan kepentingannya dalam berbagai bidang; politik, ekonomi, sosial dan budaya. Perempuan dipaksa untuk menjadi simbol moralitas masyarakat dan dijadikan obyek berbagai aturan seringkali berujung pada pembatasan ruang gerak dan juga kekerasan. Pembatasan ruang ekspresi dan berpendapat perempuan merupakan praktek diskriminasi yang merupakan pelanggaran hak dasar perempuan.

Untuk itulah dipilih tema “ Menyatukan Rasa, Membuka Ruang Ekspresi dan Semangat Perempuan Indonesia” untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia tahun 2016 ini

Adapun rangkaian kegiatan diantaranya adalah:
1.      Workshop Kelas Menyulam Cita dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2016 jam 10.00 – 13.00 di Lapas Wanita Bulu Semarang.
2.      Pameran Hasil Kelas “Menyulam Cita” dan Sarasehan Diskusi “Membuka Ruang Ekspresi Perempuan; Express Yoursel (8 Maret 2016 jam 09.00 – 12.00) di Lapas Wanita Bulu Semarang.
3.      Nonton Bareng dan Diskusi Film (17 Maret 2016 jam 13.00 – 16.00 di Gedung Thomas Aquinas, UNIKA Soegijapranata.

Narasumber dalam Sarasehan diantaranya adalah :
1.      Ibu Dra. Suprobowati, Bc.IP.,MH ( Kepala Lapas Kelas II Wanita Semarang)
2.      Ibu Anne Avantie (Inspiring Woman Entrepreneur)
3.      Ibu Setyawati, SH,M.Hum(Kabid.Pelayanan Hukum – Kanwil Kemenkumham Jateng)
4.      Ibu Prof.Dr. Agnes Widanti, SH, CN (Jaringan Peduli Perempuan & Anak)
Moderator : Soka Handinah

Acara peringatan Hari Perempuan Se-Dunia di Semarang juga merupakan rangkaian dari kegiatan seluruh elemen Gerakan Perempuan di Indonesia. Dimana tahun ini tema yang diambil adalah “Gerakan Perempuan Melawan Ketimpangan” dengan tuntutan sebagai berikut:
  1. Negara menghentikan segala bentuk ketimpangan yang berujung pada kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Imdonesia serta menjamin kepastian hukum
  2. Negara mendukung pembangunan berkelanjutan (SDGs) untuk mengakhiri ketimpangan dan tidak meninggalkan satupun rakyat Indonesia
  3. Negara menghentikan segala bentuk ketimpangan yang dialami perempuan di berbagai sektor
  4. Negara menjamin keamanan dan kebebasan perempuan untuk berekspresi dan berpendapat, termasuk kelompok dengan orientasi seks tertentu
  5. Negara berhenti sebagai sponsor atas tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Selamat Hari Perempuan Se-Dunia, mari Kita
 “Menyatukan Rasa, Membuka Ruang Ekspresi dan Semangat Perempuan Indonesia untuk Mengakhiri Ketimpangan di Berbagai Bidang”


Semarang, 8 Maret 2016
Panitia IWD Semarang:
LBH APIK Semarang, LP Wanita Bulu, GADIS (Girls Against Discrimination),
Yayasan Setara, Serikat PRT Merdeka, Avantie Foundation, PMLP (Program Magister Lingkungan dan Perkotaan), PSW (Pusat Studi Wanita) UNIKA Soegijapranata dan Waroeng Mama

Kontak koordinator panitia penyelenggara : Nika (08562589869)

Senin, 22 Februari 2016

Kekerasan Seksual dan Pencitraan Tubuh Perempuan


oleh:
Soka Handinah Katjasungkana[1]

Data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin memprihatinkan. Termasuk didalamnya yang paling mengerikan adalah kekerasan seksual. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa kasus ini selalu mengintai perempuan dan anak kita, dan kasus-kasus yang ada menunjukkan bahwa tidak hanya anak perempuan melainkan anak laki-laki juga menjadi korban. Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan sepanjang pada tahun 2010, 50 % diantaranya adalah perkosaan. Pulau Jawa adalah wilayah dengan korban kekerasan terhadap perempuan tertinggi, disusul Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Dari jumlah tersebut terlihat bahwa setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, jadi hampir setiap jam jatuh satu orang korban kekerasan seksual. Sedangkan data Bank Dunia, menunjukkan bahwa perempuan yang berumur antara 15-44 tahun lebih berisiko jadi korban perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga daripada kanker, kecelakaan, perang atau malaria.
Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah Angka kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2010 terdapat 2867 kasus di kabuaten/kota. Sedangkan untuk kekerasan seksual terdapat 854 orang korban. Sedangkan yang kasus eksploitasi mencapai 158 orang korban. Artinya setiap 8 jam jatuh 1 orang korban kekerasan di Jawa Tengah, anak-anak maupun perempuan dewasa.
Dari berbagai kasus tersebut, Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa kekerasan seksual memiliki 15 bentuk. Yaitu: Perkosaan, Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, Prostitusi paksa, Perbudakan seksual, Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi di Indonesia, Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, Penyiksaan seksual, Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual/diskriminatif, Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia) kekerasan seksual adalah suatu tindakan penganiayaan/perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, dan social, yang membahayakan kesehatan fisik, psikologis dan kehidupan sosial seseorang. Kekerasan Sexual adalah masalah hak azasi amusia dan kesehatan masyarakat yang serius dengan konsekuensi jangka panjang terhadap fisik, mental serta kesehatan reproduksi dan seksual seseorang. Kekerraan seksual dapat terjadi dalam sebuah konteks keluarga, hubungan intim, atau struktur masyarakat atau selama masa konflik. Hal ini merupakan penderitaan yang dalam bagi seorang korban.
Selama ini ada mitos yang berkembang dalam masyarakat bahwa penyebab tindakan kekerasan seksual adalah berasal dari si korban itu sendiri. Artinya korban dianggap turut bersalah atau bahkan menjadi pihak yang paling bersalah atas terjadinya kejahatan tersebut. Yaitu karena penampilan korban yang dianggap seronok, seksi dan “mengundang”, seperti baju yang terbuka, rok mini, riasan wajah yang “berlebihan” dan sebagainya. Padahal dari berbagai kasus kekerasan seksual tersebut justru menunjukkan bahwa korban tidak mengenal usia, artinya korban banyak yang berusia pra pubertas atau bahkan balita, ang secara biologis diketahui belum mempunyai dorongan birahi, jadi bagaimana mungkin bisa melakukan “undangan”. Selain itu juga dikatui banyak korban yang samasekali jauh dari penampilan yang “disangka” selama ini, mereka berbaju tertutup, banyak diantaranya adalah santri yang menggunakan hijab), dan sama sekali tidak menggunakan riasan wajah. Disamping itu juga beberapa orang korban adalah anak laki-laki. Jadi penampilan korban sangat jauh dari gambaran yang berkembang di masyarakat selama ini.
Dari perkspektif feminis dipercaya bahwa berbagai kasus kekerasan seksual tersebut disebabkan disebabkan system patriarki (dan kapitalisme) telah menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, dan juga dijadikan ukuran baik buruknya moralitas sebuah masyarakat, dan karena itu harus dikendalikan oleh sebuah otoritas tertentu (baik budaya maupun politik). Karena itu tulisan ini bermaksud untuk mendiskusikan bagaimana tubuh perempuan selama ini diinterpretasikan dalam masyarakat dan direpresentasikan dalam budaya, termasuk media massa, sehingga mendorong terjadinya peristiwa kekerasan seksual terutama kepada perempuan.
Dalam studi feminisme juga terdapat berbagai pendapat yang berkembang. Seorang Feminist gelombang pertama Simone de Beauvoir menyatakan dalam bukunya The Second Sex bahwa bahwa woman is made, not born (perempuan dijadikan dan bukan dilahirkan). Jadi keperempuanan bukanlah sebuah takdir (nature) yang melekat pada manusia, melainkan sebuah ciptaan masyarakat (nurture). Begitu pula sifat-sifat atau ciri-ciri feminitas dan maskulinat adsalah dilekatkan melalui pola asuh dalam keluarega dan masyarakat.
Inilah yang menjadi titik awal adanya ketidakadilan berbasis perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gelombang feminis berikutnya, terutama dari kalangan akademisi menyatakan adanya relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan adanya berbagai bentuk ketidakadilan dalam masyarakat termasuk kekerasan (gender based violence). Kemudian juga berkembang wacana tentang seksualitas yang melengkapi analisa tentang gender, yang tidak hanya mengenai atribut gender atau ciri-ciri social, tetapi juga tentang tubuh dan ketubuhan, juga nilai-nilai budaya tentang tubuh.
Filsuf Post Modernisme Foucault menyatakan bahwa dalam tubuh manusia terdapat  hubungan antara kekuasaaan dan seksualitas. Dalam pengertian bahwa relasi kekuasaan telah mendasari konstruksi pengetahuan, dan digunakan untuk menerapkan normalisasi tubuh dan kebiasaan seksual. Jadi terdapat kekuasan yang telah merumuskan mana yang normal dan abnormal baik tentang kondisi tubuh dan proses-proses yang terjadi padanya termasuk aktivitas seksual. Pemikiran ini memberikan kontribusi untuk dapat memahami mengapa dan bagaimana tubuh perempuan diperlakukan selama ini.

Karena itu dalam melihat seksualitas perempuan, yang harus menjadi dasar pemahaman bahwa terdapat Gender Power Relations, dimana diantara laki-laki dan perempuan dan didalamnya terdapat relasi yang timpang, yang menciptakan struktur yang tidak adil. Dimana yang berada pada posisi superordinat menguasai pihak yang berada pada posisi subordinat. Dalam konteks relasi yang demikian itulah perempuan direduksi menjadi sekedar tubuh, dan menghapus potensi lainnya, termasuk intelektualitas bahkan spiritualitas. Tubuh perempuan dijadikan obyek seks semata.

Fakta alamiah tentang tubuh perempuan yang memiliki kemampuan reproduksi berupa menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui telah dijadikan dasar untuk memaknai tubuh perempuan sebagai sesuatu yang berbahaya dan tidak dapat dikontrol, bahkan dianggap sama sekali tak dapat dipahami secara rasional. Di pihak lain tubuh laki-laki dianggap aman terkendali dan bisa dipahami (masuk akal). Maka tubuh perempuan yang dianggap tidak stabil itu dianggap membutuhkan perhatian dan untuk itu dibuat seperangkat aturan guna mengendalikannya.

Berangkat dari anggapan itulah maka seksualitas laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Diantaranya adalah aktifitas seksual perempuan adalah terutama untuk prokreasi (meneruskan keturunan), harus selalu menjaga kesucian atau keperawanan (yang disetarakan dengan tidak robeknya selaput dara di pintu vagina), harus mempunyai malu dan nilai harga diri. Perempuan dan tubuhnya juga diasosiasikan dengan emosionalitas, proses alam (hal yang asli dan sederhana).

Secara berlawanan, seksualitas laki-laki  dimaknai dengan cara oposisi (berlawanan), dimana aktivitas seksual laki-laki adalah terutama untuk rekreasi (mengejar kenikmatan), laki-laki juga ditempatkan sebagai penjaga penjaga kehormatan perempuan. Laki-laki dan seluruh ketubuhannya diasosiasikan pada rasionalitas, diasosiakan dengan budaya serta pemikiran (hal-hal yang canggih).

Salah seorang feminis yang cukup terkemuka Naomi Wolf dalam karyanya ‘The Beauty Myth’ mengemukakan hal –hal yang membantu kita untuk memahami bagaimana tubuh perempuan dimaknai. Telah terdapat upaya menentukan standar tubuh perempuan antara yang ideal versus tubuh sub normal, dimana yang sub normal (berkulit gelap, gendut, disabilitas dan seterusnya) dianggap aseksual (tidak seksi). Dalam situasi seperti inilah yang memungkinkan adanya eksploitasi perempuan oleh industri pakaian dan kosmetik. Industri kecantikan bernilai milyaran dollar dan berdimensi global jelas telah meraup kekayaan yang berlimpah atas berlakunya nilai-nilai ini.

Selain itu industri kapitalistik juga telah menciptakan kebutuhan dan istilah-istilah baru tentang tubuh dan wajah yang ideal, yang dianggap paling cantik dan harus diraih oleh semua perempuan agar meraih prestise tertinggi. Misalnya perempuan yang ideal harus menarik perhatian laki-laki, sebagaimana digambarkan dalam iklan-iklan di media massa.. Digambarkan juga bahwa standar kecantikan utamanya adalah tubuh yang langsing namun montok/sintal”, berkulit putih, berambut panjang dan lurus, wajah mulus, bibir tipis dan merah, awet muda, dan seterusnya. Karena itu secara intensif mereka industri kosmetik pun menjual berbagai produk yang menunjang “terciptanya imaji ideal” tersebut, yaitu krim pemutih, parfum dan shampo, krim pencegahan penuaan, pelurus rambut, pewarna rambut, pelangsing tubuh, krim pemontok payudara dan seterusnya.

Sebagai manusia yang juga berada berada di dalam system yang seperti itu, tentu saja kaum perempuan juga menginternalisasi ide-ide patriarkis tersebut dan beramai-ramai berusaha meraih standar yang ditentukan oleh kekuasaan. Karena itu perempuan sangat peduli pada tubuhnya, dengan melakukan berbagai tindakan untuk memperindah dan mempercantik demi mengejar “imaji ideal cantik yang diidamkan para laki-laki, hal inilah yang seolah-olah menjadi mitos kesejatian perempuan.

Selain aspek komersial tersebut, upaya ini tentu saja dapat diartikan mendukung diskriminasi terhadap perempuan karena melanggengkan dan memperkuat pandangan stereotype tentang perempuan. Selain itu juga dapat dikatakan mendukung rasisme (karena ciri-ciri etnis tertentu saja yang memenuhi kriteria kecantikan, sedangkan ciri-ciri ras yang lain tidak mendukung imaji kecantikan yang diusung secara dominan oleh industri), diskriminasi usia (karena yang tua dianggap jelek dan tidak menarik) dan istilah kenormalan tubuh (orang dengan disabilitas tubuh bukan bagian dari ciri-ciri cantik dan menarik).

Padahal mitos tentang kecantikan ini, sama sekali bukan tentang tentang perempuan, melainkan justru semata-mata tentang laki-laki dan kekuasaannya. Karena merekalah yang melakukan kontrol atas berlakunya sistem ini, melalui hukum, keluarga, perkawinan, pendidikan dan agama, media massa, industri prostitusi dan pornografi, pelayanan kesehatan. Dan mereka pula yang menikmati dan mendapat keuntungan dari tatanan yang seperti itu. Karena kaum perempuan seperti ”diharuskan” untuk berlomba-lomba dengan cara apapun, dengan berlama-lama di salon, melakukan pelangsingan tubuh (sedot lemak, atau pemakaian obat-obatan dan alat-alat lain) yang bisa membahayakan kesehatan, dan melakukan operasi plastik dan silikon yang juga beresiko membahayakan jiwanya.

Bahkan menurut Virgina Wolf fenomena ini dianggap sebagai salah satu bentuk fasisme, prasangka dan diskriminasi ras, karena kondisi tubuh yang dianggap paling ideal (paling cantik) adalah gambaran tubuh perempuan ras Kaukasia (Eropa). Jadi jelaslah bahwa mitos tentang kecantikan perempuan telah mengukuhkan diskriminasi berbasis gender, dan ras serta pemujaan terhadap ketubuhan perempuan sebagai obyek (mengesampingkan potensi intelektualitas perempuan).

Prostitusi
Prostitusi merupakan totalitas atas pelecehan, kekerasan dan pengabaian eksistensi perempuan. Di dalam sistem yang patriarki yang sekaligus kapitalistiklah yang mendorong perempuan (terutama dari kelompok miskin) untuk bisa menjadi obyek konsumsi. Sisi kemanusiaan perempuan telah direduksi hanya menjadi barang untuk memuaskan hasrat pembelinya.

Salah satu pokok pemikiran feminis adalah bahwa relasi persoal adalah bersifat politis, demikian juga dalam masalah prostitusi. Relasi yang terbangun bukan bersifat mutual (saling menguntungkan antara pembeli, penjual, pemodal, perantara dan seterusnya), namun sebaliknya, bersifat sangat eksploitatif secara ekonomis dan non ekonomis (mental dan kekerasan). Realitas kehidupan perempuan dalam industri prostitusi  sangat rentan bahaya dan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan diskriminasi sosial, hukum, dan ekonomi.

Hal ini juga tidak lepas dari relasi kekuasaan global, antara negara kaya dan miskin, kemiskinan yang menyatu dengan adanya pelabelan perempuan terhadap perempuan, yaitu ada perempuan baik-baik (istri) dan ada perempuan pelacur, ditambah pula dengan struktur kekerasan terhadap perempuan (violence against women atau gender based violence) , termasuk kekerasan seksual. Karena itu kelompok ini lebih memilih istilah Perempuan yang Dilacurkan (disingkat Pedila) dan atau ESA (Eksploitasi Seksual Anak), istilah dalam bahasa Inggris Prostituted Women dan Prostituted Child untuk menggambarkan bahwa para perempuan dan anak yang terlibat dalam dunia prostitusi bukanlah atas kehendak mereka, melainkan ”dipaksa” oleh sebuah sistem ekonomi yang tidak adil terhadap mereka, yakni kemiskinan dan patriarki (menempatkan perempuan sebagai obyek), disamping itu juga menunjukkan bahwa negara telah mengabaikan tugasnya untyk memenuhi hak azasi warganegaranya terutama untuk bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja maupun perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan.

Assessment yang diadakan LBH APIK Semarang (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang dilacurkan di dua lokalisasi di Semarang menyatakan bahwa sebelum mereka jatuh ke dunia pelacuran, mereka mendapat kekerasan. baik berupa kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual dari pacar dan pelaku lain (keluarga, teman, tetangga, orang lain). Bahkan diantaranya diperkosa oleh lebih dari satu orang perilaku (salah seorang yang masih berusia 17 tahun mengakui diperkosa di tengah sawah oleh 3 orang pemuda dan ditinggalkan begitu saja).

Pornografi
Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani kuno: porne (pelacur) dan graphos (tulisan atau gambar), jadi artinya adalah tulisan tentang pelacur. Pada masa itu pelacur tidak dipandang dengan hormat karena mereka adalah budak seksual. Selain nitu dalam konotasi sejarah, kata pornografi juga berarti gambar perempuan sebagai kuda yang kotor. (Dworkin, 1981).

Saat ini pornografi menjadi industry komersial yang besar dan sangat menguntungkan. Untuk konteks Indonesia, walaupun sudah ada UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, namun kalangan anak-anak masih mendapat perlindungan yang berarti, sehingga mereka sangat mudah mengakses berbagai jenis materi pornografi. Sebab UU ini sangat sibuk menyalahkan perempuan dan tubuhnya. Industri pornografi ini melibatkan perempuan terutama sebagai pemainnya (lebih tepatnya sebagai obyek), dengan penggambaran yang tidak jauh dari pemaknaan dominan tentang perempuan dan tubuhnya bahkan dengan diselingi dengan fantasi dan atau tindakan nyata kekerasan.

Pada dasarnya pornografi berada pada system ekonomi dan politik yang bekerja untuk menempatkan perempuan sebagai obyek pemuas seksual sekaligus komoditas yang menguntungkan secara financial. Jadi hal ini semata tindakan eksploitasi terhadap perempuan (mengeruk keuntungan besar dari pemanfaatan baik citra keperempuanan maupun terhadap tubuh perempuan). Karena itu dalam materi pornografi (film, gambar dll) terutama ditujukan untuk melayani kepuasan laki-laki. Dan penggambaran yang dominan perempuan menjadi obyek seolah merupakan pembenaran kekerasan seksual terhadap perempuan (mendorong tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak). Tindakan menjadikan perempuan dan tubuhnya sebagai obyek adalah suatu pelanggaran hak perempuan atas tubuhnya. Jadi industry pornografi telah menjadikan perempuan sebagai korban.

Maka dari itu penolakan gerakan perempuan terhadap UU Pornografi, adalah semata karena isi dari UU tersebut yang tidak melindungi perempuan sebagai korban tetapi justru malah menempatkan perempuan sebagai pelaku kejahatan yang dituntut harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi pada dirinya sendiri. Secara paradigma hukum hal itu bertentangan dengan tujuan hukum yang harusnya melindungi pihak yang menjadi korban (kaum lemah, dalam istilah HAM, kaum rentan, vulnerable groups, termasuk di dalamnya adalah perempuan dan anak-anak).

Di lain pihak, secara paradoksal, tiba-tiba laki-laki dianggap sebagai pihak yang pasif (bahkan menjadi korban) atas tindakan perempuan perempuan yang “mengundang”. Karena itu laki-laki harus “dilindungi” dari para perempuan penggoda tersebut.  Karena mereka menganggap sumber masalah pada tubuh perempuan dan perempuan itu sendiri. Karena itu perempuanlah yang harus diatur dan dikendalikan. Perilaku perempuan harus dibatasi, kalau tidak akan menimbulkan masalah. Bentuknya antara lain adalah tubuh perempuan harus ditutupi. Kalau tidak perempuan tidak bersedia, maka dia harus dikenai sanksi atau dilarang tampil di depan umum.




[1] Penulis adalah Ketua Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Provinsi Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pengawas Asosiasi LBH APIK Indonesia.