Senin, 03 Februari 2020

Pernyataan Sikap LBH APIK Semarang terkait Penutupan Lokalisasi Sunan Kuning Prostitusi:




Mencari Solusi Berspektif Hak Asasi Manusia Prostitusi senantiasa ada dalam setiap periode sejarah. Ia bukanlah fenomena baru, begitupun di Indonesia. Praktik prostitusi dapat ditemui mulai dari keberadaan para selir untuk para laki-laki bangsawan, para Nyai untuk para pejabat Vereenigde Oostindische Combagnie (VOC) milik pemerintah kolonial Belanda, hingga perbudakan seks yang dilakukan tentara Jepang terhadap para perempuan yang merupakan warga lokal dari negara-negara yang mereka jajah. Sejarah memperlihatkan bahwa prostitusi terjadi karena masalah ekonomi, politik, dan pola pikir patriarki yang menjadikan perempuan sebagai obyek dan pelayan seksual. Antara tahun 1960-an hingga 1970-an, urbanisasi marak terjadi. Prostitusi kemudian menjadi masalah sendiri dalam problem perkotaan.
Para perempuan desa yang tidak memiliki kemampuan kerja dan berpendidikan rendah atau mereka yang menjadi korban kekerasan dan tidak punya akses layanan pemulihan akhirnya terpaksa bekerja di dunia prostitusi.

Banyak bermunculan tempat-tempat prostitusi besar yang bertahan hingga saat ini. Resosialisasi Algorejo atau yang dikenal dengan sebutan Lokalisasi Sunan Kuning (SK) adalah salah satunya. SK adalah lokalisasi terbesar di Kota Semarang. Lokalisasi ini dibuka dan diresmikan pada tanggal 15 Agustus 1966 oleh Wali Kota Semarang saat itu, Hadi Subeno, lewat Surat Keputusan Wali Kota Semarang No. 21/15/17/66, yang penempatan resminya baru dilakukan pada tanggal 29 Agustus 1966. Lokalisasi ini bertujuan untuk memudahkan pengontrolan kesehatan para Perempuan yang Dilacurkan (Pedila) secara periodik, serta memudahkan usaha resosialisasi dan rehabilitasi Pedila tersebut. Saat ini terdapat sekitar 475 Pedila di lokalisasi yang masuk dalam wilayah Kalibanteng Kulon tersebut. Kini Pemerintah bertekad menutup seluruh lokalisasi yang ada di Indonesia secara bertahap, termasuk SK. Targetnya, tak ada lokalisasi lagi di Indonesia pada 2019. Prostitusi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Prostitusi adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan dianggap bagian dari perdagangan orang serta bentuk eksploitasi seksual dan ekonomi. Dengan dasar argumen bahwa Negara telah melanggar hak warga negaranya, termasuk hak ekonomi dan sosial. Hal inilah penyebab utama jatuhnya perempuan dan anak dalam jurang prostitusi.

Selain itu kekerasan seksual dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga turut menjadi faktor pendorong munculnya prostitusi.1 Karenanya, istilah Prostituted Women atau Perempuan yang Dilacurkan (Pedila) digunakan untuk menyebut perempuan yang dipekerjakan dalam industri prostitusi. Bahwa sejatinya tidak pernah ada perempuan yang sukarela bekerja di industri prostitusi, sistem yang tidak adil dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan dan eksploitasi manusia untuk “menjatuhkan” mereka ke jurang yang penuh eksploitasi dan kekerasan tersebut. Prostitusi mengakibatkan multipel traumatik bagi Pedila, di antaranya 71% kekerasan fisik, 63% perkosaan, 89% Pedila tidak menyukai prostitusi tapi tidak berdaya untuk keluar, 75% tidak memiliki rumah dan 68% terkena Post Traumatic Stress Disorder (PSTD).2 Apakah Penutupan Lokalisasi adalah Solusi? Selama ini prostitusi di Indonesia dipandang dengan cara pandang patriarki, dimana perempuan sebagai Pedila selalu menjadi obyek dan tudingan sumber permasalahan dalam praktek prostitusi. Pedila dihukum secara moral sebagai pihak pendosa, bahkan dihukum oleh Negara sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan laki-laki dianggap wajar melakukan pembelian jasa prostitusi. Menutup atau membongkar lokalisasi bukan jaminan praktik prostitusi yang ada di dalamnya otomatis ikut tutup.

Praktik prostitusi tidak akan punah ketika satu salurannya hanya disumbat. Apalagi jika masalah di hulu tidak dijadikan perhatian. Indonesia bisa belajar dari negara-negara Skandinavia yang berhasil mengatasi prostitusi secara efektif, salah satunya Swedia. Melalui Undang-Undang Prostitusi Swedia (Sex Purchase Act/Sexkopslagen) yang diperkenalkan sejak 1 Januari 1999, Pemerintah Swedia memulai penutupan lokalisasi dengan mengkriminalisasi atau memberikan sanksi hukuman yang berat kepada para pembeli atau konsumen jasa prostitusi. Sedangkan Pedila ditempatkan sebagai korban yang harus diupayakan untuk keluar dari dunia prostitusi melalui berbagai program pemulihan dan pemberdayaan. Gagasan kriminalisasi bagi pembeli atau konsumen jasa prostitusi mendesak untuk dilakukan dalam upaya memutus mata rantai prostitusi. Bila dibandingkan dengan para Pedila yang berada pada situasi tidak punya pilihan, maka para laki-laki konsumen jasa prostitusi mempunyai pilihan untuk memutuskan bahwa dengan membeli jasa Pedila, berarti dikenai sanksi hukum dan sosial yang dapat menghancurkan atau mengancam reputasi dan status sosial mereka sendiri, atau membuat keputusan lain yaitu tidak membeli jasa prostitusi. Untuk itu selama satu dekade (10 tahun), Pemerintah Swedia melancarkan program pendidikan untuk para laki-laki, paralel dengan program dukungan dan pelayanan untuk para Pedila sebagai korban, serta mengenakan sanksi tegas terhadap pembeli atau konsumen jasa prostitusi dan pelaku kekerasan dengan melakukan penangkapan besar-besaran.3 Berdasarkan laporan resmi pemerintah dalam Skarhed Report yang dirilis pada tahun 2010, undang-undang tersebut telah mengurangi aktifitas prostitusi serta menurunkan jumlah pelanggan sampai lebih dari 40%. Terbukti bahwa menurunkan “permintaan/demand” akan jasa prostitusi dengan menuntut pertanggungjawaban pembeli atau konsumen merupakan solusi yang efektif.

 Strategi yang Ditawarkan Belajar dari Pemerintah Swedia yang mengembangkan respon peraturan berseberangan dengan ideologi patriarki yang dominan, maka penutupan lokalisasi tidak mungkin dilakukan secara instan dengan hanya memberi pesangon kepada para Pedila dan mengabaikan berbagai persoalan kompleks di balik industri prostitusi.

Berikut adalah berbagai langkah penting yang direkomendasikan oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, antara lain:
 1. Edukasi seksualitas bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menumbuhkan rasa penghormatan terhadap perempuan dan tubuh perempuan, sehingga perempuan dipandang sebagai subyek, bukan lagi obyek yang menjadi sasaran kekerasan dan eksploitasi.
 2. Menyiapkan langkah-langkah hukum untuk memberi sanksi yang tegas bagi pembeli atau konsumen jasa prostitusi.
 3. Melaksanakan reintegrasi sosial melalui program pemberdayaan agar dapat membantu kelanjutan hidup Pedila, termasuk juga menyiapkan masyarakat untuk menerima mantan Pedila tanpa penghakiman moral dan stigma.
 4. Melakukan pemulihan psikososial dan medis bagi Pedila.
5. Memfasilitasi organisasi Pedila yang berusaha untuk melakukan pemberdayaan ekonomi dan psikososial kepada para Pedila.

 Narahubung: 081918420205 (Apriliani Kusumawati)


Tidak ada komentar: