BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Usia anak
pada masa remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa remaja
mengalami pertumbuhan yang pesat dan membutuhkan nutrisi yang baik untuk
mendukung tumbuh kembangnya. Masa remaja yaitu usia 10-19 tahun merupakan suatu
periode masa pematangan organ reproduksi manusia termasuk masa pada tubuh
mengalami kematangan secara seksual yang sering disebut masa pubertas. Anak
pada usia 10-19 tahun mengalami perubahan fisik, alat reproduksi, kognitif dan
psikososial remaja mengalami pertumbuhan fisik seperti berat badan dan tinggi
badan bertambah serta kematangan organ reproduksi. Selain itu diiringi dengan
meningkatnya rasa ingin tahu dan suka dengan hal yang baru karena dianggap
lebih menantang, serta secara psikologis lebih menjadi sensitif, mudah cemas
dan mudah frustasi.
Anak
seringkali meniru karena rasa penasaran terhadap hal-hal baru yang menjadi
masih trend atau terkesan modern tanpa mengetahui akibat dari hal yang telah
dilakukan misal menirukan melakukan hubungan seksual di video pornografi yang
ditonton, atau dibujuk rayu melakukan hubungan seksual dengan temannya hingga
anak mengalami kehamilan tidak diinginkan
Beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya kehamilan tidak diinginkan pada anak antara
lain kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, pergaulan bebas tanpa
kendali orangtua menyebabkan anak pada masa remaja merasa bebas untuk melakukan
yang diinginkan, perkembangan teknologi media komunikasi yang semakin canggih
yang memperbesar kemungkinan remaja mengakses konten bermuatan hal-hal negatif
seperti video pornografi, serta anak menjadi korban tindak pidana kekerasan
seksual.
Kehamilan
tidak diinginkan (unwanted pregnancy) merupakan terminologi yang biasa dipakai
untuk memberi istilah adanya kehamilan yang tidak dikehendaki. Kehamilan tidak
diinginkan adalah suatu kehamilan yang terjadi dikarenakan suatu sebab sehingga
keberadaannya tidak diinginkan oleh salah satu atau calon orang tua bayi
tersebut. unwanted pregnancy merupakan suatu kondisi pasangan tidak menghendaki
adanya proses kelahiran dari suatu kehamilan.
Kehamilan
ini merupakan akibat dari suatu perilaku seksual/hubungan seksual baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja. Kehamilan tidak diinginkan merupakan
masalah kesehatan yang penting baik pada negara yang berpenghasilan tinggi,
negara berpenghasilan menengah maupun negara berpenghasilan rendah karena
memiliki dampak merugikan dari segi ekonomi, sosial serta kesehatan ibu dan
anak.
Beberapa
alasan yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan antara lain
perencanaan kehamilan, minimnya pengetahuan tentang perilaku seksual, tidak
menggunakan alat kontrasepsi, kegagalan kontrasepsi, kehamilan karena
pemerkosaan, kondisi kesehatan ibu, persoalan ekonomi, alasan karir serta
kondisi janin yang cacat.
Kejadian
kehamilan tidak diinginkan dapat meningkatkan resiko kesakitan pada perempuan
dan efek yang merugikan, misalnya wanita yang tidak menginginkan kehamilan akan
menunda untuk pergi ke pelayanan antenatal care merupakan pemeriksaan kehamilan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental pada ibu hamil,
sehingga yang nantinya akan mempengaruhi terhadap kesehatan ibu dan bayi.
Selain itu kehamilan tidak diinginkan akan mengakibatkan aborsi spontan, yang
terjadi 4 juta jiwa setiap tahun, serta aborsi yang direncanakan yang terjadi
pada 42 juta jiwa setiap tahun serta kehamilan yang tidak diinginkan terjadi 34
juta jiwa setiap tahun di seluruh dunia. Tingginya angka kematian ibu yang disebabkan
oleh kehamilan tidak diinginkan yang berakhir dengan aborsi mencapai 13% saat
ini.
Masyarakat
belum dapat menerima anak yang orangtuanya belum jelas, sehingga dianggap anak
haram atau hasil perzinahan. Walaupun perkawinan dapat dilangsungkan tetapi
kemungkinan besar perkawinan tersebut tidak dapat bertahan lama karena
dilakukan dalam keadaan mental dan jiwa belum matang. Planned Parenthood
Federation of America menyebutkan bahwa kehamilan pada usia anak memiliki
beberapa konsekuensi bagi bayi, ibu si bayi dan masyarakat diantaranya
keguguran, kematian bayi, kematian ibu si bayi, bayi lahir dengan berat rendah,
bayi sering disalahgunakan atau diabaikan, putus sekolah serta menimbulkan
beban bagi masyarakat terkait dengan keuangan untuk perawatan kesehatan anak.
Kehamilan
tidak diinginkan terhadap anak salahsatu faktornya antaralain karena anak
mengalami kekerasan seksual. Menurut catatan tahunan LBH APIK Semarang juga
menyebutkan bahwa Kasus kekerasan seksual terhadap anak pada saat pandemi
Covid-19 terus meningkat, dengan rata-rata pelaku adalah orang terdekat korban
seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek, dan tetanga korban. Indonesia
meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak yang lebih memperberat sanksi bagi pelaku,
ternyata belum juga mempunyai efek jera.
Kekerasan
seksual merupakan kejahatan luar biasa karena korban akan mengalami trauma
seumur hidup dan segala hak korban terkadang tidak dipenuhi oleh negara apabila
pelaku tidak dapat bertanggung jawab. Menurut catatan tahunan LBH APIK Semarang
bahwa angka kekerasan seksual dari tahun 2016-2021 mengalami peningkatan namun
peran negara tidak hadir sepenuh nya dalam perlindungan hak korban, antaralain
anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan.
Sebuah
studi yang dilakukan oleh perusahaan riset yang berbasis di Singapura, Value
Champion, menemukan bahwa Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi
perempuan di kawasan Asia Pasifik , dari 14 negara asia pasifik yang yang
dianalisis, India, Indonesia dan Filipina dianggap sebagai negara yang paling
tidak aman bagi perempuan. Indonesia menjadi salahsatu negara yang paling tidak
aman bagi perempuan karena akses di bawah standar untuk perawatan kesehatan,
lemahnya undang-undang tentang keselamatan perempuan dan ketidaksetaraan
gender.
Menurut
Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai
dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan hukum adalah
tempat berlindung, perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi. Pemaknaan kata
perlindungan secara kebahasaan tersebut
memiliki kemiripan unsur-unsur yaitu unsur tindakan melindungi, unsur cara-cara
melindungi.
Berdasarkan
latarbelakang tersebut maka LBH APIK Semarang melakukan penulisan proposal penelitian
hukum dalam dengan judul “PERLINDUNGAN HAK ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN
KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM”.
B.
PERMASALAHAN PENELITIAN
Permasalahan dalam
penulisan penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan
tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum?
2.
Bagaimana hambatan perlindungan hak
anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan
dengan hukum?
C.
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Tujuan dan kegunaan penulisan penelitian ini adalah:
1)
Untuk mengetahui perlindungan hak anak korban kekerasan
seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum;
2)
Untuk mengetahui hambatan perlindungan hak anak korban kekerasan
seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum;
3)
Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perlindungan
hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang
berhadapan dengan hukum.
D.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dalam penulisan penelitian ini merupakan
penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkaji bahan-bahan
hukum seperti perundang-undangan, asas, doktrin dan dokumen hukum lainnya.
§
Studi Kepustakaan
Penulisan penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan
menganalisa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perlindungan Hak
Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum, antaralain:
a)
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019 tentang
Perkawinan;
b)
UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
c)
UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
d)
UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
e)
UU No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum;
f)
UU No. 17 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak;
g)
UU No. 7 Tahun 1984 Tentang CEDAW (The
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women);
h)
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat;
i)
Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana;
j)
UU No. 12 Tahun
2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
k)
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum;
l)
Hak-hak anak dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990).
§
Deskriptif
Analitis
Penulisan pada penelitian ini dengan melukiskan keadaan
masalahnya tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku
secara umum. Berdasarkan pada undang-undang, norma hukum positif dan
doktrin-doktrin hukum.
§
Purposive Sampling
Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian pengumpulan
data dengan Purposive Sampling yaitu
teknik pengambilan sampel dengan mengambil kelompok subjek tertentu dari
populasi yang akan diteliti. Hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan
waktu, tenaga, dan biaya yang ada pada peneliti. Penelitian ini menggunakan
sampel yang diambil adalah:
1)
Putusan hakim yang
berkaitan dengan kasus Kekerasan Seksual terhadap anak dengan
kehamilan tidak diinginkan, studi kasus di Polrestabes Semarang dan Putusan Pengadilan Negeri Rembang;
2)
Ketentuan
UU No.
17 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak;
3)
Ketentuan
UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
E.
TINJAUAN TEORITIS/KONSEPSIONAL
Tinjauan teoritis / konsepsional dalam penulisan penelitian hukum ini menggunakan 2 (dua) teori yaitu:
1)
Teori Perlindungan Hukum
Penulisan penelitian ini menggunakan perlindungan hukum dengan
alasan bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaanya
kepadanya, untuk bertindak dalam rangka kepentinggan nya, dan kepentingan itu merupakan sasaran hak. Perlindungan
hukum yang ditempuh melalui suatu aturan hukum mempunyai asas hukum yang
mendasarinya dengan mencantumkan langkah-langkah melalui aturan hukum yang
memiliki tujuan, ruang lingkup direncanakan melalui strategi dan kebijakan
dalam suatu kepentingan sosial. Kepentingan sosial adalah ketertiban hukum,
keamanan nasional, perlindungan ekonomi masyarakat, perlindungan agama, moral,
hak-hak kemanusiaan, hasil-hasil penemuan, kesehatan dan kesatuan ras,
lingkungan, kepentingan-kepentingan perorangan, kepentingan-kepentingan
keluarga. Dengan adanya jaminan kebebasan serta kesetaraan yang sama bagi semua
orang maka keadilan akan terwujud.[1]
2)
Teori Feminisme / Feminist
Legal Theory (FLT)
Secara etimologis, kata feminisme berasal dari bahasa latin,
yaitu femina yang berasal dari bahasa Inggris feminine, artinya perempuan. Kemudian
kata itu ditambah isme menjadi
feminisme yang berarti paham keperempuan. Istilah itu muncul pertama kali pada
tahun 1895, dan sejak itu pula feminisme dikenal secara luas.[2] Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970-an
bersamaan dengan berkembangnya pemikiran Critical
Legal Studies (CLS) sebagai sebuah aliran pemikiran yang berusaha melakukan
terobosan dan kritik terhadap praktik diskriminasi hukum terhadap perempuan.
Perkembangan aliran hukum FLT ini selanjutnya berkembang menjadi 4 (empat) pemikiran yaitu:[3]
a.
Equal Treatment Theory
Equal Treatment Theory adalah jenis Feminist Legal Theory yang memberikan kesempatan dan hak yang sama
(formal equality) baik kepada laki-laki maupun perempuan seperti
kesetaraan sebagai warga negara, kesetaraan dalam urusan publik, individual dan
rasionalitas.
b.
Cultural Feminism
Pemahaman mengenai memandang perempuan secara kodrat mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan laki-laki seperti keadaan biologisnya
(reproduksi).
3)
Dominance Theory; dan
4)
Anti Essentialism.
F.
TEMPAT PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI
PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN (LBH APIK) SEMARANG di Jalan Poncowolo Timur
I, No. 409A, RT 001, RW 006, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang
Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
G.
JANGKA WAKTU PENELITIAN
Jangka waktu penelitian yang dibutuhkan adalah:
No. |
Kegiatan |
Bulan |
|||||||||||
Juni |
Juli |
Agustus |
|||||||||||
Minggu ke- |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
|
1. |
Persiapan: Pembagian Tugas dan Pengumpulan data |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2. |
Penyusunan Proposal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3. |
Pengajuan Proposal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4. |
Perbaikan Proposal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5. |
Penelitian |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6. |
Pengolahan Data |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7. |
Finalisasi Laporan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8. |
Percetakan. Penggandaan, dan
Penyampaian laporan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
H. SUSUNAN ORGANISASI TIM PENELITIAN
Berikut ini adalah Susunan Panitia Pelaksana Penelitian Hukum
Tentang Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak
Diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum, dengan susunan panitia yaitu:
Ketua :
Raden rara Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.
Anggota : Rr.
Maharani Herlina S, S.H.
Anggota :
Masnuah
BAB II
TINJAUAN / DATA KEPUSTAKAAN
A.
Pengertian Perlindungan
Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sangatlah penting dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum antaralain terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan
tidak diinginkan karena kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu perbuatan
kekerasan yang telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 Tentang
perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Korban kekerasan berhak mendapatkan perlindungan
hukum ketika berhadapan hukum antaralain negara wajib menjamin perlindungan
hukum sebagai korban tindak pidana antaralain anak
korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan.[4] Perlindungan
hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan dilaksanakan
berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, asas keadilan dan kesetaraan
gender, asas non diskriminasi; dan perlindungan korban.[5] Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual
dengan kehamilan tidak diinginkan, sangatlah penting karena sebagai bentuk penghapusan kekerasan
seksual terhadap anak yang bertujuan mencegah
segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak, melindungi korban kekerasan seksual, memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual; dan memelihara kenyamanan negara dari kekerasan seksual.
Menurut ketentuan Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
berhak mendapatkan:
a.
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b.
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis;
c.
Penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (4)
UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga menyebutkan Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.[6]
Menurut Ketentuan Pasal 1 Ayat (18)
UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan
hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada Saksi dan/ atau
Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[7]
Negara Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Anak dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, keputusan presiden dan peraturan
perundang-undangan lain yang telah mengatur perlindungan anak. Hak-hak anak
dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990) yaitu:[8]
a) Memperoleh perlindungan
dari bentuk diskriminasi dan hukuman.
b) Memperoleh
perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan, dan
kesehatan.
c) Hak memperoleh
kebangsaan, nama serta hak mengetahui dan diasuh orangtuanya.
d) Hak memelihara
jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungn keluarga.
e) Hak untuk tinggal
bersama dengan orang tua.
f) Kebebasan
menyatakan pendapat / pandangan.
g) Hak perawatan
khusus bagi anak cacat.
h) Hak anak atas
pendidikan.
i) Hak anak untuk
bersenang-senang dan beristirahat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni
budaya.
j) Melindungi anak
dari segala bentuk eksploitasi seksual.
k) Perlindungan
terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan anak.
l) Hak memperoleh
bantuan hukum baik dalam maupun luar pengadilan.
Hak-hak anak menurut Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:
a) Anak berhak atas
kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam keluarga nya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar.
b) Anak berhak atas
pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan
kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menajdi warga negara yang baik dan
berguna.
c) Anak berhak atas
pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah
dilahirkan.
d) Anak yang tidak
mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan.
e) Anak yang tidak
mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh
dan berkembang dengan wajar.
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.[9]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan hukum adalah tempat
berlindung, perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi. Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan unsur-unsur,
yaitu unsur tindakan melindungi, unsur cara-cara melindungi.[10]
B.
Pengertian Anak
Menurut
ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 yang diubah menjadi UU No. 17 Tahun
2016 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan.[11]
Menurut
ketentuan Pasal 1 Ayat (5) UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
C.
Pengertian Korban
Korban kekerasan seringkali identik dengan pihak yang lemah
secara fisik, psikis, ekonomi, politik dan sosial, dan yang sering menjadi
korban adalah perempuan dan anak. Menurut kamus Webster’s sebagaimana dikutip oleh Farhan bahwa Korban adalah:[12]
1)
Orang atau binatang
dikorbankan kepada dewa atau didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami
penindasan, kerugian atau penderitaan;
2)
Seseorang yang
dibunuh, dianiaya, atau didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami
penindasan, kerugian, atau penindasan;
3)
Seseorang yang
mengalami kematian atau luka-luka dalam berusaha menyelamatkan diri;
4)
Seseorang yang
diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan seseorang yang diperkerjakan atau
dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan tidak layak.
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
D.
Pengertian Kekerasan Seksual
Menurut ketentuan Pasal
1 angka (1) UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga menyebutkan bahwa Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka
(16) UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17
Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap
Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.[13]
E.
Bentuk-bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Menurut ketentuan UU No. 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak yang diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah setiap
perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan
buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.[14]
Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual menurut ketentuan UU No. 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:[15]
-
Pasal 76D: Persetubuhan terhadap anak
-
Pasal 76E: Cabul terhadap anak
-
Pasal 76I: Perbuatan eksploitasi seksual
terhadap anak
Menurut ketentuan Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa:[16]
(1) Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
a.
pelecehan
seksual nonfisik;
b.
pelecehan seksual fisik;
c. pemaksaan
kontrasepsi;
d. pemaksaan
sterilisasi;
e. pemaksaan
perkawinan;
f. penyiksaan
seksual;
g. eksploitasi
seksual;
h. perbudakan
seksual; dan
i. kekerasan
seksual berbasis elektronik.
(2) Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:
a.
perkosaan;
b.
perbuatan cabul;
c.
persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap
anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap anak;
d.
perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan
dengan kehendak Korban;
e.
pornografi yang melibatkan anak atau
pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f.
pemaksaan pelacuran;
g.
tindak pidana perdagangan orang yang
ditujukan untuk eksploitasi
seksual;
h.
kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i.
tindak pidana pencucian uang yang tindak
pidana asalnya merupakan
tindak pidana kekerasan seksual;
dan
j.
tindak pidana lain yang dinyatakan secara
tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
TINJAUAN/DATA LAPANGAN
Menurut catatan data LBH APIK Semarang selama melakukan
pendampingan bantuan hukum untuk perlindungan hak anak korban kekerasan seksual
dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum dari tahun 2016
hingga tahun 2021 mengalami peningkatan
data pengaduan yang diterima oleh LBH APIK Semarang, namun secara implementasi
pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan seksual belum maksimal dilakukan oleh pemerintah dan
aparat penegak hukum, apabila anak korban kekerasan seksual ketika berhadapan dengan hukum tidak di dampingi oleh lembaga bantuan hukum yang fokus terhadap
perlindungan untuk korban kekerasan berbasis gender.
Data lapangan yang dijadikan penelitian didalam
penulisan penelitian ini adalah:
1)
Putusan hakim yang berkaitan dengan
kasus Kekerasan Seksual terhadap anak dengan kehamilan tidak diinginkan, studi
kasus di Polrestabes Semarang dan Putusan Pengadilan Negeri Rembang;
2)
Catatan Tahunan LBH APIK Semarang
tahun 2016 hingga tahun 2021.
Hasil penelitian dalam penulisan penelitian ini telah
dilakukan Forum Group Discussion
(FGD) yang dilakukan pada tanggal 30 Juni 2022 yaitu:
1.
Memberikan masukan kepada Pemerintah Negara Indonesia untuk memberikan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual
dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum dan memberikan informasi
mengenai hambatan perlindungan hak anak
korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan
dengan hukum;
2.
Aparat Penegak Hukum untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap memberikan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan
kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum;
3.
Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak bukanlah aib atau
sebagai permasalahan domestik / pribadi, namun kekerasan
seksual merupakan
kejahatan atau tindak pidana, sehingga masyarakat yang melihat atau mendengar tentang kasus kekerasan
seksual wajib melakukan pelaporan.
BAB IV
ANALISIS
1.
Perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan
kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum
Korban kekerasan seringkali tidak melakukan pelaporan jika
telah mengalami kekerasan. Korban kekerasan tersebut terkhusus
adalah perempuan dan anak yang mengalami kekerasan
berbasis gender, yang di dalam masyarakat terkadang kekerasan yang dialami korban
sebagai akibat dari perilaku korban sendiri, contoh kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan, terkadang perempuan disalahkan karena berpakaian dengan cara
memakai rok pendek dan keluar rumah di malam hari, sehingga akibat dari cara
berpakaian korban tersebut maka korban wajar jika di perkosa; sedangkan anak
korban kekerasan di dalam masyarakat juga masih ditemukan adanya stigma
diskriminasi terhadap korban antaralain anak korban kekerasan seksual dengan
kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, dianggap sebagai aib keluarga karena dianggap masih dalam
ranah domestik terutama ketika pelaku adalah orang-orang terdekat korban
seperti ayah kandung, paman, kakek, atau tetangga korban sehingga korban lebih memilih bungkam tidak
melakukan pelaporan.
Angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak
khususnya pada kasus kekerasan seksual terhadap
anak dari tahun ke tahun yang tercatat adalah
korban yang berani melakukan pelaporan masih rendah, dan data tersebut dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan rendah nya implementasi
penegakan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak
diinginkan yang berhadapan dengan hukum.
Menurut catatan LBH APIK Semarang bahwa kasus kekerasan seksual masih dianggap suatu aib keluarga
terutama pada masyarakat pedesaan, sehingga korban / orang
tua korban / wali korban akan memilih tidak melakukan pelaporan, karena jika korban
melakukan pelaporan maka keluarga akan merasa malu dengan para tetangga di
tempat tinggal sekitar korban, karena orang lain mengetahui permasalahan kekerasan seksual yang dialami korban. Masyarakat atau tetangga yang mengetahui
permasalahan kekerasan seksual yang dialami korban terkadang tidak membantu
namun justru menyalahkan korban bahkan menjadi “buah bibir atau gosip” yang memojokkan
korban. Hal tersebut, yang membuat korban tidak dapat keluar dari lingkaran
kekerasan pelaku, bahkan korban dapat depresi menyalahkan diri sendiri ketika
korban telah berani melakukan pelaporan namun tidak ada dukungan dari keluarga
dan/atau lingkungan sekitar korban. Korban juga rentan putus sekolah
karena kehamilan tidak diinginkan dari akibat kekerasan seksual yang dialami
korban.
Pengalaman pendampingan kasus LBH APIK Semarang pada tahun 2017 di Pengadilan Negeri Rembang dan
tahun 2019 di Polrestabes Semarang terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang
berhadapan dengan hukum:
|
||||
|
Contoh kasus I dan kasus II
memperlihatkan bahwa implemetasi penegakan keadilan terhadap anak
korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan
dengan hukum, masih mengalami stigma dan diskriminasi bahkan proses hukum
litigasi pidana yang lama waktu nya hingga 2 tahun (contoh kasus II) namun
masih dalam tahap penyelidikan. Anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan
tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum juga mengalami putus sekolah
karena tidak ada nya dukungan dari pihak sekolah dan/ atau masyarakat yang
masih beranggapan bahwa kasus kekerasan seksual adalah aib yang mencemarkan
nama baik sekolah dan/atau masyarakat disekitar tempat tinggal korban. Hal-hal
tersebut menjadikan korban semakin tersudut dan bentuk perbuatan yang dilakukan
oleh sekolah dan/atau masyarakat adalah diskriminasi karena pelaku tidak
mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang didapatkan oleh korban, korban
yang lebih disalahkan karena tidak melakukan pembelaan diri atau menolak. Sekolah
dan/atau masyarakat juga secara tidak langsung telah turut serta melakukan kekerasan
terhadap korban.
Perlindungan hak anak korban
kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan
hukum menurut ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan bahwa: Saksi dan Korban berhak:
a.
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. memberikan
keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat
penerjemah;
e. bebas
dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat
informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapat
informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat
informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan
identitasnya;
j. mendapat
identitas baru;
k. mendapat
tempat kediaman sementara;
l. mendapat
tempat kediaman baru;
m. memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n. mendapat
nasihat hukum;
o. memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;
dan/atau
p. mendapat
pendampingan.
Dukungan secara psikis untuk korban dari keluarga dan/ atau masyarakat
di lingkungan sekitar tempat tinggal korban sangat penting, karena akan
membantu korban untuk lebih percaya diri dan berani melakukan pelaporan. Korban
juga tidak merasa sendirian dan tidak menjadi korban lagi.
2. Hambatan Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan
Tidak Diinginkan yang Berhadapan dengan
Hukum
Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual sangatlah
penting, karena sebagai salahsatu hak anak korban kekerasan seksual yang telah diatur didalam UU No. 35 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Anak
diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak, serta
diatur diperaturan perundang-undangan khusus lainnya yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap korban kekerasan antaralain UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan
atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut
ketentuan Pasal 1 angka (12) UU No. 35 Tahun 2004
Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa hak anak adalah bagian
dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang
tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Menurut ketentuan
Pasal 22 UU No. 35 Tahun 2004 Tentang Perlindungan
Anak diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan
bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung
jawab memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya
manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Menurut ketentuan
Pasal 15 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
menyebutkan bahwa Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk a) mencegah berlangsungnya tindak pidana; b)
memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan pertolongan darurat; dan
d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Berdasarkan beberapa peraturan
perundang-undangan tersebut mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban
kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum
bahwa anak korban kekerasan seksual berhak mendapatkan
perlindungan hukum sebagai salahsatu hak korban yang harus dipenuhi oleh
negara, aparat penegak hukum, pelaku dan pihak terkait dengan peristiwa hukum
yang dihadapi oleh anak korban kekerasan seksual.
Menurut catatan laporan tahunan LBH APIK Semarang di tahun 2021 bahwa hambatan perlindungan hak
anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan
dengan hukum, tidak melakukan pelaporan antaralain:[17]
1)
Korban kekerasan seksual dianggap sebagai aib
keluarga merupakan kasus aib keluarga, sehingga stigma atau pandangan negatif
terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak masih ada yang menganggap sebagai
ranah domestik bukan publik dan bukan
termasuk kejahatan atau tindak pidana, hal tersebut terjadi karena masyarakat
Indonesia yang masih banyak berada di budaya patriarkhi dan belum
tersosialisasi secara maksimal khususnya di masyarakat pedesaan mengenai UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak diubah menjadi
UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak;
2)
Tidak ada dukungan
dari Aparat penegak hukum secara progresif, ketika korban kekerasan seksual melakukan pelaporan mengenai
kasus kekerasan
seksual yang telah dialaminya. Menurut catatan LBH APIK Semarang bentuk tidak ada dukungan
tersebut antaralain ketika korban kekerasan seksual dengan kehamilan
tidak diinginkan melakukan pelaporan ke aparat
penegak hukum, oleh aparat penegak hukum masih ditemukan belum ada dukungan
terhadap korban dengan menolak laporan korban karena dianggap tidak ada saksi
yang melihat atau mendengar saat kejadian kekerasan
seksual yang dialami korban dan/atau merekomendasikan untuk proses mediasi, hal yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 55 UU No. 23
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Sebagai salah satu alat bukti yang sah,
keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.; serta ketentuan Pasal 25 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat
bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak
pidana dan terdakwa lah yang bersalah melakukannya.
3)
Seringkali tidak ada dukungan dari keluarga korban, ketika anak korban kekerasan seksual melakukan pelaporan
mengenai kasus kekerasan seksual yang telah dialaminya. Menurut
catatan LBH APIK Semarang bentuk tidak ada dukungan tersebut antaralain ketika anak korban kekerasan seksual akan melakukan pelaporan ke kepolisian maka keluarga korban
akan mencegah karena dianggap kasus kekerasan seksual sebagai aib, korban dan keluarga korban masih
ada relasi ketergantungan ekonomi dengan pelaku, serta korban mendapatkan
ancaman dari pelaku sehingga keluarga korban menyarankan untuk korban tidak
melakukan pelaporan.
4)
Masih kurangnya bentuk kesadaran masyarakat mengenai
partisipasi pencegahan dan penanganan terhadap korban
kekerasan sekssual. Menurut catatan LBH APIK Semarang masyarakat yang melihat dan/atau mendengar peristiwa kekerasan seksual terkadang pura-pura “tutup
mata dan telinga” karena menganggap bukan urusan nya atau takut jika turut
campur dengan urusan rumah tangga orang lain, hal tersebut membuat korban kekerasan seksual akan tetap berada di dalam lingkaran kekerasan pelaku, dan korban kekerasan seksual juga terkadang
mengalami hambatan ketika menempuh penyelesaian secara litigasi maka akan
membutuhkan saksi yang melihat dan/atau mendengar peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban
namun masih banyak masyarakat sekitar korban yang melihat dan/atau mendengar
peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban tidak mau menjadi saksi
ketika di pengadilan.
5)
korban dan/atau wali / orang tua korban tidak melakukan pelaporan
karena bingung akan melakukan pelaporan kepada siapa, dimana, dan bingung
menceritakan kasus yang dialaminya karena faktor depresi atau ancaman dari
pelaku
6)
korban dan/atau wali / orang tua korban
tidak melakukan pelaporan karena korban tidak
menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan seksual antaralain
faktor mengenai ketidakpahaman mengenai yang dimaksud kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan
seksual, intelektual pada diri korban hal ini terjadi pada korban kekerasan seksual
dengan disabilitas intelektual, dan korban dalam kondisi psikologis yang tidak
stabil atau gila.
Perlindungan hukum
terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang
berhadapan dengan hukum diharapkan
terimplementasi secara maksimal agar anak korban kekerasan seksual
mendapatkan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang telah diatur, karena hal tersebut sebagai langkah pencegahan dan penanganan
kasus kekerasan seksual terhadap anak, agar korban dapat
keluar dari lingkaran kekerasan pelaku dan pelaku mendapatkan efek jera,
sehingga tidak terjadi pengulangan kejahatan atau tindak pidana terhadap korban
yang dilakukan oleh pelaku atau pelaku lain, sehingga diharapkan angka
kekerasan terhadap anak dapat diminimalisir
dan penegak hukum benar-benar mewujudkan menjadi penegak keadilan sesuai dengan
sumpah jabatan yang diampu, serta meningkatkan solidaritas kemanusiaan di
masyarakat terhadap penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terhadap
anak.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual Anak
Korban Kekerasan Seksual dengan Kehamilan Tidak Diinginkan yang Berhadapan
dengan Hukum, masih belum
terimplementasikan secara maksimal. Perlindungan
hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan
yang berhadapan dengan hukum, diharapkan terimplementasi secara maksimal agar anak korban
kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan
hukum mendapatkan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang telah diatur, karena hal tersebut sebagai langkah pencegahan dan
penanganan kasus anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak
diinginkan yang berhadapan dengan hukum, agar korban dapat keluar dari
lingkaran kekerasan pelaku dan pelaku mendapatkan efek jera, sehingga tidak
terjadi pengulangan kejahatan atau tindak pidana terhadap korban yang dilakukan
oleh pelaku atau pelaku lain, sehingga diharapkan angka kekerasan terhadap
perempuan dapat diminimalisir dan penegak hukum benar-benar mewujudkan menjadi
penegak keadilan sesuai dengan sumpah jabatan yang diampu, serta meningkatkan
solidaritas kemanusiaan di masyarakat terhadap penanganan dan pencegahan kekerasan
terhadap perempuan.
2.
Hambatan Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual
dengan Kehamilan Tidak Diinginkan yang Berhadapan dengan Hukum
1)
Anak korban kekerasan seksual dianggap sebagai aib
keluarga, sehingga
stigma atau pandangan negatif terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak masih ada yang menganggap sebagai
ranah domestik bukan publik dan bukan
termasuk kejahatan atau tindak pidana.
2)
Tidak ada dukungan dari Aparat
penegak hukum, ketika anak
korban kekerasan seksual melakukan
pelaporan mengenai kasus kekerasan
seksual yang telah dialaminya.
3)
Tidak ada dukungan dari keluarga
korban, ketika korban dan/atau
wali / orang tua korban melakukan pelaporan mengenai kasus kekerasan seksual yang telah
dialaminya.
4)
Masih kurangnya bentuk
kesadaran masyarakat mengenai partisipasi pencegahan dan penanganan terhadap
perempuan korban kekerasan
seksual.
5)
Korban dan/atau wali / orang tua korban kekerasan
seksual tidak melakukan pelaporan karena bingung akan melakukan pelaporan
kepada siapa, dimana, dan bingung menceritakan kasus yang dialaminya karena faktor
depresi atau ancaman dari pelaku.
6)
Korban dan/atau wali / orang tua
korban tidak melakukan pelaporan karena korban tidak menyadari bahwa dirinya
telah menjadi korban kekerasan
seksual antaralain faktor mengenai ketidakpahaman mengenai yang dimaksud
kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan
seksual, intelektual pada diri korban hal ini terjadi pada perempuan korban
kekerasan seksual dengan
disabilitas intelektual, dan korban dalam kondisi psikologis yang tidak stabil
atau gila.
B.
Saran
1.
Para aparat penegak hukum perlu dibekali wawasan
mengenai hukum perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual dengan
kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum, hal ini dimaksudkan
agar para penegak hukum dan aparat pengadilan tersebut menangani perkara yang
melibatkan anak dapat
memegang prinsip mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak ketika berhadapan dengan hukum, sehingga meminimalisir hambatan perlindungan
hak anak korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak diinginkan yang
berhadapan dengan hukum.
2.
Masyarakat agar lebih membangun solidaritas kemanusiaan
mengenai pencegahan dan penanganan kasus anak korban kekerasan seksual dengan
kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum karena kasus kekerasan seksual terhadap anak
merupakan kekerasan yang secara hukum termasuk kejahatan atau tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adussallam. Victimologi.
Jakarta: PTIK, 2010.
Agus Yudho Hermoko. Asas proporsionalitas dalam kontrak komersil.
Yogyakarta: Laksbang Mediatma, 2008.
Anonim. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Edisi Kedua, Cetakan 1. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.
Farhan. Aspek Hukum Perdagangan
Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Levit, Nancy and Robert R.M Verchick. Feminist Legal Theory A Primer. New York and London: New York University
Press, Secon Edition, 2016.
M. Echol, John dan Hassan Saddily. Kamus
Bahasa Kamus Inggris Indonesia. Cetakan XIX. Jakarta: Gramedia, 1993.
Nashriana. Perlindungan Hukum
Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Sambas, Nandang. Pembaharuan
Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Setiono. Supremasi Hukum. Surakarta:
UNS, 2004.
Waluyo, Bambang. Viktimologi
Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-4, 2016.
C.
Peraturan
Perundang-Undangan
Sekretariat RI. UU No. 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak. Jakarta: 1979.
Sekretariat RI. UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
Jakarta: 1984.
Sekretariat RI. UU No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: 2004.
Sekretariat RI. UU No. 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: 2006.
Sekretariat RI. UU No. 21 Tahun 2007
Tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: 2004.
Sekretariat RI. UU No. 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum. Jakarta: 2011.
Sekretariat RI. UU No. 17 Tahun 2016
Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Jakarta: 2016.
Sekretariat RI. UU No.
12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jakarta: 2022.
Sekretariat RI. Peraturan Pemerintah
No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi
Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: 2002.
Sekretariat RI. Peraturan
Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang
Menjadi Korban Tindak Pidana. Jakarta: 2017.
Sekretariat RI. Hak-hak anak
dalam Konvensi PBB (Kepres No. 36 Tahun 1990). Jakarta: 1990.
Sekretariat RI. Peraturan
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum. Jakarta: 2017.
D.
Lain-lain
Catatan laporan
tahunan LBH APIK Semarang di tahun 2016
– 2021.
Catatan kasus
yang didampingi oleh LBH APIK Semarang di Juni 2019.
Catatan kasus
yang didampingi oleh LBH APIK Semarang di Oktober 2020.
Putusan
Pengadilan Negeri Rembang
Tahun 2017.
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di
Polrestabes Semarang perihal kasus anak korban kekerasan seksual dengan
kehamilan tidak diinginkan yang berhadapan dengan hukum.
Semarang, 25 Juli 2022
Mengetahui,
Raden rara
Ayu Hermawati Sasongko, S.H.,M.H.
Direktur LBH APIK
Semarang
[1]Agus
Yudho Hermoko, Asas Proporsionalitas dalam kontrak komersil, (Yogyakarta: Laksbang
Mediatma, 2008), halaman 45.
[2]M.
Echol, John dan Hassan Saddily, Kamus
Bahasa Kamus Inggris Indonesia Cet. XIX, (Jakarta: Gramedia, 1993).
[3]Levit,
Nancy and Robert R.M Verchick, Feminist
Legal Theory A Primer, (New York
and London: New York University Press, Secon Edition, 2016).
[4]Sekretariat
Republik Indonesia, UU No. 17 Tahun 2016
Tentang perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta:
2016.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Sekretariat Republik Indonesia. UU
No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jakarta, 2022.
[8]Nashriana,
Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), halaman 14.
[9]Setiono,
Supremasi Hukum, (Surakarta: UNS,
2004), halaman 3.
[10]Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, Cetakan 1, (Jakarta: Balai Pustaka),
halaman 595.
[11]Sekretariat Republik Indonesia. UU
No. 35 Tahun 2014 yang diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan
Anak. Jakarta: 2016.
[12]Farhan, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), halaman 154.
[13]Sekretariat
Republik Indonesia, UU No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak juncto UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Jakarta: 2016.
[14]Ibid.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]lbhapiksemarang.blogspot.com/?m=1,
diakses di Semarang: 15 Mei 2021.