BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia
sebagai salahsatu negara yang mempunyai kepadatan penduduk terbanyak di dunia
dan Indonesia menempati posisi ke-15 sebagai negara terbesar dengan luas 1,9
juta km2 lebih.[1] Hal tersebut juga berdampak pada
kesejahteraan penduduk dalam segi perekonomian. Indonesia juga masih sebagai
negara dengan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tinggi bahkan
masih terjadi nya praktik perbudakan modern hingga perdagangan manusia
antaralain terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Meskipun
saat ini Menteri Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,
namun fakta nya menurut Catatan Tahunan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang dari tahun 2016 – 2022 menyebutkan
bahwa dari tahun ke tahun angka kekerasan terhadap PRT masih tetap terjadi, dan
negara tidak hadir dalam pemberian hak perlindungan untuk PRT yang menjadi
korban kekerasan apabila kasus korban tidak terpublikasikan. Kasus-kasus
kekerasan yang sering menimpa para PRT tak diketahui oleh publik karena
keterbatasan akses untuk mengadukan hal yang di alami korban.
Menurut
JALA PRT mengenai pemenuhan jaminan sosial pada Agustus 2021. Ada 868 PRT, dan
82 persen di antaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional. Padahal
tenaga PRT sangat dibutuhkan namun jaminan kesehatannya kerap terabaikan, tidak
mendapat perhatian, dan dukungan dari negara.[2]
Pekerja
Rumah Tangga (PRT) mempunyai berbagai kerentanan mulai dari jam kerja yang
panjang, tidak memiliki hari libur, tak mempunyai jaminan sosial, kesehatan,
dan ketenagakerjaan, serta beban kerja yang tak terbatas dan rentan terhadap
eksploitasi, sampai tindak kekerasan. Bahkan, kekerasan ekonomi juga dialami
PRT seperti upah yang tidak dibayarkan oleh pemberi kerjanya.
Berdasarkan
latarbelakang tersebut maka LBH APIK Semarang melakukan penulisan penelitian
hukum dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)”.
B.
Permasalahan/Ruang
lingkup
1.
Bagaimana Tinjauan Hukum
terhadap Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)?
2.
Bagaimana Hambatan terhadap Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga
(PRT)?
C.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian dilaksanakan penelitian hukum tentang “Tinjauan Hukum terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)”, adalah:
1.
Untuk mengetahui
perlindungan hak Pekerja Rumah Tangga (PRT);
2.
Untuk mengetahui hambatan
dalam proses pemenuhan hak Pekerja Rumah Tangga (PRT); dan
3.
Untuk memberikan
informasi kepada masyarakat mengenai hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT).
D.
Metode Penelitian
Metode
penelitian dalam penulisan penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis
normatif yaitu penelitian yang mengkaji bahan-bahan hukum seperti
perundang-undangan, asas, doktrin dan dokumen hukum lainnya.
1.
Studi Kepustakaan
2.
Deskriptif Analitis
Penulisan
pada penelitian ini dengan melukiskan keadaan masalahnya tanpa maksud untuk
mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Berdasarkan pada
undang-undang, norma hukum positif dan doktrin-doktrin hukum.
3. Purposive Sampling
Penulisan penelitian ini menggunakan
metode penelitian pengumpulan data dengan Purposive Sampling yaitu
teknik pengambilan sampel dengan mengambil kelompok subjek tertentu dari
populasi yang akan diteliti. Hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan
waktu, tenaga, dan biaya yang ada pada peneliti. Penelitian ini menggunakan
sampel yang diambil adalah Nomer perkara: 254/Pid.Sus/2023/PN JKT.Sel.
E.
Tinjauan
Teoritis/Konsepsional
Tinjauan
teoritis / konsepsional dalam penulisan penelitian hukum ini menggunakan 2 (dua) teori, yaitu:
1)
Teori
Perlindungan Hukum
Penulisan
penelitian ini menggunakan perlindungan hukum dengan alasan bahwa hukum
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaanya
kepadanya, untuk bertindak dalam rangka kepentinggan nya, dan kepentingan itu merupakan sasaran hak. Perlindungan hukum yang
ditempuh melalui suatu aturan hukum mempunyai asas hukum yang mendasarinya
dengan mencantumkan langkah-langkah melalui aturan hukum yang memiliki tujuan,
ruang lingkup direncanakan melalui strategi dan kebijakan dalam suatu
kepentingan sosial. Kepentingan sosial adalah ketertiban hukum, keamanan
nasional, perlindungan ekonomi masyarakat, perlindungan agama, moral, hak-hak
kemanusiaan, hasil-hasil penemuan, kesehatan dan kesatuan ras, lingkungan,
kepentingan-kepentingan perorangan, kepentingan-kepentingan keluarga. Adanya jaminan kebebasan serta kesetaraan yang sama bagi semua orang maka
keadilan akan terwujud.[3]
2)
Teori
Feminisme / Feminist Legal Theory
(FLT)
Secara etimologis, kata
feminisme berasal dari bahasa latin, yaitu femina
yang berasal dari bahasa Inggris feminine, artinya perempuan. Kemudian
kata itu ditambah isme menjadi
feminisme yang berarti paham keperempuan. Istilah itu muncul pertama kali pada
tahun 1895, dan sejak itu pula feminisme dikenal secara luas.[4] Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali
pada tahun 1970-an bersamaan dengan berkembangnya pemikiran Critical Legal Studies (CLS) sebagai
sebuah aliran pemikiran yang berusaha melakukan terobosan dan kritik terhadap
praktik diskriminasi hukum terhadap perempuan. Perkembangan aliran hukum FLT
ini selanjutnya berkembang menjadi empat pemikiran yaitu:[5]
a.
Equal Treatment Theory
Equal Treatment Theory adalah jenis Feminist Legal
Theory yang memberikan kesempatan dan hak yang sama (formal equality)
baik kepada laki-laki maupun perempuan seperti kesetaraan sebagai warga negara,
kesetaraan dalam urusan publik, individualistik dan rasionalitas.
b.
Cultural Feminism
Pemahaman mengenai memandang
perempuan secara kodrat mempunyai karakteristik yang berbeda dengan laki-laki
seperti keadaan biologisnya (reproduksi).
F.
Tempat Penelitian
Tempat
penelitian adalah Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan
(LBH APIK) Semarang di Jalan Poncowolo Timur I, No. 409A, RT 001, RW 006,
Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi
Jawa Tengah.
G.
Jangka Waktu Penelitian
Waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan 10 April – 10 Juni 2023.
No. |
Kegiatan |
Bulan |
|||||||||||
April |
Mei |
Juni |
|||||||||||
Minggu ke- |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
|
1. |
Persiapan: Pembagian Tugas
dan Pengumpulan data |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2. |
Penyusunan Proposal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3. |
Pengajuan Proposal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4. |
Perbaikan Proposal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5. |
Penelitian |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6. |
Pengolahan Data |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7. |
Finalisasi Laporan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8. |
Percetakan. Penggandaan, dan
Penyampaian laporan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
H.
Susunan Organisasi Tim
Penelitian
Berikut ini adalah
Susunan Panitia Pelaksana Penelitian Hukum Tentang Tinjauan Hukum terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT), dengan susunan panitia yaitu:
Ketua : Raden rara Ayu Hermawati
Sasongko, S.H.,M.H.
Anggota : Rr. Maharani Herlina S, S.H.
Anggota : Evita Narendra, S.H.
Anggota : Nukhbah Salsabila, S.H.
BAB II
TINJAUAN/DATA KEPUSTAKAAN
A. Pengertian
Pekerja Rumah Tangga
Menurut Konvensi
ILO No. 189 mengenai Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga, PRT adalah
seseorang yang dipekerjakan dalam pekerjaan rumah tangga di dalam sebuah
hubungan kerja. PRT meliputi semua orang yang dipekerjakan dalam rumah tangga,
baik yang bekerja paruh waktu, penuh waktu, ataupun tinggal bersama Pemberi
Kerja dalam satu rumah.
PRT adalah seseorang yang juga dipekerjakan
oleh Pemberi Kerja untuk mendapatkan upah. Namun, PRT termasuk dalam kategori
pekerja informal sehingga tidak bisa disamakan pengaturannya dengan pekerja
formal. Istilah pekerja informal
sendiri pertama kali dicetuskan oleh ILO pada tahun 1970 untuk menggolongkan
jenis pekerjaan yang sederhana tanpa formalitas hubungan kerja. Biasanya, jenis
pekerjaan informal tidak terorganisir dan tidak memiliki perlindungan hukum.
Menurut Rusli Ramli, sektor informal biasanya meliputi pekerjaan padat karya
atau usaha kecil yang tidak dikenakan pajak, karena biasanya pekerja informal
bertanggung jawab atas perseorangan yang tidak berbadan hukum.[6] Pekerja
sektor informal dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:[7]
1.
Pengusaha
(pemilik sekaligus operator dari usahanya secara mandiri);
2.
Pekerja
mandiri (pemilik bisnis keluarga, pekerja yang mempekerjakan dirinya sendiri,
pekerja yang merupakan anggota keluarga sendiri); dan
3.
Buruh
harian (pekerja sektor informal, pekerja kasual, pekerja rumahan, PRT, pekerja
paruh waktu atau pekerja kadang-kadang, dan pekerja tak terdaftar).
Diferensiasi sektor formal dan informal terjadi berdasarkan
pada ciri pekerjaan yang dilakukan beserta pola pengerahan pekerja, unit
produksi yang melakukan pekerjaan tersebut, dan hubungan kerja eksternal.[8] Pola
pengerahan pekerja di sektor formal dilakukan jelas berdasarkan kontrak kerja,
di mana seorang pekerja harus memenuhi ketentuan tertentu sehingga muncul
anggapan bahwa pekerja formal adalah seseorang yang terampil dan berpendidikan.[9] Sementara,
pekerja informal yang bekerja tanpa memerlukan ketentuan yang jelas atau
biasanya bekerja untuk dirinya sendiri dianggap pekerja yang tidak terampil dan
tidak berpendidikan. Anggapan tersebut menyebabkan pekerja informal kurang
mendapat dukungan dan pengakuan serta perlindungan dari pemerintah.
PRT yang seringkali disebut “pembantu” atau ‘“asisten”
karena masyarakat menganggap bahwa pekerjaan yang dilakukan PRT hanya sekadar
pekerjaan kerumahtanggaan. Penyebutan seperti itu muncul karena faktor sosial
budaya yang tercipta akibat ketidakjelasan hubungan kerja yang biasanya
berlandaskan pada budaya kekerabatan atau kekeluargaan. Penggantian diksi
“pembantu” atau “asisten” menjadi “pekerja” memberikan implikasi
pengakuan atas kerja domestik yang dilakukan PRT sebagai kerja yang berhak atas
pemenuhan hak atas kerja dan penghidupan yang layak. Penggantian diksi tersebut
telah diinisiai oleh LSM dan ILO dalam rangka memperjuangkan pemenuhan hak
konstitusional PRT.
Pengakuan hukum bagi PRT diatur dalam Permenaker Nomor 2
Tahun 2015 tentang Pekerja Rumah Tangga yang menyebutkan bahwa:
“Pekerja
Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PRT adalah orang yang bekerja pada
orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan
kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain”.
Permenaker 2/2015 sudah secara
khusus memberikan pengakuan bagi PRT. Namun, peraturan ini tidak bisa dijadikan
sebagai payung hukum karena substansinya hanya sebagai pengakuan hukum.
B. Pengertian
Hak
Pada
dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup, hak untuk
dilindungi, dan hak yang lainnya. Hal ini senada dengan prinsip hukum alam pada
abad ke-18 yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio, salah satu penganutnya
adalah John Locke, menurut John Locke teori hukum beranjak
dari dua hal di atas yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga
mengajarkan pada kontrak sosial. Menurutnya manusia yang melakukan kontrak
sosial adalah manusia yang tertib dan menghargai kebebasan, hak hidup dan
pemilikan harta sebagai hak bawaan manusia. Menurut Locke masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak melanggar
hak-hak dasar manusia.
Menurut John Locke, hak-hak tersebut tidak
ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena
itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya
tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya kekuasaan tersebut justru
untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin
mengancam, baik datang dari dalam maupun dari luar. Begitulah, hukum yang
dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut.[10] Hak-hak
dasar yang biasa disebut sebagai hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan
lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi,
peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.
Setiap
warga negara memiliki hak yang dijamin pemenuhannya oleh negara. Hak
konstitusional dapat diartikan sebagai seperangkat hak yang disepakati, diatur,
dan dijamin pemenuhannya dalam konstitusi. Hak konstitusional merupakan hak
dasar yang dimiliki setiap warga negara sebagai pengejawantahan dari hak asasi
manusia. Landasan pemenuhan hak konstitusional Indonesia diatur dalam UUD NRI
1945.
Pengaturan mengenai hak konstitusional Indonesia diatur
dalam rangka mewujudkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak
asasi manusia yang meliputi perlindungan hak sipil dan politik, hak ekonomi,
sosial dan budaya, serta hak dalam pembangunan untuk seluruh warga negara
Indonesia termasuk perempuan, anak, serta berbagai kelompok rentan, seperti
lanjut usia, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas lainnya, seperti
masyarakat adat, dan masyarakat terpencil.
Pengaturan khusus hak
konstitusional bagi perempuan merupakan bentuk diskriminasi positif yang
bertujuan untuk menjamin pemenuhan oleh seluruh warga negara, serta tercapainya
kesetaraan antar warga negara tanpa pembedaan ras, gender, etnis, keadaan
fisik, agama, maupun ideologi. Kesetaraan bukanlah suatu yang diraih, melainkan
pencapaian dari sebuah proses yang tak dapat dipisahkan antara perempuan dan
laki-laki supaya dapat menikmati hak dan kesempatan yang sama di seluruh sektor
masyarakat.[11]
C. Pengertian
Perlindungan Hukum
Kata
perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti tempat berlindung atau
merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberi perlindungan kepada
orang yang lemah.[12]
Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan
peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum
karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang
seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta
menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah.[13]
Jadi perlindungan hukum adalah adalah suatu perbuatan dalam hal memberikan
perlindungan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui
institusi yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan perintah peraturan umum
tersebut.
Awal mula dari
munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau
aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato),
dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam
menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan
abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut
aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara
internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan
moral.
Satjipto
Rahardjo mengutip pendapat dari Fitzgerald didalam bukunya “Ilmu
Hukum” menjelaskan makna teori pelindungan hukum menurut Salmond bahwa
tujuan hukum harus diciptakan dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat
dengan cara mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.[14]
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum
memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu
diatur dan dilindungi.[15]
Perlindungan
hukum harus melalui 2 (dua) sumber yakni (a). Perlindungan hukum lahir dari
suatu ketentuan hukum; dan (b). Segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk
mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.
Dari kedua tahapan tersebut yang kemudian dijadikan sebagai sumber hukum pidana
materiil. Dimana pada akhir perumusan suatu sanksi, nilai perlindungan hukum
yang terkandung akan mengalami pertarungan makna antara “dapat dipidana” dan
“patut dipidana”.
Menurut
Philipus M. Hadjon, bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan
Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya
yang sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan
Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat
manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian, persatuan,
permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang
menjunjung tinggi
semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan
bersama. Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila, maka
asas yang penting ialah asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan.
BAB III
TINJAUAN/DATA LAPANGAN
Menurut perkiraan ILO jumlah Pekerja Rumah Tangga (PRT) di negara maju rendah, pada 0,9% dan di negara berkembang menyumbang
proporsi yang jauh lebih besar di
Amerika Latin dan Karibia, 11,9% diikuti dengan Timur Tengah 8,0%, Afrika 4,9%, dan Asia 3,5%. ILO mengatakan terdapat 52,6
juta pekerja di dunia. Jika dilihat data maka PRT
merupakan sumber pekerjaan penting. Jam kerja PRT informal di Indonesia bekerja 6 atau 7 hari
dalam seminggu dan 40
jam atau lebih seminggu, mendapatkan Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan. Data PRT terbesar ada di Provinsi Jawa Barat
sebanyak 859.000 orang.[16]
Menurut
data ILO kurang lebih 70,49 juta
orang bekerja di bidang informal, dimana 61% diantaranya pekerja perempuan. Total sekitar 9 juta pekerja melakukan
perpindahan, 60-70% adalah perempuan
sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT)
di luar negeri. Data 2015 jumlah PRT di Indonesia diperkirakan sampai 4 juta orang.
Data
catatan Komnas Perempuan bahwa
kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi, terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tercatat 175 pada tahun 2015 terdapat 11.207 kasus kekerasan
terhadap perempuan di dalam keluarga
dan/hubungan pribadi, diantaranya PRT. Menurut Laporan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan
Perlindungan Anak bahwa situasi
PRT Indonesia saat ini yaitu sebagian besar perempuan,
anak di bawah umur,
dalam situasi buruk,
tidak memiliki batasan jam kerja, dan mengalami kekerasan dan perbudakan.
Menurut
catatan tahunan Komnas Perempuan bahwa jumlah PRT di Indonesia meningkat setiap tahun. Mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi mencapai
35% di tahun 2011 dan 2012.
Tahun 2015 jumlah kasus meningkat 9% dibandingkan tahun 2014.
Menurut catatan tahunan Lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang
bahwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Provinsi Jawa Tengah masih mengalami
kekerasan saat bekerja, hal tersebut LBH APIK Semarang di tahun 2017 – 2022
masih mendapatkan pengaduan kekerasan terhadap PRT sebanyak 30 kasus, dan
rata-rata perlindungan hak PRT yang mengalami kekerasan belum terberikan secara
maksimal. PRT yang mengalami kekerasan saat bekerja rata-rata berupa fisik,
psikis, dan hak gaji yang tidak terbayarkan oleh pemberi kerja (majikan),
bahkan ada 2 orang PRT yang menjadi korban kekerasan hingga mengalami cacat
seumur hidup sehingga tidak dapat bekerja lagi.
BAB IV
ANALISIS
1.
Tinjauan Hukum terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Setiap orang memerlukan
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup nya agar lebih sejahtera, apalagi
pekerjaan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap orang dalam
mempertahankan kehidupannya. Krisis ekonomi yang berkelanjutan sejak tahun 1997
telah berdampak pada semakin sedikitnya peluang bekerja di sektor formal dan kesediaan
lapangan kerja sangat terbatas sehingga tidak semua orang mendapatkan
keberuntungan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan terutama di bidang
pekerjaan formal seperti buruh pabrik, karyawan kantoran, dan lain-lain.
Sebagian orang mengalami
kesulitan mencari pekerjaan, dan akhirnya memilih bekerja sebagai Pekerja Rumah
Tangga (PRT) karena pekerjaan PRT tidak memerlukan modal dan keahlian khusus. Keberadaan
PRT semakin dibutuhkan di zaman modern untuk menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga yang seharusnya dikerjakan sendiri oleh rumah tangga, karena PRT dapat
meringankan dan mempermudah dalam mengerjakan berbagai urusan yang berkaitan
dengan rumah tangga.
Kehadiran pekerja rumah
tangga di zaman modern saat ini sangat dibutuhkan banyak kalangan terutama bagi
masyarakat perkotaan, oleh karena masyarakat menganggap kehadiran PRT dapat
meringankan dan mempermudah dalam mengerjakan berbagai urusan yang berkaitan
dengan kegiatan rumah tangga. PRT harus mampu mengerjakan sendiri semua
pekerjaan yang menyangkut urusan rumah tangga yang ada.
Fenomena Pekerja Rumah
Tangga (PRT) diperkirakan telah ada sejak zaman kerajaan, masa penjajahan,
hingga sesudah Indonesia merdeka. PRT adalah kemiskinan dan faktor kebutuhan
tenaga di sektor domestik yang selama ini dibebankan kepada perempuan.[17]
Seiring perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, keberadaan PRT semakin
dibutuhkan dan secara kuantitas jumlahnya semakin meningkat.
Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) per Februari 2012, jumlah PRT di Indonesia mencapai 14.714.437
jiwa, 14.714 jiwa (10%) diantaranya adalah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA)
yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun, dan sisanya (90%) adalah PRT
perempuan.
Kasus kekerasan dan
ekploitasi terhadap PRT sampai sekarang masih terus berulang. Beberapa kasus
yang dialami PRT yang diproses hukum ternyata masih mengabaikan rasa keadilan
bagi korban. Selain bagi pekerja yang sangat dibutuhkan, PRT juga sebagai warga
negara yang mempunyai hak asasi yang seharusnya dilindungi pemerintah dan
masyarakat. Pengakuan harkat dan martabat PRT dan perlindungan dalam negeri
harus dilakukan melalui dukungan pemerintah Republik Indonesia terhadap
pengesahan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT).[18]
Dukungan pemerintah
Republik Indonesia terhadap PRT kurang baik, hal ini terlihat dari belum adanya
undang-undang yang menjangkau perlindungan hukum terhadap PRT.
PRT merupakan kelompok
pekerja dan masyarakat yang memiliki berbagai keunikan persoalannya sendiri. Persoalan
tersebut adalah persoalan rumit yang sebenarnya sangat memprihatinkan rasa
kemanusiaan dan keadilan.[19] PRT masih rentan terhadap kekerasan,
diskriminasi, hingga eksploitasi. erdasarkan
data Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), pada periode 2015-2022,
Ada 2.637 PRT yang melaporkan berbagai kasus. Sebanyak 1.148 kasus di antaranya
berupa kekerasan ekonomi, seperti upah tidak dibayarkan, upah dipotong sepihak,
serta tunjangan hari raya (THR) tidak dibayarkan.
Secara sosial, PRT tidak
dianggap sebagai suatu profesi sehingga pemenuhan hak-haknya seringkali hanya
berdasarkan belas kasihan atau kemurahan hati majikan bahkan secara normatif
PRT juga belum dianggap sebagai suatu profesi karena aktivitas PRT dianggap
jauh dari aktivitas produksi. PRT dalam menjalankan pekerjaannya masuk dalam situasi
pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal,
pengawasan dari instansi yang berwewenang maupun belum adanya perjanjian kerja.
Dengan adanya kondisi
tersebut maka beberapa masalah biasanya dihadapi PRT dan membutuhkan
perlindungan antara lain masalah upah yang rendah atau tidak di bayar, jam
kerja yang tidak memiliki batasan, fasilitas yang menunjang bagi PRT untuk
keamanan, kesehatan dan keselamatan belum memadai, hak libur atau cuti, beban
kerja yang tidak dibatasi dan rentan terhadap kekerasan fisik dan pelanggaran
hak asasi manusia. Saat ini pun tidak ada undang-undang yang secara khusus di
Indonesia yang melindungi PRT, sedangkan PRT tidak diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Contoh Kasus dengan Nomer perkara:
254/Pid.Sus/2023/PN JKT.Sel §
Korban sejak bulan April 2022 bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga
(PRT) di apartemen pemberi kerja (pelaku) di Jakarta Selatan. §
Pemberi kerja (pelaku) mempunyai 5 orang PRT dan 1 orang anak yang
tinggal bersama di apartemen. §
Korban tidak ada hubungan keluarga dengan pemberi kerja. § Korban dapat bekerja di rumah pelaku melalui
agen/ perantara Biro Penyaluran Pekerja Online yang korban ketahui melalui
media sosial facebook. § Tugas korban sebagai PRT di rumah/apartemen
pelaku adalah membersihkan rumah (menyapu, mengepel, memasak untuk PRT yang
lain) dan melayani pemberi kerja (memakaikan lotion, membantu majikan
mandi, menyiapkan obat-obatan milik pelaku. § Korban
selama bekerja 3 bulan di apartemen pelaku, hanya diberikan gaji selama 1
bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). § Teman PRT korban lainnya yang tinggal di
apartemen mempunyai tugas yaitu SUTRIYAH bertugas memasak dan merawat
majikan, EVI bertugas mengurus Anjing dan Balkon, INDA YANTI bertugas
bersih bersih dan merawat majikan, SAODAH bertugas Juru Masak, PEBRIANA
AMELIA alias DEWI bertugas bersih-bersih dan merawat majikan. § Pemberi kerja / pelaku memukul korban dengan
tangan kosong, menampar korban, dan mendorong korban sampai korban terjatuh
dan kepala korban terbentur dilantai. § Pelaku juga memukuli kepala korban dengan
kepalan tangannya, menjambak rambut korban kemudian membenturkan kepala
korban ketembok, balkon apartemen, memukul kepala korban dengan Tongkat
Garuk untuk Pijit, meremas kedua payudara korban dengan menggunakan kuku
hingga payudara korban memar dan lecet, berulang kali menampar pipi korban,
memukul muka korban dengan tinju tangan, menyundut tangan korban dengan
menggunakan jarum kasur, kemudian korban dirantai di kandang anjing yang
berada didalam apartemen pelaku dan pada malam harinya korban masih
dirantai oleh pelaku tanpa menggunakan pakaian (telanjang). Pelaku juga
menyuruh PRT yang lain memborgol dan merantai korban.
§ Pelaku merendam kaki korban dengan air panas.
Perbuatan pelaku tersebut dibantu oleh salahsatu PRT yang bekerja juga di
apartemen pelaku. PRT tersebut membantu pelaku dengan memiting tangan
korban dari belakang lalu pelaku memukul wajah dan kepala korban dari
depan. § Korban sebelum seminggu berhenti bekerja pada
bulan Desember 2022, oleh pelaku menyuruh korban bekerja tanpa menggunakan
pakaian (telanjang) setelah itu baru korban diperbolehkan berhenti bekerja. § Pada tanggal 10 Oktober 2022 saat ulang tahun
anjing milik pelaku, saat pelaku menyuruh korban mengambil kabel rolan
tetapi yang korban dengar disuruh mengambil koran setelah korban memberikan
koran ke pelaku, korban langsung di marahi oleh pelaku dengan perkataan
kasar: “goblok, budek” sambil memukul kepala korban dengan menggunakan
tangan kosong lalu menyulutkan rokok yang sedang dihisapnya (menyala) ke
kedua tangan korban secara bergantian diruang tamu”. Hal tersebut dilihat
PRT lainnya. § PRT lainnya juga sering mendorong korban dari
belakang hingga korban terjatuh (tersungkur) kedepan, menampar pipi korban
dan memukul kepala korban menggunakan sapu lidi dan menyundutkan rokok ke
kedua tangan korban. § Anak pelaku juga pernah melakukan
penganiayaan kepada korban (untuk waktu kejadiannya korban lupa), memukul
wajah korban dengan tangan kosong sebanyak 2 kali. § Pelaku juga menyuruh PRT lainnya dengan
beberapa kali memukul kepala dan menampar muka korban ketika korban salah
memberi makan anjingnya pelaku. § Pelaku juga menyuruh PRT lainnya untuk
memukul kepala korban dengan menggunakan besi, kemudian menendang korban
dan memborgol korban serta menyuapi paksa korban dengan cabai. § Korban selama bekerja tidak diberikan makanan
yang layak, namun hanya diberikan nasi basi dan garam dalam 1 hari. § Pelaku juga memaksa korban memakan kotoran
anjing milik pelaku. § Akibat kekerasan yang dialami korban adalah
mengalami berbagai luka lebam dan memar di sekujur tubuh korban yaitu di
bagian mata, pipi, kaki tangan, dan luka robek di bagian mulut bagian
bawah. Luka bakar di bagian kaki mulai dari bawah lutut hingga telapak
kaki, luka pada pergelangan tangan bekas tusukan jarum kasur, dan bekas
sulutan nyala rokok, luka cakaran dan lebam lainnya di sekujur tubuh
korban.
Kementerian
Ketenagakerjaan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap hak Pekerja Rumah
Tangga (PRT) dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT),
dengan pada ketentuan di Pasal 7 mengatur hak PRT yaitu:
a. memperoleh
informasi mengenai Pengguna;
b. mendapatkan
perlakuan yang baik dari Pengguna dan anggota keluarganya;
c. mendapatkan
upah sesuai Perjanjian Kerja;
d. mendapatkan
makanan dan minuman yang sehat;
e. mendapatkan
waktu istirahat yang cukup;
f. mendapatkan
hak cuti sesuai dengan kesepakatan;
g. mendapatkan
kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
h. mendapatkan
tunjangan hari raya; dan
i. berkomunikasi
dengan keluarganya.
Berdasarkan catatan
tahunan kasus LBH APIK Semarang di tahun
2022 bahwa angka kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) meningkat namun
perlindungan akan hak korban tidak diberikan secara maksimal, hal tersebut
seperti kasus yang didampingi oleh LBH APIK Semarang dalam nomer perkara:
254/Pid.Sus/2023/PN.JKT.Sel.
Kasus tersebut
menggambarkan bahwa masih ada nya kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT)
yang secara tidak manusiawi. Korban tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari pemberi
kerja dan anggota keluarganya, tidak mendapatkan upah sesuai perjanjian kerja, tidak
mendapatkan makanan dan minuman yang sehat, tidak mendapatkan waktu istirahat
yang cukup, tidak mendapatkan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan dan
mendapatkan beban kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja.
Dalam kasus tersebut
terhadap pelaku dikenakan dakwaan atas Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) dan Penganiayaan berat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), dengan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk para
Terdakwa selama 4 tahun penjara dan pembayaran Hak Restitusi untuk korban.
Kasus kekerasan terhadap
PRT pada nomer perkara: 254/Pid.Sus/2023/PN.JKT.Sel. memperlihatkan lemahnya
perlindungan hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang mengalami kekerasan
saat bekerja, dengan JPU yang menuntut rendah Para Terdakwa dan tidak
mencantumkan dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan tidak mengajukan
permohonan hak pemulihan psikologis korban, dan hak gaji korban yang tidak dibayarkan
saat bekerja. Hal tersebut karena belum ada nya aturan hukum khusus yang
mengatur mengenai perlindungan terhadap PRT.
PRT yang mengalami
kekerasan apabila tidak didampingi oleh kuasa hukum atau lembaga layanan yang
berprespektif gender maka hak-hak PRT tidak dapat terimplementasikan secara
maksimal antaralain hak pemulihan psikologis korban, hak gaji yang belum
dibayarkan, hak restitusi, hak rehabilitasi sosial, dan hak-hak lainnya korban
yang telah diatur didalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban.
Peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan perlindungan hak Pekerja Rumah Tangga (PRT), antaralain:
1) UUD 1945;
2)
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
tentang CEDAW (The Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women);
3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;
5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT);
6) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
7) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;
8) Undang-Undang No. 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum;
9) Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat;
10) UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
11) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2 Tahun 2015 tentang
Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga;
12) Peraturan Pemerintah No. 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum;
dan
13) Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi
dan Korban.
2.
Hambatan terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Dalam sistem hukum
peraturan perundang-undangan Indonesia, hierarki tertinggi ditempati oleh UUD
NRI 1945 yang menjadi sumber hukum bagi seluruh peraturan di bawahnya. Alinea
keempat Pembukaan UUD NRI 1945 jelas mengatur tujuan negara adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi warga negara Indonesia,
yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 28A sampai Pasal 28I UUD NRI 1945.
Pasal 28B Ayat (2) UUD
NRI mengatur terkait hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang
kemudian diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengatur perlindungan bagi orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Namun, frasa “menetap” dalam peraturan tersebut hanya berlaku bagi PRT yang
bekerja secara penuh waktu dan menetap di suatu rumah tangga. Sedangkan
kerentanan terhadap terhadap ancaman, diskriminasi, dan kekerasan terjadi pada
PRT baik yang bekerja penuh waktu maupun paruh waktu.
Hak lainnya yaitu hak
atas kerja dan penghidupan layak bagi PRT yang diatur dalam Pasal 28D Ayat (2)
UUD NRI 1945, tidak dapat terakomodasi perlindungannya dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena lingkup kerja PRT yang
tergolong sebagai pekerjaan informal di sektor domestik tidak bisa disamakan
dengan pekerja formal di sektor barang dan jasa.
Hambatan terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah:
1) faktor
ekonomi
yang berkaitan dengan lapangan kerja yang
terbatas merupakan faktor utama yang menyebabkan para pekerja harus memilih
untuk bertahan dengan pekerjaan yang sedang dijalankan walaupun upah yang
dibayar rendah. Tidak adanya batasan jangka waktu berapa lama mereka akan
bekerja,
2) faktor
rendahnya pendidikan; dan
3) faktor
kurangnya pengetahuan hak-hak dari PRT
Kurang nya pengetahuan PRT terhadap
hak-hak nya sebagai PRT membuat pemberi kerja sering mengabaikan hak dan
kewajiban PRT. Selain itu, faktor persaingan dan faktor pemberi kerja membayar
upah juga menjadi hambatan dalam hal pemenuhan hak PRT.
4) Tidak
adanya payung hukum khusus bagi PRT yang bekerja baik di dalam negeri maupun di
luar negeri, menjadi sangat rentan terhadap pelanggaran atas hak-hak mereka di
seluruh tahapan siklus kerja.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Tinjauan Hukum terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)
1)
Masih ada nya kekerasan
terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang secara tidak manusiawi.
2)
Angka kekerasan terhadap
Pekerja Rumah Tangga (PRT) meningkat namun perlindungan akan hak korban tidak
diberikan secara maksimal.
3)
Indonesia menjadi negara
yang kurang baik dalam pemberian perlindungan hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)
meskipun Kementerian Ketenagakerjaan dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan mengeluarkan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga (PRT), namun peraturan tersebut belum dapat memberikan
sifat memaksa dan mengikat bagi pemberi kerja dan penyalur kerja.
2.
Hambatan terhadap
Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga (PRT)
1)
faktor ekonomi;
2)
faktor rendahnya pendidikan;
3)
faktor kurangnya
pengetahuan hak-hak dari PRT; dan
4)
tidak adanya payung hukum
khusus bagi PRT yang bekerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
B. Saran
1.
Perlindungan hak Pekerja
Rumah Tangga (PRT) akan dapat terimplementasikan secara maksimal apabila telah
ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai
perlindungan PRT, sehingga sebaiknya negara segera mensahkan Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
2.
Kesadaran dan perspektif
gender pada aparat penegak hukum terkait permasalahan kekerasan terhadap PRT
menjadi hal bagian penting dalam pelaksanaan perlindungan hak PRT, karena
apabila PRT yang mengalami kekerasan Ketika dalam proses litigasi untuk
penyelesaian permasalahannya tidak didampingi oleh kuasa hukum atau lembaga
layanan yang berprespektif gender maka hak-hak PRT tidak akan terinformasikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Adussallam. Victimologi. Jakarta: PTIK, 2010.
Agus Yudho
Hermoko. Asas proporsionalitas dalam kontrak komersil. Yogyakarta: Laksbang Mediatma,
2008.
Anonim. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Edisi Kedua, Cetakan 1. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.
Farhan. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Katalisnet, Jakarta: Sinar Grafika, 29 Oktober 2020.
Levit, Nancy and
Robert R.M Verchick. Feminist Legal
Theory A Primer. New York and London: New York University Press, Secon
Edition, 2016.
Maslihati
Hidayati, “Upaya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai Kelompok Masyarakat
Yang Termarjinalkan di Indonesia”, Vol 1 No.1 Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Pranata Sosial. Jakarta: 2011.
M. Echol, John
dan Hassan Saddily. Kamus Bahasa Kamus
Inggris Indonesia. Cetakan XIX. Jakarta: Gramedia, 1993.
Muryanti,
Perempuan Pedesaan, Yogyakarta: Bima
Sakti, 2012.
Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Ratna Saptari dan
Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial; Sebuah Pengantar Studi
perempuan, JakartaKalyanamitra-Grafiti,1997.
Sambas, Nandang. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di
Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Saparinah Sadli. Pekerja Rumah Tangga dan Pentingnya Pendidikan, Adil,
Gender. Jakarta: 1999.
Setiono. Supremasi Hukum. Surakarta: UNS, 2004.
Sri Turatmiyah.
Pengakuan Hak-hak Perempuan sebagai Pekerja Rumah Tangga. Jakarta: 2013.
Sali Susiana. Perlindungan
Hak Pekerja Rumah Tangga Inval Pada Saat Lebaran. Jakarta: 2013.
Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi.
Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-4, 2016.
B.
Peraturan Perundang-Undangan
Sekretariat RI. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. Jakarta: 1979.
Sekretariat
RI. UU
No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women). Jakarta: 1984.
Sekretariat RI. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: 2004.
Sekretariat RI. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Jakarta: 2006.
Sekretariat RI. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: 2004.
Sekretariat RI. UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Jakarta: 2011.
Sekretariat RI. UU No. 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: 2016.
Sekretariat RI. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002
tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: 2002.
Sekretariat RI. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Jakarta: 2017.
Sekretariat RI. Hak-hak anak dalam Konvensi PBB (Kepres No.
36 Tahun 1990). Jakarta: 1990.
Sekretariat RI. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Jakarta: 2017.
C.
Website
https://www.voaindonesia.com/a/jala-prt-400-an-pekerja-rumah-tangga-alami-kekerasan-pada-2012-2021/6399197.html,
diakses di Semarang pada tanggal 20 April 2023
https://tirto.id/daftar-negara-terbesar-di-dunia-indonesia-nomor-berapa-gLHK,
diakses di Semarang pada tanggal 20 April 2023.
D. Lain-lain
Catatan laporan
tahunan LBH APIK Semarang di tahun 2016
– 2019.
Catatan kasus
yang didampingi oleh LBH APIK Semarang di Tahun 2016 - 2022.
[1]https://tirto.id/daftar-negara-terbesar-di-dunia-indonesia-nomor-berapa-gLHK,
diakses di Semarang pada tanggal 20 April 2023.
[2]https://www.voaindonesia.com/a/jala-prt-400-an-pekerja-rumah-tangga-alami-kekerasan-pada-2012 2021/6399197.html,
diakses di Semarang pada tanggal 20 April 2023
[3]Agus Yudho Hermoko, Asas Proporsionalitas dalam kontrak komersil,
(Yogyakarta: Laksbang Mediatma, 2008), halaman 45.
[4]M. Echol, John dan
Hassan Saddily, Kamus Bahasa Kamus
Inggris Indonesia Cet. XIX, (Jakarta: Gramedia, 1993).
[5]Levit, Nancy and Robert
R.M Verchick, Feminist Legal Theory A
Primer, (New York and London: New
York
University Press, Secon Edition, 2016).
[6]Katalisnet,
29 Oktober 2020, halaman 1.
[7]Jl. Jenderal
Gatot Subroto Jakarta 10270. Gedung Nusantara III, (Jakarta, Dewan Perwakilan
Rakyat RI), halaman 9.
[8] Muryanti, Perempuan Pedesaan, (Yogyakarta: Bima Sakti, 2012),
halaman 41.
[9] Ratna
Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial; Sebuah
Pengantar Studi perempuan, (Jakarta: Kalyanamitra-Grafiti, 1997), halaman
358.
[10] Bernard L.Tanya, Yoan
N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori
Hukum. Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Generasi, Jakarta: Genta
Publishing, 2010, halaman. 72-73.
[11]Purwanti,
Ani, Pancasila dan Keadilan Gender : Refleksi dari Pemenuhan Hak
Konstitusional Perempuan di Indonesia, (Semarang: UNDIP Press, 2022),
halaman 24 – 27.
[12]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, halaman 600.
[13]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Atmajaya, 2002, halaman. 41.
[14] Satijipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2014, halaman 53.
[15] Ibid, halaman 69
[16]Maslihati
Hidayati, “Upaya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai Kelompok Masyarakat
Yang Termarjinalkan di Indonesia”, Vol 1 No.1 Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Pranata Sosial. Jakarta: 2011.
[17]Saparinah Sadli,
“Pekerja Rumah Tangga dan Pentingnya Pendidikan, Adil, Gender”. Jakarta: 1999,
halaman 23.
[18]Sri Turatmiyah, “Pengakuan
Hak-hak Perempuan sebagai Pekerja Rumah Tangga”. Jakarta: 2013, halaman 49.