Rabu, 13 Desember 2017

Peringati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2017, LBH APIK Semarang Menggalang Solidaritas Perempuan untuk Korban Kekerasan Melalui "GARAGE_SALE"

Tahun 2017, dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, LBH APIK Semarang bersama Jaringan kerjanya mengadakan beberapa rangkaian kegiatan. Kegiatan yang diusung bertema “menggalang solidaritas perempuan untuk korban kekerasan”. Beberapa kegiatan diantaranya adalah GARAGE_SALE, Trauma Healing, Konsultasi Hukum, Konsultasi IVA dan HIV AIDS, Belajar BISINDO, Aksi CFD menolak kekerasan, menggalang tanda tangan, Flashmob, Street Dance Theatre, Dance 4 Live.
Garage_sale merupakan kegiatan penggalangan dana melalui penjualan barang-barang hasil donasi dari donatur yang peduli terhadap korban kekerasan. Hasil penjualan barang akan didonasikan kepada korba. Open donasi garage sale dibuka mulai tanggal 20 Oktober s.d 20 November 2017, jikapun masih ada yang mau berdonasi tetap kami terima. Pembukaan penjualan garage_sale pada tanggal 29-30 November, 8 dan 10 Desember 2017. Jika barang masih tersisa akan dibazarkan di posko-posko dampingan LBH APIK Semarang atau acara tertentu.

Acara rangkaian HAKTP didukung oleh DP3A Kota Semarang, PKK Kota Semarang dan kontribusi dari jaringan kerja LBH APIK Semarang. Saat aksi Car Free Day (CFD), Minggu 10 Desember 2017 di Depan Dinas Sosial Jateng Jalan Pahlawan, turut bergabung Jaringan Perempuan Pegunungan Kendeng dalam aksi. Mereka menyuarakan tentang perjuangannya menolak pabrik semen yang akan merusak kelestarian alam lingkungan. Turut hadir pula Ibu Krisseptiana atau lebih akrab dipanggil Bu Tia juga turut hadir. Beliau mendukung dengan kegiatan yang digelar dengan tema menggalang solidaritas untuk korban kekerasan. Bentuk dukungannya dengan ikut membubuhkan tanda tanggannya diatas kain yang sudah disiapkan oleh panitia. Beliau turut mengkampanyekan stop kekerasan terhadap perempuan. #GERAKBERSAMA


















Pelatihan Bantuan Hukum Gender Struktural (BHGS) dalam Rangka Peningkatan Layanan Publik Dalam Proses Peradilan


Asosiasi LBH APIK Indonesia dan LBH APIK Semarang mengadakan Pelatihan BHGS (Bantuan Hukum Gender Struktural) pada tanggal 24 hingga 27 Juli 2017 di Hotel Pandanaran, Semarang. Peserta yang mengikuti  pelatihan terdiri dari Staf LBH APIK Semarang, Aparat Penegak Hukum, Pemerintah, LSM, Ormas dan Media Massa.  

Tujuan dilaksanakan Pelatihan BHGS adalah :
1. Mensosialisasikan konsep BHGS kepada peserta pelatihan.
2. Meningkatkan kapasitas peserta dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan menggunakan konsep kerja BHGS.
3. Meningkatkan kemampuan peserta untuk melakukan analisa dan advokasi kebijakan dengan menggunakan konsep kerja BHGS.

Empat wilayah di Jawa Tengah masuk dalam daftar zona merah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ke empat daerah tersebut adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Kendal. Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2015 sebanyak 2.466 kasus, 1.971 merupakan kekerasan terhadap perempuan dan 757 kekerasan seksual terhadap anak (Sumber : Media Jateng 17/05/2016). Angka ini sangat mungkin belum merupakan angka riil karena masih banyak kekerasan yang terjadi tidak dilaporkan atau tidak diketahui publik.

Dalam upaya mencari keadilan, perempuan korban kekerasan seringkali mengalami hambatan untuk memperoleh hak-haknya sebagai korban, baik melalui penyelesaian melalui litigasi dan non litigasi, serta melalui peradilan perdata maupun pidana. Dari pengalaman LBH APIK dalam penanganan kasus, budaya patriarkhi masih kental mempengaruhi sistem hukum di Indonesia, baik di ranah substansi hukum, struktur hukum serta budaya hukum. Sistem hukum yang bias gender ini sangat merugikan perempuan korban sehingga seringkali kehilangan hak-haknya karena sistem hukum yang tidak mendukung untuk memperoleh akses keadilan bagi dirinya.

Selain persoalan yang langsung berkaitan dengan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan, masalah akses hak dasar melalui layanan publik juga berkontribusi dalam menghambat perempuan korban memperoleh keadilan. Salah satu dari hak dasar tersebut adalah terhambatnya akses atas identitas hukum yang kadang menyebabkan perempuan miskin korban kekerasan tidak dapat menyediakan dokumen lengkap syarat untuk memperoleh bantuan hukum cuma-cuma yang menjadi haknya.  Masalah akses identitas hukum ini juga berkontribusi terhadap kerentanan situasi perempuan menjadi korban kekerasan dan kehilangan hak-haknya sebagai korban, misalnya tidak adanya akses akta perkawinan, akta perceraian, Kartu Keluarga dan dokumen identitas hukum lainnya.

Berdasarkan pengalaman perempuan ketika berhadapan dengan hukum, LBH APIK mengembangkan konsep bantuan hukum gender struktural (BHGS) sebagai konsep kerja dalam memberikan layanan terhadap korban kekerasan berbasis gender. Konsep BHGS menggunakan pengalaman penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai pintu masuk untuk melakukan advokasi perubahan sistem hukum yang adil dan setara gender. Beberapa produk hukum dan kebijakan yang didorong APIK dari konsep kerja BHGS ini, salah satunya adalah advokasi lahirnya UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.


Pelatihan BHGS difasilitasi oleh Ibu Nursyahbani Katjasungkana koordinator Nasional APIK Indonesia dan Asnifriyanti Damanik pengurus Asosiasi LBH APIK. Beberapa materi yang diberikan saat pelatihan diantaranya adalah memahami gender (perbedaan seks dan gender, gender dan seksualitas, mengapa gender dipermasalahkan, bagaimana gender dikonstruksikan (pranata sosial yang mengkronstruksikan gender dalam sistem hukum dan BHGS sebagai konsep APIK. 

Asnifriyanti Damanik sekaligus pengawas LBH APIK Semarang menjelaskan dalam materi gender dimana dalam kasus persidangan khususnya di Pengadilan Agama dalam putusannya terdapat ketidakadilan gender. Ketika putusan cerai, suami dalam pemberian nafkah diberikan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan kemampuan istri dinilai dari pelayanannya dalam rumah tangga. Sehingga muncul anggapan ketika istri tidak mampu menjalankan tugasnya maka istri tersebut mendapatkan stigma negatif dan pantas untuk diceraikan. 

Saat pelatihan berlangsung, Ibu Nursyahbani menyampaikan mengenai identitas gender. Meskipun PBB sudah memberikan pengakuan untuk transgender melalui Konvenan ICESCR tahun 1966. Indonesia sebagai negara hukum dan penegak HAM telah meratifikasi. Namun pemerintah dalam hal ini belum dapat berbuat banyak terhadap kaum LGBT. Beliau mengatakan di beberapa negara seperti Nepal dan Pakistan sudah mengakui identitas gender secara resmi. 

Gender Dalam Perspektif Budaya

Materi gender dalam perspektif budaya disampaikan oleh Dewi Chandraningrum dari Jejer Wadon. Pada hari kedua suasana pelatihan seperti khalayak kuliah umum. Dengan membawa scraft gambar beberapa pejuang perempuan yang diperlihatkan peserta pelatihan, beliau menjelaskan sejarah bagaimana gender sangat berkaitan erat dengan sejarah. Beliau menyampaikan bahwa pengertian gender sendiri tidak lepas dari yang namaya budaya. Hal ini dikarenakan gender sendiri dibentuk atas konstruksi yang timbul dari sosial, budaya dan agama. Namun sebelum lebih jauh melihat budaya mempengaruhi gender akan lebih baik kalau kita pahami dulu apa itu budaya. Menurut Dewi, budaya ialah ikatan kompleks yang meliputi material, spiritual dan lain-lain. Sedangkan kebudayaan yaitu sesuatu yang berada di luar diri kita. Sehingga gender dan budaya mempunyai ikatan yang sangat erat. Ketika Das Sein dan Das Sollen bertolak belakang maka itulah dinamika kehidupan yang mempunyai keanekaragaman budaya. Budaya itu akan selalu ada selama manusia itu ada, karena budaya mempunyai sifat yang tidak stagnan. Hal ini juga dipengaruhi oleh lekatnya budaya dan sejarah. 

Budaya dan gender mempunyai lokasi di tubuh. Tubuh merupakan tempat lahirnya kebudayaan. Budaya merasakan kemunduran ketika berbicara mengenai tubuh dan seksualitas. Hal ini dikarenakan masih adanya mitos-mitos mengenai seksualitas yang akan menimbulkan suatu ketidakadilan terutama bagi perempuan. Berbicara budaya bukan mengenai sistem. Jka berbicara budaya dan sistem maka yang akan muncul ialah ketidakadilan yang bersarang didalamnya. Karena budaya mengenai diri kita bukan diluar. Advokasi budaya ialah menganalisis lebih dalam mengenai budaya itu sendiri dan mengembalikan fitrah budaya tanpa mitos.

“Tubuh dan seksualitas masih menjadi mitos di masyarakat ketika keperawanan dijadikan tolak ukur keemasan seorang perempuan, sehingga ketika perempuan itu sudah tidak perawan maka hilang sudah harga dirinya. Hal inilah yang membuat kebanyakan korban pemerkosaan menjadi frustasi dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa”


Gender Dalam Perspektif Agama

Agama seringkali dijadikan alat untuk melegitimasi ketidakadilan gender untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Materi gender dalam perspektif budaya disampaikan oleh Jauharotul Farida dari Pusat Studi Wanita UIN Walisongo Semarang dan anggota dewan pengawas LBH APIK Semarang. Beliau menyampaikan bahwa agama akan ramah gender tergantung dari interpretasinya. Persoalan yang sering terjadi ketika mengterpertasi ajaran agama terletak pada metode penafsirannya. Metode yang berbeda maka pemahama yang dihasilkanpun akan berbeda pula. Hal seperti ini tidak hanya terjadi dalam agama Islam saja. Namun di setiap agama mencoba untuk menafsirkan ulang ajaran agama agar tidak menimbulkan ketidakadilan gender. 

“Pertanyaannya, apakah Islam itu ramah gender atau bias gender? Itu tergantung pada metodologi pemahamannya”

Agama yang ramah gender itu bervariatif. Sehingga banyak ditemukan praktek-praktek agama yang bias gender. Seperti halnya yang ada dalam ajaran Islam terdapat banyak hal yang bisa gender, diantaranya isu mengenai pemahaman memakai hijab, batas aurat perempuan, kepemimpinan perempuan, pembagian waris, poligami, kesaksian perempuan, imam sholat, dan lain-lain. Pada dasarnya agama sudah mengatur secara konsep mengenai gender. Namun pemahaman dari manusia itu sendiri yang masih berbeda. Nilai-nilai Islam adalah rahmatan lil alamin yaitu keadilan, kesamaan, kemanusiaan dna kesejahteraan. Banyak tafsir agama yang diplintir sehingga merugikan perempuan.

Gender Dalam Perspektif Hukum

Kekerasan berbasis gender yang korbannya perempuan dan atau anak terjadi karena ketimpangan dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam relasi personal, emosional antara laki-laki dan perempuan dan baik laki-laki dan perempuan terhadap anak. Ruang lingkupnya bisa privat (domestik) maupun publik. Pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak  berbasis gender diantaranya bisa dilakukan oleh anggota keluarga, masyarakat dan atau mereka yang bertindak atas nama atau sesuai dengan budaya, kepercayaan atau institusi pemerintah. Kekerasna berbasis gender merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang menghambat perempuan dan anak dalam melakukan tanggungjawab dan memperoleh hak-haknya sebagai warga negara.
       
 Prof. Agnes Widanti guru besar Fakultas Hukum UNIKA Soegijapranata dan juga pembina LBH APIK Semarang sebagai narasumber materi   gender dalam perspektif hukum. Saat ini sudah ada beberapa kebijakan  misalnya UU No.7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW, UU No.39/1999 tentang HAM, UU No.23/2003 tentang Perlindungan Anak,  UU No.23/2004 tentang PKDRT, UU No.39/2006 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri, UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.4/2006 tentang Penyelenggaraan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No.21/2007 tentang PTPPO, KUHP dan KUHAP.

Prof. Agnes Widanti melihat grafik pengaduan kasus KDRT di LBH APIK naik karena semakin tinggi sistem patriarki semakin banyak korban. Beliau juga menyampaikan kasus yang terlaporkan di LBH APIK merupakan keterlibatan Paralegal dalam pendampingan di wilayahnya, ini merupaka kerja keras dan upaya terus-menerus yang dilakukan LBH APIK agar dapat lebih dekat dan menyentuk perempuan yang menjadi korban kekerasan bisa dijangkau.

 “Saya bangga terhadap Paralegal LBH APIK yang rata-rata lulusan SD bahkan tidak sekolah dan bermodal mendapatkan pelatihan selama lima hari. Paralegal ini dapat mendampingi dan mendekatkan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan maupun akses pelayanan publik. Contoh misalnya perempuan yang bekerja menjadi PRT (Pekerja Rumah Tangga) secara tegas mengatakan menolak kekerasan. Hal yang sama dilakukan oleh perempuan nelayan juga terlibat dan bagi mereka banyak keuntungan yang didapat selama menjadi paralegal”

Salah satu peserta dari Polrestabes Semarang menyampaikan manfaat mengikuti pelatihan BHGS. Banyak hal baru yang diterima saat pelatihan berlangsung. Ia berharap kedepannya ada healing bagi APH (Aparat Penegak Hukum) terutama di kepolisian. “Setiap malam saya berdoa apakah yang saya lakukan ini sudah adil. Ketika menangani pelaku yang berlaku baik, namun kenapa dia sampai menjadi pelaku dan masuk penjara. Itu menjadi salah satu kendala dan harapan kedepannya”.

BHGS Sebagai Konsep APIK

Konsep kerja bantuan hukum gender struktural adalah pemberian bantuan hukum dengan perspektif gender. Penerima bantuan hukum adalah perempuan miskin yang mengalami ketidakadilan gender. Proses penanganan kasus, pengalaman perempuan ketika bersinggungan dengan hukum, sikap dan perilaku APH (aparat penegak hukum) serta budaya hukum dicatat dan didokumentasikan. Hasil proses penanganan kasus tersebut dikaji dan dianalisa kemudian menjadi bahan advokasi sistem hukum (subtansi, struktur dan budaya hukum). Dalam BHGS penanganan kasus menjadi pintu masuk untuk perubahan sistem hukum ke arah sistem hukum yang steara dan adil gender.

BHGS berbeda dengan bantuan hukum biasa. Dalam pendekatan BHGS ada pemberdayaan hukum kepada korban/klien/mitra maupun masyarakat sekitar korban. Korban menjadi subyek dan bukan obyek hukum, diajak terlibat dalam penanganan kasusnya. Pengalaman dan suara korban didengar dan dipertimbangkan.
Kerja-kerja BHGS harus dikelola agar berhasil mencapai tujuan. Pemberian bantuan hukum kepada perempuan pencari keadilan merupakan garda depan dari kerja BHGS. Penanganan kasus harus mengacu pada standar operasional prosedur (SOP) penanganan kasus. Setiap pendamping harus memahami prinsip-prinsip pendampingan dan melakukan pendokumentasian penanganan kasus dengan detail dan lengkap. Selain pendamping dan advokad, ketersediaan sumber daya seperti analisis, peneliti, dokumenter dan legal drafter sangan menentukan keberhasilan kerja-kerja BHGS.
Prinsip-prinsip kerja BHGS meliputi:
1.   Sasaran adalah korban ketidakadilan gender yang mengalami kemiskinan struktural (terutama kelompok yang miskin secara ekonomi)
2.   Non diskriminasi (tidak membedakan pada status perkawinan, status ekonomi sosial, kondisi seksualitas termasuk orientasi seksual, ras, dll)
3.   Kasus yang mempunyai nilai strategis (berimplikasi luas pada perubahan kebijakan dann mempunyai tingkat replikasi yang tinggi/dialami oleh banyak orang)
4.   Victim oriented (berpusat pada korban)
5.   Kesetaraan
6.   Kerahasiaan (kasus dapat dibahas dalam bedah kasus dll, dengan tetap menjaga identitas klien, demi kepentingan klien dan atas persetujuan klien (concent)
7.   Pro aktif untuk menangani kasus-kasus yang bernilai strategis tinggi.
Ada tiga relasi kuasa yang bisa kita lihat, suami-istri, majikan-buruh, masyarakat-negara. Relasi kuasa tersebut yang tidak seimbang sudah didefinisikan oleh sistem hukum peraturan perundang-undangan. Misalnya dalam kasus perceraian, apabila terdapat unsur KDRT maka ada tambahan uang mut’ah, biaya kursus, lihat pada konvensi CEDAW. Peraturan lain juga bisa dilihat pada Buku II Pedoman Administrasi PA dimana seorang Paralegal bisa mendampingi dalam persidangan. Ketika akan mengadvokasi reformasi hukum lihat peraturan-peraturan terkait, dokumentasikan perilaku dan administrasi sistem peradilan, terkait visum di RS lakukan pula visum adrevertum fisik dan visum atpsikiatrikum. Hukum pidana tidak mengenal pemaksaan dalam perkawinan, oleh karena itu pasal 285  dalam hal ini bertentangan dengan CEDAW pasal 16.
Dalam advokasi, pilihan kata sangat penting (kata Mbak Dewi Chandraningrum pilihlah kata yang bisa diterima). Hukum bukan suatu produk yang netral namun merupakan suatu produk yang politik.

Semarang, 28 Juli 2017
Berita pelatihan: