Jumat, 30 Oktober 2020

PENELITIAN HUKUM KEKUATAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI HAK NAFKAH ANAK DALAM PROSES PERCERAIAN

 


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.           LATAR BELAKANG PENELITIAN

Perkara perceraian sering kali menimbulkan sengketa terhadap hak nafkah anak, karena sebelum adanya perkara perceraian sering kali hak nafkah anak tidak dipenuhi oleh ayah kandung anak, dan hak nafkah anak pun tetap tidak dipenuhi oleh ayah kandung anak meskipun hak nafkah anak telah tercantum didalam putusan pengadilan. Putusan majelis hakim pemeriksa perkara seharusnya mempunyai sifat penghukuman (condemnatoir). Hal ini dikarenakan putusan bersifat penghukuman saja, namun pelaksanaannya pada pihak yang kalah tidak dapat dipaksakan. Dalam hal ini, ada nya kewajiban seorang ayah tetap memberikan hak nafkah anak hingga anak tersebut dewasa, sesuai dengan kemampuan.

Amar putusan terhadap hak nafkah anak dalam perkara perceraian di pengadilan dapat dijalankan apabila salah satu pihak secara suka rela mau melaksanakan isi putusan tersebut. Pada prakteknya, jika salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan putusan dengan suka rela maka harus dijalankan prosedur eksekusi putusan. Secara teori putusan terhadap hak nafkah anak dalam perkara perceraian dapat dieksekusi, hanya saja secara kasuistis perlu ditempuh melalui pendekatan aspek psikologis dan kondisional disamping konsisten secara yuridis. HIR dan RBg sebagai aturan dalam hukum acara perdata menyebutkan bahwa obyek eksekusi dalam perdata hanyalah berbentuk benda (benda tetap atau benda bergerak).[1]

Berdasarkan latarbelakang tersebut LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) Semarang, tertarik melakukan penulisan penelitian hukum mengenai hak nafkah anak dengan judul penelitian yaitu KEKUATAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI HAK NAFKAH ANAK DALAM PROSES PERCERAIAN.

 

B.            PERMASALAHAN PENELITIAN

1)             Bagaimana bentuk-bentuk putusan pengadilan?

2)            Bagaimana kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai hak nafkah anak dalam proses perceraian?

 

C.           TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1)             Untuk mengetahui kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai hak nafkah anak dalam proses perceraian;

2)             Untuk memberikan saran kepada pemerintah untuk membangun dan memperbaikki aturan hukum mengenai hak nafkah anak agar hak nafkah anak tetap terpenuhi sebagai dasar hak anak hingga anak tersebut dewasa.

 

D.           METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkaji bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan, asas, doktrin dan dokumen hukum lainnya yaitu:

§           Peraturan perundang-undangan

a)      UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

b)      UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

c)      UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

d)      UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

e)      Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

f)       Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

g)      Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

h)      Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

i)       Konvensi tentang Hak-Hak Anak

§           Putusan Pengadilan Agama Semarang

 

E.            TINJAUAN TEORITIS/KONSEPSIONAL

Tinjauan teoritis/ konsepsional dalam penulisan penelitian ini menggunakan tinjauan daftar pustaka dan putusan pengadilan dengan sasaran dalam penulisan penelitian ini mengenai kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai hak nafkah anak dalam proses perceraian.

 

F.            TEMPAT PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) SEMARANG di Jalan Poncowolo Timur Raya No. 455, RT 007, RW 006, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

 

G.           JANGKA WAKTU PENELITIAN

Waktu penelitian dalam penulisan ini pada 1 September 2020 hingga 1 Oktober 2020.

  

BAB II

TINJAUAN/DATA KEPUSTAKAAN

 

A.           Tinjauan mengenai Putusan Pengadilan

Istilah pengadilan disebut dalam Pasal 4 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata. Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, yang harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang (Pasal 25 Ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Berdasarkan wujudnya, setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:[2]

1.             Kepala Putusan, setiap putusan pengadilan harus  mempunyai kepala putusan  yang berbunyi :

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial kepada putusan pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan oleh pembuat Undang-Undang  juga dimaksudkan agar hakim selalu menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (Penjelasan Umum angka 6 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman).

2.             Identitas pihak-pihak yang berperkara, dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan, dan sebagainya serta nama kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain.

3.             Pertimbangan (alasan-alasan), dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu :

Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden), adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi didepan pengadilan. Seringkali dalam prakteknya gugatan penggugat dan jawaban tergugat dikutif secara lengkap, padahal dalam Pasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas.

Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden), adalah pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya, pertimbangan hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan pengadilan, yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang berperkara dan hakim yang meninjau putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat banding dan tingkat kasasi.

4.             Amar Putusan, dalam gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni apa yang dituntut atau diminta supaya diputuskan oleh hakim, sehingga amar putusan (diktum) itu adalah putusan pengadilan merupakan jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.

Dalam Hukum Acara Perdata hakim wajib mengadili semua tuntutan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi, bila tidak dilakukan putusan tersebut harus dibatalkan (MA Nomor 104 K/Sip/1968).

 

B.            Tinjauan mengenai Hak Nafkah Anak

Kedua orang tua pada seorang anak pada dasarnya diwajibkan untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut kawin atau dewasa. Kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua telah putus. Terkhusus bagi si Ayah, ia bertanggung jawab atas seluruh biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 41 huruf a dan b UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yaitu sebagai berikut:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, antaralain:

1)             Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

2)             Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3)             Kewajiban Suami atas Biaya Pemeliharaan dan Pendidikan Anak

Dalam putusan perceraian telah diatur kewajiban suami untuk memberikan nafkah anak, namun suami tidak bersedia menjalakan isi putusan. Jika pembagian nafkahnya telah diatur dalam putusan namun tidak dijalankan oleh mantan suami, maka dapat meminta pengadilan untuk melakukan eksekusi secara paksa terhadap mantan suami, hal tersebut diatur di dalam Pasal 196 dan Pasal 197 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yaitu:

-                        Pasal 196 HIR

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

 

-                        Pasal 197 HIR

Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.

 

Jika mantan suami/si ayah tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka atas permintaan ke pengadilan untuk eksekusi putusan terhadap hak nafkah anak maka pengadilan akan memanggil dan memperingatkan mantan suami/si ayah, dan apabila dalam waktu 8 (delapan) hari ia tetap tidak mau melaksanakan isi putusan, maka ketua pengadilan akan memerintahkan panitera pengadilan negeri untuk menyita barang-barang milik mantan suami/si ayah yang nantinya dipergunakan untuk membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai jumlah yang tercantum dalam amar putusan.  

 

BAB III

TINJAUAN/DATA LAPANGAN

 

Menurut catatan data LBH APIK Semarang selama melakukan pendampingan bantuan hukum untuk anak korban kekerasan seksual dari tahun 2016 hingga tahun 2019 bahwa hak nafkah anak tidak terlaksana sesuai dalam putusan pengadilan, sehingga hak nafkah anak yang menjadi tanggungjawab ayah anak tidak dipenuhi oleh ayah anak tersebut sehingga hak nafkah anak tidak  dapat terpenuhi untuk anak sebagai salahsatu hak anak dari ayah anak tersebut hingga anak dalam usia dewasa.

Hasil penelitian dalam penulisan penelitian ini telah dilakukan Forum Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada 30 September 2020 yaitu:

1)      Memberikan masukan kepada Pemerintah Negara Indonesia untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur secara lengkap mengenai pelaksanaan hak nafkah anak dalam proses perceraian.


BAB IV

ANALISIS

 

1.             Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan

Perkara perceraian merupakan proses hukum acara perdata, dalam penyusunan hukum acara perdata telah dibuat prosesnya agar dapat berjalan secara cepat, sederhana, mudah di mengerti dan tentunya dengan biaya yang murah. Menurut bentuk nya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:[3]

1)             Putusan / vonis merupakan suatu putusan diambil untuk memutus suatu perkara;

2)             Penetapan / beschikking merupakan suatu penetapan di ambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair”.

Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal dua macam pengolongan putusan yaitu:[4]

1)             Putusan Sela (Putusan Interlokutoir)

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara dikenal putusan sela yaitu putusan Preparatuir, putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir.

2)             Putusan Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir.

3)             Putusan Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa

         yang menghentikan prosedur peradilan biasa.

4)             Putusan Provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

5)             Putusan Akhir

Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Putusan akhir terdiri atas:

-        Putusan Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C.

-        Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru, misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit.

-        Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya untuk membayar hutangnya.

 

2.             Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan mengenai Hak Nafkah Anak dalam Proses Perceraian

Putusan hakim atau dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.[5] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai aturan hukum yang ada bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya tidak melakukan suatu perbuatan  yang harus ditaati.

Menurut ketentuan penjelasan Pasal 60 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyebutkan bahwa putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Mengenai kata "putusan" yang diterjemahkan dari ahli, menyebutkan bahwa vonis adalah hasil akhir yang disebut: interlocutoir yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/ keputusan persiapan, serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.[6]

Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan oleh penulis bahwa terdapat beberapa kasus perceraian yang berkembang menjadi sengketa terhadap hak nafkah anak di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri. Kasus tersebut di antaranya adalah:

 

Kasus sengketa MR dengan BW dalam proses persidangan perkara di Pengadilan Agama Semarang pada tahun 2018 mengenai hak nafkah anak. MR (sebagai isteri yang menggugat cerai BW di Pengadilan Agama Semarang) dalam putusan pengadilan untuk pihak BW (sebagai pihak Tergugat) menghukum untuk membayarkan hak nafkah anak dengan kenaikan 10% setiap tahunnya sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk anak hingga dewasa. Namun, implementasinya kekuatan hukum putusan pengadilan tersebut seakan terkesan “kebal” bagi Tergugat, karena Tergugat telah 2 (dua) tahun ini tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dalam putusan pengadilan tersebut, namun tidak ada upaya paksa dalam kekuatan hukum putusan pengadilan tersebut.

Pertentangan tersebut menimbulkan permasalahan yang berakibat menghambat proses eksekusi terhadap putusan, yaitu:[7]

1)             Hambatan yang bersifat yuridis seperti tidak adanya aturan yang khusus dan terperinci mengenai eksekusi terhadap hak nafkah anak;

2)             Tergugat tidak mempunyai harta yang dapat dieksekusi sebagai pengganti biaya hak nafkah anak;

3)             Kesadaran Tergugat secara psikologis sebagai seorang ayah yang tidak secara sadar memberikan hak nafkah anak sebagai salahsatu kewajibannya meskipun hubungan Tergugat dengan Penggugat telah putus cerai sebagai pasangan suami isteri, akan tetapi Tergugat masih mempunyai kewajiban memberikan nafkah anak sesuai dengan putusan pengadilan tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam juncto UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayahnya; sedangkan menurut ketentuan Herzien Indonesia Reglement (HIR) menyebutkan bahwa proses eksekusi putusan harus melalui prosedur peringatan, surat perintah eksekusi dan eksekusi eksekusi. Ketentuan pada Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Proses eksekusi ada beberapa syarat pokok yaitu:[8]

a.              Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

b.              Putusan hakim yang akan dieksekusi harus bersifat menghukum (condemmnatoir);

c.               Putusan tidk dijalankan secara suka rela;

d.              Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan, yang dilaksanakan oleh Panitera dan Juru Sita pengadilan yang bersangkutan.

Adapun jenis-jenis pelaksanaan putusan adalah sebagai berikut:

a.              Eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang;

b.             Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk memenuhi suatu perbuatan;

c.      Eksekusi riil.

Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu:

1)             Kekuatan Mengikat

Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah bersepakat untuk menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim.

2)             Kekuatan Pembuktian

Putusan pengadilan yang dituangkan dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh kedua pihak apabila diperlukan sewaktu – waktu oleh para pihak untuk mengajukan upaya hukum.

3)             Kekuatan Executorial

Putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh para pihak dengan bantuan  alat – alat negara terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.

Kedudukan Peradilan Agama semakin dipertegas dengan lahirnya UU No.  7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang membawa perubahan terutama dalam hal:[9]

a.  Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman;

b.      Menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama

c.      Memurnikan fungsi Peradilan Agama.

 

BAB V

PENUTUP

 

A.           Kesimpulan      :

Kekuatan hukum putusan pengadilan mengenai hak nafkah anak dalam proses perceraian hanya bersifat Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman namun tidak bersifat memaksa karena belum ada aturan khusus yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan terkait dengan hak nafkah anak.

B.            Saran                :

1)             Para aparat penegak hukum khususnya aparat penegak hukum yaitu hakim, perlu dibekali wawasan mengenai hukum perlindungan anak. Hal ini dimaksudkan agar para penegak hukum dan aparat pengadilan tersebut menangani perkara yang melibatkan anak dapat memegang prinsip mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak;

2)             Pemerintah Indonesia segera menyusun kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan putusan pengadilan mengenai hak nafkah anak.

 

DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku

Soesilo, R. 1980. RIB/HIR dengan Penjelasan. Bandung: PT. Karya Nusantara.

Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Marpaung, Leden. 2001. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cetak Keenam, Liberty.

M. Yahya Harahap. 1989. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

 

B.            Peraturan Perundang-Undangan

 

Sekretariat Negara RI. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta: 1974.

Sekretariat Negara RI.   UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: 2002.

Sekretariat Negara RI. UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: 2004.

Sekretariat Negara RI. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Jakarta: 2009.

Sekretariat Negara RI. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: 2009.

Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Jakarta: 1975.

Sekretariat Negara RI.   Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: 1991.

Sekretariat Negara RI. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

Sekretariat Negara RI. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

Sekretariat Negara RI. Konvensi tentang Hak-Hak Anak

 

C.           Lain-lain

Catatan pendampingan bantuan hukum LBH APIK Semarang Tahun 2016 hingga Tahun 2019

 

 

 

Semarang, 30 Oktober 2020

Mengetahui,


     

Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.

Direktur LBH APIK Semarang

 

 



[1]R.Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1980 ), halaman 145.

[2]Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cetakam V,  2009), halaman 15.

[3] Herzien Indonesia Reglement (HIR)

[4] Herzien Indonesia Reglement (HIR)

[5]Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty,  1998), halaman 24.

[6]Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), halaman  406.

[7]Catatan pengalaman pendampingan bantuan hukum LBH APIK Semarang

[8]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Cetak Keenam, Liberty, 2002),  halaman 240.

[9]M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Jakarta: Sinar grafika, Cetakan Kedua, 2003), halaman 8-14.