Asosiasi LBH APIK Indonesia
dan LBH APIK Semarang mengadakan Pelatihan BHGS (Bantuan
Hukum Gender
Struktural) pada tanggal 24 hingga 27 Juli 2017 di
Hotel Pandanaran, Semarang. Peserta yang mengikuti
pelatihan terdiri dari Staf LBH APIK Semarang,
Aparat Penegak Hukum, Pemerintah, LSM, Ormas dan Media Massa.
Tujuan dilaksanakan Pelatihan BHGS adalah
:
1. Mensosialisasikan konsep BHGS kepada peserta
pelatihan.
2. Meningkatkan kapasitas peserta dalam menangani kasus
kekerasan terhadap perempuan menggunakan konsep kerja BHGS.
3. Meningkatkan kemampuan peserta untuk melakukan analisa
dan advokasi kebijakan dengan menggunakan konsep kerja BHGS.
Empat wilayah di Jawa Tengah
masuk dalam daftar zona merah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ke
empat daerah tersebut adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Wonosobo dan Kabupaten Kendal. Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak pada
tahun 2015 sebanyak 2.466 kasus, 1.971 merupakan kekerasan terhadap perempuan
dan 757 kekerasan seksual terhadap anak (Sumber : Media Jateng 17/05/2016).
Angka ini sangat mungkin belum merupakan angka riil karena masih banyak
kekerasan yang terjadi tidak dilaporkan atau tidak diketahui publik.
Dalam upaya mencari keadilan, perempuan korban
kekerasan seringkali mengalami hambatan untuk memperoleh hak-haknya sebagai
korban, baik melalui penyelesaian melalui litigasi dan non litigasi, serta
melalui peradilan perdata maupun pidana. Dari pengalaman LBH APIK dalam
penanganan kasus, budaya patriarkhi masih kental mempengaruhi sistem hukum di
Indonesia, baik di ranah substansi hukum, struktur hukum serta budaya hukum.
Sistem hukum yang bias gender ini sangat merugikan perempuan korban sehingga
seringkali kehilangan hak-haknya karena sistem hukum yang tidak mendukung untuk
memperoleh akses keadilan bagi dirinya.
Selain persoalan yang langsung berkaitan dengan
penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan, masalah akses hak dasar
melalui layanan publik juga berkontribusi dalam menghambat perempuan korban
memperoleh keadilan. Salah satu dari hak dasar tersebut adalah terhambatnya
akses atas identitas hukum yang kadang menyebabkan perempuan miskin korban
kekerasan tidak dapat menyediakan dokumen lengkap syarat untuk memperoleh
bantuan hukum cuma-cuma yang menjadi haknya. Masalah akses identitas
hukum ini juga berkontribusi terhadap kerentanan situasi perempuan menjadi
korban kekerasan dan kehilangan hak-haknya sebagai korban, misalnya tidak
adanya akses akta perkawinan, akta perceraian, Kartu Keluarga dan dokumen
identitas hukum lainnya.
Berdasarkan pengalaman perempuan ketika berhadapan
dengan hukum, LBH APIK mengembangkan konsep bantuan hukum gender struktural
(BHGS) sebagai konsep kerja dalam memberikan layanan terhadap korban kekerasan
berbasis gender. Konsep BHGS menggunakan pengalaman penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan sebagai pintu masuk untuk melakukan advokasi perubahan
sistem hukum yang adil dan setara gender. Beberapa produk hukum dan kebijakan
yang didorong APIK dari konsep kerja BHGS ini, salah satunya adalah advokasi
lahirnya UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pelatihan BHGS difasilitasi oleh Ibu Nursyahbani
Katjasungkana koordinator Nasional APIK Indonesia dan Asnifriyanti Damanik
pengurus Asosiasi LBH APIK. Beberapa materi yang diberikan saat
pelatihan diantaranya adalah memahami gender (perbedaan seks dan gender, gender dan
seksualitas, mengapa gender dipermasalahkan, bagaimana gender dikonstruksikan
(pranata sosial yang mengkronstruksikan gender dalam sistem hukum dan BHGS
sebagai konsep APIK.
Asnifriyanti
Damanik sekaligus pengawas LBH APIK Semarang menjelaskan dalam materi gender
dimana dalam kasus persidangan khususnya di Pengadilan Agama dalam putusannya
terdapat ketidakadilan gender. Ketika putusan cerai, suami dalam pemberian
nafkah diberikan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan kemampuan
istri dinilai dari pelayanannya dalam rumah tangga. Sehingga muncul anggapan
ketika istri tidak mampu menjalankan tugasnya maka istri tersebut mendapatkan
stigma negatif dan pantas untuk diceraikan.
Saat
pelatihan berlangsung, Ibu Nursyahbani menyampaikan mengenai identitas gender.
Meskipun PBB sudah memberikan pengakuan untuk transgender melalui Konvenan
ICESCR tahun 1966. Indonesia sebagai negara hukum dan penegak HAM telah
meratifikasi. Namun pemerintah dalam hal ini belum dapat berbuat banyak terhadap
kaum LGBT. Beliau mengatakan di beberapa negara seperti Nepal dan Pakistan
sudah mengakui identitas gender secara resmi.
Gender Dalam Perspektif Budaya
Materi
gender dalam perspektif budaya disampaikan oleh Dewi Chandraningrum dari Jejer
Wadon. Pada hari kedua suasana pelatihan seperti khalayak kuliah umum. Dengan
membawa scraft gambar beberapa pejuang perempuan yang diperlihatkan peserta
pelatihan, beliau menjelaskan sejarah bagaimana gender sangat berkaitan erat
dengan sejarah. Beliau menyampaikan bahwa pengertian gender sendiri tidak lepas
dari yang namaya budaya. Hal ini dikarenakan gender sendiri dibentuk atas
konstruksi yang timbul dari sosial, budaya dan agama. Namun sebelum lebih jauh
melihat budaya mempengaruhi gender akan lebih baik kalau kita pahami dulu apa
itu budaya. Menurut Dewi, budaya ialah ikatan kompleks yang meliputi material,
spiritual dan lain-lain. Sedangkan kebudayaan yaitu sesuatu yang berada di luar
diri kita. Sehingga gender dan budaya mempunyai ikatan yang sangat erat. Ketika
Das Sein dan Das Sollen bertolak belakang maka itulah dinamika kehidupan yang
mempunyai keanekaragaman budaya. Budaya itu akan selalu ada selama manusia itu
ada, karena budaya mempunyai sifat yang tidak stagnan. Hal ini juga dipengaruhi
oleh lekatnya budaya dan sejarah.
Budaya
dan gender mempunyai lokasi di tubuh. Tubuh merupakan tempat lahirnya
kebudayaan. Budaya merasakan kemunduran ketika berbicara mengenai tubuh dan
seksualitas. Hal ini dikarenakan masih adanya mitos-mitos mengenai seksualitas
yang akan menimbulkan suatu ketidakadilan terutama bagi perempuan. Berbicara
budaya bukan mengenai sistem. Jka berbicara budaya dan sistem maka yang akan
muncul ialah ketidakadilan yang bersarang didalamnya. Karena budaya mengenai
diri kita bukan diluar. Advokasi budaya ialah menganalisis lebih dalam mengenai
budaya itu sendiri dan mengembalikan fitrah budaya tanpa mitos.
“Tubuh
dan seksualitas masih menjadi mitos di masyarakat ketika keperawanan dijadikan
tolak ukur keemasan seorang perempuan, sehingga ketika perempuan itu sudah
tidak perawan maka hilang sudah harga dirinya. Hal inilah yang membuat
kebanyakan korban pemerkosaan menjadi frustasi dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa”
Gender Dalam Perspektif Agama
Agama
seringkali dijadikan alat untuk melegitimasi ketidakadilan gender untuk
kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Materi gender dalam perspektif budaya
disampaikan oleh Jauharotul Farida dari Pusat Studi Wanita UIN Walisongo
Semarang dan anggota dewan pengawas LBH APIK Semarang. Beliau menyampaikan bahwa
agama akan ramah gender tergantung dari interpretasinya. Persoalan yang sering
terjadi ketika mengterpertasi ajaran agama terletak pada metode penafsirannya.
Metode yang berbeda maka pemahama yang dihasilkanpun akan berbeda pula. Hal
seperti ini tidak hanya terjadi dalam agama Islam saja. Namun di setiap agama
mencoba untuk menafsirkan ulang ajaran agama agar tidak menimbulkan
ketidakadilan gender.
“Pertanyaannya,
apakah Islam itu ramah gender atau bias gender? Itu tergantung pada metodologi
pemahamannya”
Agama
yang ramah gender itu bervariatif. Sehingga banyak ditemukan
praktek-praktek agama yang bias gender. Seperti halnya yang ada dalam
ajaran Islam terdapat banyak hal yang bisa gender, diantaranya isu mengenai
pemahaman memakai hijab, batas aurat perempuan, kepemimpinan perempuan,
pembagian waris, poligami, kesaksian perempuan, imam sholat, dan lain-lain.
Pada dasarnya agama sudah mengatur secara konsep mengenai gender. Namun
pemahaman dari manusia itu sendiri yang masih berbeda. Nilai-nilai Islam adalah
rahmatan lil alamin yaitu keadilan,
kesamaan, kemanusiaan dna kesejahteraan. Banyak tafsir agama yang diplintir
sehingga merugikan perempuan.
Gender Dalam Perspektif Hukum
Kekerasan
berbasis gender yang korbannya perempuan dan atau anak terjadi karena
ketimpangan dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam relasi personal, emosional
antara laki-laki dan perempuan dan baik laki-laki dan perempuan terhadap anak.
Ruang lingkupnya bisa privat (domestik) maupun publik. Pelaku kekerasan
terhadap perempuan dan anak berbasis
gender diantaranya bisa dilakukan oleh anggota keluarga, masyarakat dan atau
mereka yang bertindak atas nama atau sesuai dengan budaya, kepercayaan atau
institusi pemerintah. Kekerasna berbasis gender merupakan salah satu bentuk
diskriminasi yang menghambat perempuan dan anak dalam melakukan tanggungjawab
dan memperoleh hak-haknya sebagai warga negara.
Prof. Agnes Widanti guru besar Fakultas Hukum
UNIKA Soegijapranata dan juga pembina LBH APIK Semarang sebagai narasumber
materi gender dalam perspektif hukum.
Saat ini sudah ada beberapa kebijakan
misalnya UU No.7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan/CEDAW, UU No.39/1999 tentang HAM, UU No.23/2003 tentang
Perlindungan Anak, UU No.23/2004 tentang
PKDRT, UU No.39/2006 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar
Negeri, UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.4/2006
tentang Penyelenggaraan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga, UU No.21/2007 tentang PTPPO, KUHP dan KUHAP.
Prof.
Agnes Widanti melihat grafik pengaduan kasus KDRT di LBH APIK naik karena
semakin tinggi sistem patriarki semakin banyak korban. Beliau juga menyampaikan
kasus yang terlaporkan di LBH APIK merupakan keterlibatan Paralegal dalam
pendampingan di wilayahnya, ini merupaka kerja keras dan upaya terus-menerus
yang dilakukan LBH APIK agar dapat lebih dekat dan menyentuk perempuan yang
menjadi korban kekerasan bisa dijangkau.
“Saya bangga terhadap Paralegal LBH APIK yang
rata-rata lulusan SD bahkan tidak sekolah dan bermodal mendapatkan pelatihan
selama lima hari. Paralegal ini dapat mendampingi dan mendekatkan pelayanan
bagi perempuan dan anak korban kekerasan maupun akses pelayanan publik. Contoh
misalnya perempuan yang bekerja menjadi PRT (Pekerja Rumah Tangga) secara tegas
mengatakan menolak kekerasan. Hal yang sama dilakukan oleh perempuan nelayan
juga terlibat dan bagi mereka banyak keuntungan yang didapat selama menjadi
paralegal”
Salah
satu peserta dari Polrestabes Semarang menyampaikan manfaat mengikuti pelatihan
BHGS. Banyak hal baru yang diterima saat pelatihan berlangsung. Ia berharap
kedepannya ada healing bagi APH (Aparat Penegak Hukum) terutama di kepolisian.
“Setiap malam saya berdoa apakah yang saya lakukan ini sudah adil. Ketika
menangani pelaku yang berlaku baik, namun kenapa dia sampai menjadi pelaku dan
masuk penjara. Itu menjadi salah satu kendala dan harapan kedepannya”.
BHGS Sebagai Konsep APIK
Konsep kerja bantuan hukum gender
struktural adalah pemberian bantuan hukum dengan perspektif gender. Penerima
bantuan hukum adalah perempuan miskin yang mengalami ketidakadilan gender.
Proses penanganan kasus, pengalaman perempuan ketika bersinggungan dengan
hukum, sikap dan perilaku APH (aparat penegak hukum) serta budaya hukum dicatat
dan didokumentasikan. Hasil proses penanganan kasus tersebut dikaji dan
dianalisa kemudian menjadi bahan advokasi sistem hukum (subtansi, struktur dan
budaya hukum). Dalam BHGS penanganan kasus menjadi pintu masuk untuk perubahan
sistem hukum ke arah sistem hukum yang steara dan adil gender.
BHGS berbeda dengan bantuan hukum
biasa. Dalam pendekatan BHGS ada pemberdayaan hukum kepada korban/klien/mitra
maupun masyarakat sekitar korban. Korban menjadi subyek dan bukan obyek hukum,
diajak terlibat dalam penanganan kasusnya. Pengalaman dan suara korban didengar
dan dipertimbangkan.
Kerja-kerja BHGS harus dikelola agar
berhasil mencapai tujuan. Pemberian bantuan hukum kepada perempuan pencari
keadilan merupakan garda depan dari kerja BHGS. Penanganan kasus harus mengacu
pada standar operasional prosedur (SOP) penanganan kasus. Setiap pendamping
harus memahami prinsip-prinsip pendampingan dan melakukan pendokumentasian
penanganan kasus dengan detail dan lengkap. Selain pendamping dan advokad,
ketersediaan sumber daya seperti analisis, peneliti, dokumenter dan legal
drafter sangan menentukan keberhasilan kerja-kerja BHGS.
Prinsip-prinsip kerja BHGS meliputi:
1.
Sasaran
adalah korban ketidakadilan gender yang mengalami kemiskinan struktural
(terutama kelompok yang miskin secara ekonomi)
2.
Non
diskriminasi (tidak membedakan pada status perkawinan, status ekonomi sosial,
kondisi seksualitas termasuk orientasi seksual, ras, dll)
3.
Kasus
yang mempunyai nilai strategis (berimplikasi luas pada perubahan kebijakan dann
mempunyai tingkat replikasi yang tinggi/dialami oleh banyak orang)
4.
Victim
oriented (berpusat pada korban)
5.
Kesetaraan
6.
Kerahasiaan
(kasus dapat dibahas dalam bedah kasus dll, dengan tetap menjaga identitas
klien, demi kepentingan klien dan atas persetujuan klien (concent)
7.
Pro
aktif untuk menangani kasus-kasus yang bernilai strategis tinggi.
Ada tiga relasi kuasa yang bisa kita
lihat, suami-istri, majikan-buruh, masyarakat-negara. Relasi kuasa tersebut
yang tidak seimbang sudah didefinisikan oleh sistem hukum peraturan
perundang-undangan. Misalnya dalam kasus perceraian, apabila terdapat unsur
KDRT maka ada tambahan uang mut’ah, biaya kursus, lihat pada konvensi CEDAW.
Peraturan lain juga bisa dilihat pada Buku II Pedoman Administrasi PA dimana
seorang Paralegal bisa mendampingi dalam persidangan. Ketika akan mengadvokasi
reformasi hukum lihat peraturan-peraturan terkait, dokumentasikan perilaku dan
administrasi sistem peradilan, terkait visum di RS lakukan pula visum
adrevertum fisik dan visum atpsikiatrikum. Hukum pidana tidak mengenal
pemaksaan dalam perkawinan, oleh karena itu pasal 285 dalam hal ini bertentangan dengan CEDAW pasal
16.
Dalam advokasi, pilihan kata sangat
penting (kata Mbak Dewi Chandraningrum pilihlah kata yang bisa diterima). Hukum
bukan suatu produk yang netral namun merupakan suatu produk yang politik.
Semarang, 28 Juli 2017
Berita pelatihan: