oleh:
Soka Handinah
Katjasungkana[1]
Data kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak semakin memprihatinkan. Termasuk didalamnya yang paling
mengerikan adalah kekerasan seksual. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa kasus
ini selalu mengintai perempuan dan anak kita, dan kasus-kasus yang ada menunjukkan
bahwa tidak hanya anak perempuan melainkan anak laki-laki juga menjadi korban. Komnas
Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat 105.103 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan sepanjang pada tahun
2010, 50 %
diantaranya adalah
perkosaan. Pulau Jawa adalah wilayah dengan korban kekerasan terhadap perempuan
tertinggi, disusul Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Dari jumlah tersebut
terlihat bahwa setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, jadi
hampir setiap jam jatuh satu orang korban kekerasan seksual. Sedangkan data Bank Dunia,
menunjukkan bahwa perempuan yang berumur antara 15-44 tahun lebih berisiko jadi korban
perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga daripada kanker, kecelakaan, perang
atau malaria.
Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah Angka kasus
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada
tahun 2010 terdapat 2867 kasus di kabuaten/kota. Sedangkan untuk kekerasan
seksual terdapat 854 orang korban. Sedangkan yang kasus eksploitasi mencapai
158 orang korban. Artinya setiap 8 jam jatuh 1 orang korban kekerasan di Jawa
Tengah, anak-anak maupun perempuan dewasa.
Dari berbagai kasus tersebut, Komnas Perempuan
mengidentifikasi bahwa kekerasan seksual memiliki 15 bentuk. Yaitu: Perkosaan, Intimidasi
seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, Pelecehan seksual, Eksploitasi
seksual, Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, Prostitusi paksa, Perbudakan
seksual, Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan
aborsi di Indonesia, Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, Penyiksaan seksual,
Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual/diskriminatif, Praktik
tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, Kontrol
seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia) kekerasan
seksual adalah suatu tindakan penganiayaan/perlakuan salah pada anak dalam
bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, dan social, yang membahayakan
kesehatan fisik, psikologis dan kehidupan sosial seseorang. Kekerasan Sexual
adalah masalah hak azasi amusia dan kesehatan masyarakat yang serius dengan
konsekuensi jangka panjang terhadap fisik, mental serta kesehatan reproduksi
dan seksual seseorang. Kekerraan seksual dapat terjadi dalam sebuah konteks
keluarga, hubungan intim, atau struktur masyarakat atau selama masa konflik.
Hal ini merupakan penderitaan yang dalam bagi seorang korban.
Selama ini ada mitos yang berkembang dalam
masyarakat bahwa penyebab tindakan kekerasan seksual adalah berasal dari si
korban itu sendiri. Artinya korban dianggap turut bersalah atau bahkan menjadi
pihak yang paling bersalah atas terjadinya kejahatan tersebut. Yaitu karena
penampilan korban yang dianggap seronok, seksi dan “mengundang”, seperti baju
yang terbuka, rok mini, riasan wajah yang “berlebihan” dan sebagainya. Padahal
dari berbagai kasus kekerasan seksual tersebut justru menunjukkan bahwa korban
tidak mengenal usia, artinya korban banyak yang berusia pra pubertas atau bahkan
balita, ang secara biologis diketahui belum mempunyai dorongan birahi, jadi
bagaimana mungkin bisa melakukan “undangan”. Selain itu juga dikatui banyak
korban yang samasekali jauh dari penampilan yang “disangka” selama ini, mereka
berbaju tertutup, banyak diantaranya adalah santri yang menggunakan hijab), dan
sama sekali tidak menggunakan riasan wajah. Disamping itu juga beberapa orang
korban adalah anak laki-laki. Jadi penampilan korban sangat jauh dari gambaran
yang berkembang di masyarakat selama ini.
Dari perkspektif feminis dipercaya bahwa berbagai
kasus kekerasan seksual tersebut disebabkan disebabkan system patriarki (dan
kapitalisme) telah menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, dan juga dijadikan
ukuran baik buruknya moralitas sebuah masyarakat, dan karena itu harus
dikendalikan oleh sebuah otoritas tertentu (baik budaya maupun politik). Karena
itu tulisan ini bermaksud untuk mendiskusikan bagaimana tubuh perempuan selama
ini diinterpretasikan dalam masyarakat dan direpresentasikan dalam budaya,
termasuk media massa, sehingga mendorong terjadinya peristiwa kekerasan seksual
terutama kepada perempuan.
Dalam studi feminisme juga terdapat berbagai
pendapat yang berkembang. Seorang Feminist gelombang pertama Simone de Beauvoir
menyatakan dalam bukunya The Second Sex
bahwa bahwa woman is made, not born (perempuan dijadikan dan bukan
dilahirkan). Jadi keperempuanan bukanlah sebuah takdir (nature) yang melekat pada manusia, melainkan sebuah ciptaan
masyarakat (nurture). Begitu pula
sifat-sifat atau ciri-ciri feminitas dan maskulinat adsalah dilekatkan melalui
pola asuh dalam keluarega dan masyarakat.
Inilah yang menjadi titik awal adanya
ketidakadilan berbasis perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Gelombang feminis berikutnya, terutama dari kalangan
akademisi menyatakan adanya relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan
perempuan yang menyebabkan adanya berbagai bentuk ketidakadilan dalam
masyarakat termasuk kekerasan (gender
based violence). Kemudian juga berkembang wacana tentang seksualitas yang
melengkapi analisa tentang gender, yang tidak hanya mengenai atribut gender
atau ciri-ciri social, tetapi juga tentang tubuh dan ketubuhan, juga
nilai-nilai budaya tentang tubuh.
Filsuf Post Modernisme Foucault menyatakan bahwa
dalam tubuh manusia
terdapat hubungan antara kekuasaaan dan
seksualitas. Dalam pengertian bahwa relasi kekuasaan telah mendasari konstruksi
pengetahuan, dan digunakan untuk menerapkan normalisasi tubuh dan kebiasaan
seksual. Jadi terdapat
kekuasan yang telah merumuskan mana yang normal dan abnormal baik tentang
kondisi tubuh dan proses-proses yang terjadi padanya termasuk aktivitas
seksual. Pemikiran ini memberikan kontribusi untuk dapat memahami mengapa dan
bagaimana tubuh perempuan diperlakukan selama ini.
Karena itu dalam
melihat seksualitas perempuan, yang harus menjadi dasar pemahaman bahwa
terdapat Gender Power
Relations, dimana diantara laki-laki dan perempuan dan
didalamnya terdapat relasi yang timpang, yang menciptakan struktur yang tidak
adil. Dimana yang berada pada posisi superordinat menguasai pihak yang berada
pada posisi subordinat. Dalam konteks relasi yang
demikian itulah
perempuan direduksi menjadi sekedar tubuh, dan
menghapus potensi lainnya, termasuk intelektualitas bahkan
spiritualitas. Tubuh perempuan dijadikan obyek seks semata.
Fakta alamiah tentang tubuh perempuan yang memiliki kemampuan reproduksi
berupa menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui telah dijadikan dasar untuk memaknai
tubuh perempuan sebagai sesuatu yang berbahaya dan tidak dapat
dikontrol, bahkan dianggap sama sekali tak dapat dipahami secara rasional. Di
pihak lain tubuh laki-laki dianggap aman terkendali dan bisa dipahami (masuk akal). Maka tubuh perempuan yang dianggap
tidak stabil itu dianggap membutuhkan perhatian dan untuk itu dibuat
seperangkat aturan guna mengendalikannya.
Berangkat dari anggapan itulah maka seksualitas laki-laki dan perempuan
juga dibedakan. Diantaranya adalah aktifitas seksual perempuan adalah terutama
untuk prokreasi (meneruskan keturunan), harus selalu menjaga kesucian
atau keperawanan (yang disetarakan dengan tidak robeknya selaput dara di pintu
vagina), harus mempunyai malu dan nilai harga diri.
Perempuan dan tubuhnya juga diasosiasikan dengan emosionalitas, proses alam
(hal yang asli dan sederhana).
Secara
berlawanan, seksualitas laki-laki
dimaknai dengan cara oposisi (berlawanan), dimana
aktivitas seksual laki-laki adalah terutama untuk rekreasi
(mengejar kenikmatan), laki-laki juga ditempatkan sebagai penjaga penjaga
kehormatan perempuan. Laki-laki dan seluruh ketubuhannya diasosiasikan pada rasionalitas, diasosiakan dengan budaya serta
pemikiran (hal-hal yang canggih).
Salah
seorang feminis yang cukup terkemuka Naomi Wolf dalam karyanya ‘The
Beauty Myth’ mengemukakan hal –hal yang
membantu kita untuk memahami bagaimana tubuh perempuan dimaknai. Telah terdapat
upaya menentukan standar tubuh perempuan antara yang ideal versus tubuh
sub normal, dimana yang sub normal (berkulit gelap, gendut, disabilitas dan seterusnya) dianggap aseksual (tidak seksi). Dalam situasi seperti
inilah yang memungkinkan adanya eksploitasi perempuan oleh industri
pakaian dan kosmetik. Industri kecantikan bernilai milyaran dollar dan
berdimensi global jelas telah meraup kekayaan yang berlimpah atas berlakunya
nilai-nilai ini.
Selain itu
industri kapitalistik juga telah menciptakan kebutuhan dan istilah-istilah
baru tentang tubuh dan wajah yang ideal, yang dianggap paling cantik dan harus
diraih oleh semua perempuan agar meraih prestise tertinggi. Misalnya
perempuan yang ideal harus menarik perhatian laki-laki, sebagaimana
digambarkan dalam iklan-iklan di media massa.. Digambarkan juga bahwa
standar kecantikan utamanya adalah tubuh yang langsing namun “montok/sintal”,
berkulit putih, berambut panjang dan lurus, wajah mulus, bibir tipis dan merah, awet
muda, dan seterusnya. Karena itu secara intensif mereka industri
kosmetik pun menjual berbagai produk yang menunjang “terciptanya imaji
ideal” tersebut, yaitu krim pemutih, parfum dan shampo, krim pencegahan penuaan,
pelurus rambut, pewarna rambut, pelangsing tubuh, krim pemontok payudara dan
seterusnya.
Sebagai manusia yang juga berada berada di dalam system yang seperti
itu, tentu saja kaum perempuan juga menginternalisasi
ide-ide patriarkis tersebut dan beramai-ramai berusaha meraih standar yang
ditentukan oleh kekuasaan. Karena itu perempuan sangat peduli pada tubuhnya,
dengan melakukan berbagai tindakan untuk memperindah dan mempercantik demi
mengejar “imaji ideal cantik” yang diidamkan para laki-laki, hal
inilah yang seolah-olah menjadi mitos kesejatian perempuan.
Selain
aspek komersial tersebut, upaya ini tentu saja dapat diartikan
mendukung diskriminasi terhadap perempuan karena melanggengkan dan memperkuat
pandangan stereotype tentang perempuan. Selain itu juga dapat dikatakan
mendukung rasisme (karena ciri-ciri etnis tertentu saja yang memenuhi kriteria
kecantikan, sedangkan ciri-ciri ras yang lain tidak mendukung imaji
kecantikan yang diusung secara dominan oleh industri),
diskriminasi usia (karena yang tua dianggap jelek dan tidak menarik) dan
istilah kenormalan tubuh (orang dengan disabilitas tubuh bukan
bagian dari ciri-ciri cantik dan menarik).
Padahal
mitos tentang kecantikan ini, sama sekali bukan tentang tentang perempuan,
melainkan justru semata-mata tentang laki-laki dan kekuasaannya. Karena
merekalah yang melakukan kontrol atas berlakunya sistem ini, melalui hukum, keluarga, perkawinan, pendidikan dan agama, media massa,
industri prostitusi dan pornografi, pelayanan kesehatan. Dan
mereka pula yang menikmati dan mendapat keuntungan dari tatanan yang seperti
itu. Karena kaum perempuan seperti ”diharuskan” untuk berlomba-lomba dengan
cara apapun, dengan berlama-lama di salon, melakukan pelangsingan tubuh (sedot
lemak, atau pemakaian obat-obatan dan alat-alat lain) yang bisa membahayakan
kesehatan, dan melakukan operasi plastik dan silikon yang juga beresiko
membahayakan jiwanya.
Bahkan
menurut Virgina Wolf fenomena ini dianggap sebagai salah satu bentuk
fasisme, prasangka dan diskriminasi ras, karena kondisi tubuh yang dianggap
paling ideal (paling cantik) adalah gambaran tubuh perempuan ras Kaukasia
(Eropa). Jadi jelaslah bahwa mitos tentang kecantikan perempuan
telah mengukuhkan diskriminasi berbasis gender, dan ras serta
pemujaan terhadap ketubuhan perempuan sebagai obyek (mengesampingkan
potensi intelektualitas perempuan).
Prostitusi
Prostitusi merupakan totalitas atas pelecehan, kekerasan
dan pengabaian eksistensi perempuan. Di dalam sistem yang patriarki yang sekaligus
kapitalistiklah yang mendorong perempuan (terutama dari kelompok miskin) untuk
bisa menjadi obyek konsumsi. Sisi kemanusiaan perempuan telah direduksi hanya
menjadi barang untuk memuaskan hasrat pembelinya.
Salah satu
pokok pemikiran feminis adalah bahwa relasi persoal adalah bersifat politis,
demikian juga dalam masalah prostitusi. Relasi yang terbangun bukan bersifat mutual
(saling menguntungkan antara pembeli, penjual, pemodal, perantara dan
seterusnya), namun sebaliknya, bersifat sangat eksploitatif secara
ekonomis dan non ekonomis (mental dan kekerasan). Realitas kehidupan perempuan dalam industri prostitusi sangat rentan bahaya dan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan diskriminasi
sosial, hukum, dan ekonomi.
Hal ini juga tidak lepas dari relasi kekuasaan global, antara negara
kaya dan miskin, kemiskinan yang menyatu dengan
adanya pelabelan perempuan terhadap perempuan, yaitu ada perempuan baik-baik
(istri) dan ada perempuan pelacur, ditambah pula dengan struktur kekerasan
terhadap perempuan (violence against
women atau gender based violence)
, termasuk kekerasan seksual. Karena itu kelompok ini lebih memilih istilah Perempuan yang Dilacurkan
(disingkat Pedila) dan atau ESA (Eksploitasi Seksual Anak), istilah dalam bahasa Inggris Prostituted Women dan Prostituted Child untuk
menggambarkan bahwa para perempuan dan anak yang terlibat dalam dunia
prostitusi bukanlah atas kehendak mereka, melainkan ”dipaksa” oleh sebuah
sistem ekonomi yang tidak adil terhadap mereka, yakni kemiskinan dan patriarki
(menempatkan perempuan sebagai obyek), disamping itu juga menunjukkan bahwa negara telah
mengabaikan tugasnya untyk memenuhi hak azasi warganegaranya terutama untuk
bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja maupun perlindungan korban
kekerasan terhadap perempuan.
Assessment yang diadakan LBH APIK Semarang (2010) menunjukkan bahwa
sebagian besar perempuan yang dilacurkan di dua lokalisasi di Semarang
menyatakan bahwa sebelum mereka jatuh ke dunia pelacuran, mereka mendapat
kekerasan. baik berupa kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual
dari pacar dan pelaku lain (keluarga, teman, tetangga, orang lain). Bahkan
diantaranya diperkosa oleh lebih dari satu orang perilaku (salah seorang yang
masih berusia 17 tahun mengakui diperkosa di tengah sawah oleh 3 orang pemuda
dan ditinggalkan begitu saja).
Pornografi
Kata pornografi
berasal dari bahasa Yunani kuno: porne (pelacur) dan graphos
(tulisan atau gambar), jadi artinya adalah tulisan tentang pelacur. Pada masa
itu pelacur tidak dipandang dengan hormat karena mereka adalah budak seksual.
Selain nitu dalam konotasi sejarah, kata pornografi juga berarti gambar perempuan
sebagai kuda yang kotor. (Dworkin, 1981).
Saat ini pornografi
menjadi industry komersial yang besar dan sangat menguntungkan. Untuk konteks
Indonesia, walaupun sudah ada UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, namun
kalangan anak-anak masih mendapat perlindungan yang berarti, sehingga mereka
sangat mudah mengakses berbagai jenis materi pornografi. Sebab UU ini sangat
sibuk menyalahkan perempuan dan tubuhnya. Industri pornografi ini melibatkan
perempuan terutama sebagai pemainnya (lebih tepatnya sebagai obyek), dengan
penggambaran yang tidak jauh dari pemaknaan dominan tentang perempuan dan
tubuhnya bahkan dengan diselingi dengan fantasi dan atau tindakan nyata
kekerasan.
Pada dasarnya
pornografi berada pada system ekonomi dan politik yang bekerja untuk menempatkan
perempuan sebagai obyek pemuas seksual sekaligus komoditas yang menguntungkan
secara financial. Jadi hal ini semata tindakan eksploitasi terhadap perempuan
(mengeruk keuntungan besar dari pemanfaatan baik citra keperempuanan maupun
terhadap tubuh perempuan). Karena itu dalam materi pornografi (film, gambar
dll) terutama ditujukan untuk melayani kepuasan laki-laki. Dan
penggambaran yang dominan perempuan menjadi obyek seolah merupakan
pembenaran kekerasan seksual terhadap perempuan
(mendorong tindakan kekerasan seksual terhadap
perempuan dan anak). Tindakan menjadikan perempuan dan tubuhnya sebagai
obyek adalah suatu pelanggaran hak perempuan atas tubuhnya. Jadi industry
pornografi telah menjadikan perempuan
sebagai korban.
Maka dari itu penolakan gerakan perempuan terhadap UU Pornografi, adalah
semata karena isi dari UU tersebut yang tidak melindungi perempuan sebagai
korban tetapi justru malah menempatkan perempuan sebagai pelaku kejahatan yang
dituntut harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang
terjadi pada dirinya sendiri. Secara paradigma hukum hal itu bertentangan
dengan tujuan hukum yang harusnya melindungi pihak yang menjadi korban (kaum
lemah, dalam istilah HAM, kaum rentan, vulnerable
groups, termasuk di dalamnya adalah perempuan dan anak-anak).
Di lain pihak, secara paradoksal, tiba-tiba laki-laki dianggap sebagai
pihak yang pasif (bahkan menjadi korban) atas tindakan perempuan perempuan yang
“mengundang”. Karena itu laki-laki harus “dilindungi” dari para perempuan
penggoda tersebut. Karena
mereka menganggap sumber masalah pada tubuh perempuan dan perempuan itu
sendiri. Karena itu perempuanlah yang harus diatur dan dikendalikan. Perilaku
perempuan harus dibatasi, kalau tidak akan menimbulkan masalah. Bentuknya antara
lain adalah tubuh perempuan harus ditutupi. Kalau tidak perempuan tidak
bersedia, maka dia harus dikenai sanksi atau dilarang tampil di depan umum.
[1] Penulis adalah Ketua Komisi Perlindungan Korban Kekerasan
Berbasis Gender dan Anak Provinsi Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pengawas
Asosiasi LBH APIK Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar