Senin, 22 Februari 2016

Kekerasan Seksual dan Pencitraan Tubuh Perempuan


oleh:
Soka Handinah Katjasungkana[1]

Data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin memprihatinkan. Termasuk didalamnya yang paling mengerikan adalah kekerasan seksual. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa kasus ini selalu mengintai perempuan dan anak kita, dan kasus-kasus yang ada menunjukkan bahwa tidak hanya anak perempuan melainkan anak laki-laki juga menjadi korban. Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan sepanjang pada tahun 2010, 50 % diantaranya adalah perkosaan. Pulau Jawa adalah wilayah dengan korban kekerasan terhadap perempuan tertinggi, disusul Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Dari jumlah tersebut terlihat bahwa setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, jadi hampir setiap jam jatuh satu orang korban kekerasan seksual. Sedangkan data Bank Dunia, menunjukkan bahwa perempuan yang berumur antara 15-44 tahun lebih berisiko jadi korban perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga daripada kanker, kecelakaan, perang atau malaria.
Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah Angka kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2010 terdapat 2867 kasus di kabuaten/kota. Sedangkan untuk kekerasan seksual terdapat 854 orang korban. Sedangkan yang kasus eksploitasi mencapai 158 orang korban. Artinya setiap 8 jam jatuh 1 orang korban kekerasan di Jawa Tengah, anak-anak maupun perempuan dewasa.
Dari berbagai kasus tersebut, Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa kekerasan seksual memiliki 15 bentuk. Yaitu: Perkosaan, Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, Prostitusi paksa, Perbudakan seksual, Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi di Indonesia, Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, Penyiksaan seksual, Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual/diskriminatif, Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia) kekerasan seksual adalah suatu tindakan penganiayaan/perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, dan social, yang membahayakan kesehatan fisik, psikologis dan kehidupan sosial seseorang. Kekerasan Sexual adalah masalah hak azasi amusia dan kesehatan masyarakat yang serius dengan konsekuensi jangka panjang terhadap fisik, mental serta kesehatan reproduksi dan seksual seseorang. Kekerraan seksual dapat terjadi dalam sebuah konteks keluarga, hubungan intim, atau struktur masyarakat atau selama masa konflik. Hal ini merupakan penderitaan yang dalam bagi seorang korban.
Selama ini ada mitos yang berkembang dalam masyarakat bahwa penyebab tindakan kekerasan seksual adalah berasal dari si korban itu sendiri. Artinya korban dianggap turut bersalah atau bahkan menjadi pihak yang paling bersalah atas terjadinya kejahatan tersebut. Yaitu karena penampilan korban yang dianggap seronok, seksi dan “mengundang”, seperti baju yang terbuka, rok mini, riasan wajah yang “berlebihan” dan sebagainya. Padahal dari berbagai kasus kekerasan seksual tersebut justru menunjukkan bahwa korban tidak mengenal usia, artinya korban banyak yang berusia pra pubertas atau bahkan balita, ang secara biologis diketahui belum mempunyai dorongan birahi, jadi bagaimana mungkin bisa melakukan “undangan”. Selain itu juga dikatui banyak korban yang samasekali jauh dari penampilan yang “disangka” selama ini, mereka berbaju tertutup, banyak diantaranya adalah santri yang menggunakan hijab), dan sama sekali tidak menggunakan riasan wajah. Disamping itu juga beberapa orang korban adalah anak laki-laki. Jadi penampilan korban sangat jauh dari gambaran yang berkembang di masyarakat selama ini.
Dari perkspektif feminis dipercaya bahwa berbagai kasus kekerasan seksual tersebut disebabkan disebabkan system patriarki (dan kapitalisme) telah menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, dan juga dijadikan ukuran baik buruknya moralitas sebuah masyarakat, dan karena itu harus dikendalikan oleh sebuah otoritas tertentu (baik budaya maupun politik). Karena itu tulisan ini bermaksud untuk mendiskusikan bagaimana tubuh perempuan selama ini diinterpretasikan dalam masyarakat dan direpresentasikan dalam budaya, termasuk media massa, sehingga mendorong terjadinya peristiwa kekerasan seksual terutama kepada perempuan.
Dalam studi feminisme juga terdapat berbagai pendapat yang berkembang. Seorang Feminist gelombang pertama Simone de Beauvoir menyatakan dalam bukunya The Second Sex bahwa bahwa woman is made, not born (perempuan dijadikan dan bukan dilahirkan). Jadi keperempuanan bukanlah sebuah takdir (nature) yang melekat pada manusia, melainkan sebuah ciptaan masyarakat (nurture). Begitu pula sifat-sifat atau ciri-ciri feminitas dan maskulinat adsalah dilekatkan melalui pola asuh dalam keluarega dan masyarakat.
Inilah yang menjadi titik awal adanya ketidakadilan berbasis perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gelombang feminis berikutnya, terutama dari kalangan akademisi menyatakan adanya relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan adanya berbagai bentuk ketidakadilan dalam masyarakat termasuk kekerasan (gender based violence). Kemudian juga berkembang wacana tentang seksualitas yang melengkapi analisa tentang gender, yang tidak hanya mengenai atribut gender atau ciri-ciri social, tetapi juga tentang tubuh dan ketubuhan, juga nilai-nilai budaya tentang tubuh.
Filsuf Post Modernisme Foucault menyatakan bahwa dalam tubuh manusia terdapat  hubungan antara kekuasaaan dan seksualitas. Dalam pengertian bahwa relasi kekuasaan telah mendasari konstruksi pengetahuan, dan digunakan untuk menerapkan normalisasi tubuh dan kebiasaan seksual. Jadi terdapat kekuasan yang telah merumuskan mana yang normal dan abnormal baik tentang kondisi tubuh dan proses-proses yang terjadi padanya termasuk aktivitas seksual. Pemikiran ini memberikan kontribusi untuk dapat memahami mengapa dan bagaimana tubuh perempuan diperlakukan selama ini.

Karena itu dalam melihat seksualitas perempuan, yang harus menjadi dasar pemahaman bahwa terdapat Gender Power Relations, dimana diantara laki-laki dan perempuan dan didalamnya terdapat relasi yang timpang, yang menciptakan struktur yang tidak adil. Dimana yang berada pada posisi superordinat menguasai pihak yang berada pada posisi subordinat. Dalam konteks relasi yang demikian itulah perempuan direduksi menjadi sekedar tubuh, dan menghapus potensi lainnya, termasuk intelektualitas bahkan spiritualitas. Tubuh perempuan dijadikan obyek seks semata.

Fakta alamiah tentang tubuh perempuan yang memiliki kemampuan reproduksi berupa menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui telah dijadikan dasar untuk memaknai tubuh perempuan sebagai sesuatu yang berbahaya dan tidak dapat dikontrol, bahkan dianggap sama sekali tak dapat dipahami secara rasional. Di pihak lain tubuh laki-laki dianggap aman terkendali dan bisa dipahami (masuk akal). Maka tubuh perempuan yang dianggap tidak stabil itu dianggap membutuhkan perhatian dan untuk itu dibuat seperangkat aturan guna mengendalikannya.

Berangkat dari anggapan itulah maka seksualitas laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Diantaranya adalah aktifitas seksual perempuan adalah terutama untuk prokreasi (meneruskan keturunan), harus selalu menjaga kesucian atau keperawanan (yang disetarakan dengan tidak robeknya selaput dara di pintu vagina), harus mempunyai malu dan nilai harga diri. Perempuan dan tubuhnya juga diasosiasikan dengan emosionalitas, proses alam (hal yang asli dan sederhana).

Secara berlawanan, seksualitas laki-laki  dimaknai dengan cara oposisi (berlawanan), dimana aktivitas seksual laki-laki adalah terutama untuk rekreasi (mengejar kenikmatan), laki-laki juga ditempatkan sebagai penjaga penjaga kehormatan perempuan. Laki-laki dan seluruh ketubuhannya diasosiasikan pada rasionalitas, diasosiakan dengan budaya serta pemikiran (hal-hal yang canggih).

Salah seorang feminis yang cukup terkemuka Naomi Wolf dalam karyanya ‘The Beauty Myth’ mengemukakan hal –hal yang membantu kita untuk memahami bagaimana tubuh perempuan dimaknai. Telah terdapat upaya menentukan standar tubuh perempuan antara yang ideal versus tubuh sub normal, dimana yang sub normal (berkulit gelap, gendut, disabilitas dan seterusnya) dianggap aseksual (tidak seksi). Dalam situasi seperti inilah yang memungkinkan adanya eksploitasi perempuan oleh industri pakaian dan kosmetik. Industri kecantikan bernilai milyaran dollar dan berdimensi global jelas telah meraup kekayaan yang berlimpah atas berlakunya nilai-nilai ini.

Selain itu industri kapitalistik juga telah menciptakan kebutuhan dan istilah-istilah baru tentang tubuh dan wajah yang ideal, yang dianggap paling cantik dan harus diraih oleh semua perempuan agar meraih prestise tertinggi. Misalnya perempuan yang ideal harus menarik perhatian laki-laki, sebagaimana digambarkan dalam iklan-iklan di media massa.. Digambarkan juga bahwa standar kecantikan utamanya adalah tubuh yang langsing namun montok/sintal”, berkulit putih, berambut panjang dan lurus, wajah mulus, bibir tipis dan merah, awet muda, dan seterusnya. Karena itu secara intensif mereka industri kosmetik pun menjual berbagai produk yang menunjang “terciptanya imaji ideal” tersebut, yaitu krim pemutih, parfum dan shampo, krim pencegahan penuaan, pelurus rambut, pewarna rambut, pelangsing tubuh, krim pemontok payudara dan seterusnya.

Sebagai manusia yang juga berada berada di dalam system yang seperti itu, tentu saja kaum perempuan juga menginternalisasi ide-ide patriarkis tersebut dan beramai-ramai berusaha meraih standar yang ditentukan oleh kekuasaan. Karena itu perempuan sangat peduli pada tubuhnya, dengan melakukan berbagai tindakan untuk memperindah dan mempercantik demi mengejar “imaji ideal cantik yang diidamkan para laki-laki, hal inilah yang seolah-olah menjadi mitos kesejatian perempuan.

Selain aspek komersial tersebut, upaya ini tentu saja dapat diartikan mendukung diskriminasi terhadap perempuan karena melanggengkan dan memperkuat pandangan stereotype tentang perempuan. Selain itu juga dapat dikatakan mendukung rasisme (karena ciri-ciri etnis tertentu saja yang memenuhi kriteria kecantikan, sedangkan ciri-ciri ras yang lain tidak mendukung imaji kecantikan yang diusung secara dominan oleh industri), diskriminasi usia (karena yang tua dianggap jelek dan tidak menarik) dan istilah kenormalan tubuh (orang dengan disabilitas tubuh bukan bagian dari ciri-ciri cantik dan menarik).

Padahal mitos tentang kecantikan ini, sama sekali bukan tentang tentang perempuan, melainkan justru semata-mata tentang laki-laki dan kekuasaannya. Karena merekalah yang melakukan kontrol atas berlakunya sistem ini, melalui hukum, keluarga, perkawinan, pendidikan dan agama, media massa, industri prostitusi dan pornografi, pelayanan kesehatan. Dan mereka pula yang menikmati dan mendapat keuntungan dari tatanan yang seperti itu. Karena kaum perempuan seperti ”diharuskan” untuk berlomba-lomba dengan cara apapun, dengan berlama-lama di salon, melakukan pelangsingan tubuh (sedot lemak, atau pemakaian obat-obatan dan alat-alat lain) yang bisa membahayakan kesehatan, dan melakukan operasi plastik dan silikon yang juga beresiko membahayakan jiwanya.

Bahkan menurut Virgina Wolf fenomena ini dianggap sebagai salah satu bentuk fasisme, prasangka dan diskriminasi ras, karena kondisi tubuh yang dianggap paling ideal (paling cantik) adalah gambaran tubuh perempuan ras Kaukasia (Eropa). Jadi jelaslah bahwa mitos tentang kecantikan perempuan telah mengukuhkan diskriminasi berbasis gender, dan ras serta pemujaan terhadap ketubuhan perempuan sebagai obyek (mengesampingkan potensi intelektualitas perempuan).

Prostitusi
Prostitusi merupakan totalitas atas pelecehan, kekerasan dan pengabaian eksistensi perempuan. Di dalam sistem yang patriarki yang sekaligus kapitalistiklah yang mendorong perempuan (terutama dari kelompok miskin) untuk bisa menjadi obyek konsumsi. Sisi kemanusiaan perempuan telah direduksi hanya menjadi barang untuk memuaskan hasrat pembelinya.

Salah satu pokok pemikiran feminis adalah bahwa relasi persoal adalah bersifat politis, demikian juga dalam masalah prostitusi. Relasi yang terbangun bukan bersifat mutual (saling menguntungkan antara pembeli, penjual, pemodal, perantara dan seterusnya), namun sebaliknya, bersifat sangat eksploitatif secara ekonomis dan non ekonomis (mental dan kekerasan). Realitas kehidupan perempuan dalam industri prostitusi  sangat rentan bahaya dan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan diskriminasi sosial, hukum, dan ekonomi.

Hal ini juga tidak lepas dari relasi kekuasaan global, antara negara kaya dan miskin, kemiskinan yang menyatu dengan adanya pelabelan perempuan terhadap perempuan, yaitu ada perempuan baik-baik (istri) dan ada perempuan pelacur, ditambah pula dengan struktur kekerasan terhadap perempuan (violence against women atau gender based violence) , termasuk kekerasan seksual. Karena itu kelompok ini lebih memilih istilah Perempuan yang Dilacurkan (disingkat Pedila) dan atau ESA (Eksploitasi Seksual Anak), istilah dalam bahasa Inggris Prostituted Women dan Prostituted Child untuk menggambarkan bahwa para perempuan dan anak yang terlibat dalam dunia prostitusi bukanlah atas kehendak mereka, melainkan ”dipaksa” oleh sebuah sistem ekonomi yang tidak adil terhadap mereka, yakni kemiskinan dan patriarki (menempatkan perempuan sebagai obyek), disamping itu juga menunjukkan bahwa negara telah mengabaikan tugasnya untyk memenuhi hak azasi warganegaranya terutama untuk bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja maupun perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan.

Assessment yang diadakan LBH APIK Semarang (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang dilacurkan di dua lokalisasi di Semarang menyatakan bahwa sebelum mereka jatuh ke dunia pelacuran, mereka mendapat kekerasan. baik berupa kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual dari pacar dan pelaku lain (keluarga, teman, tetangga, orang lain). Bahkan diantaranya diperkosa oleh lebih dari satu orang perilaku (salah seorang yang masih berusia 17 tahun mengakui diperkosa di tengah sawah oleh 3 orang pemuda dan ditinggalkan begitu saja).

Pornografi
Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani kuno: porne (pelacur) dan graphos (tulisan atau gambar), jadi artinya adalah tulisan tentang pelacur. Pada masa itu pelacur tidak dipandang dengan hormat karena mereka adalah budak seksual. Selain nitu dalam konotasi sejarah, kata pornografi juga berarti gambar perempuan sebagai kuda yang kotor. (Dworkin, 1981).

Saat ini pornografi menjadi industry komersial yang besar dan sangat menguntungkan. Untuk konteks Indonesia, walaupun sudah ada UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, namun kalangan anak-anak masih mendapat perlindungan yang berarti, sehingga mereka sangat mudah mengakses berbagai jenis materi pornografi. Sebab UU ini sangat sibuk menyalahkan perempuan dan tubuhnya. Industri pornografi ini melibatkan perempuan terutama sebagai pemainnya (lebih tepatnya sebagai obyek), dengan penggambaran yang tidak jauh dari pemaknaan dominan tentang perempuan dan tubuhnya bahkan dengan diselingi dengan fantasi dan atau tindakan nyata kekerasan.

Pada dasarnya pornografi berada pada system ekonomi dan politik yang bekerja untuk menempatkan perempuan sebagai obyek pemuas seksual sekaligus komoditas yang menguntungkan secara financial. Jadi hal ini semata tindakan eksploitasi terhadap perempuan (mengeruk keuntungan besar dari pemanfaatan baik citra keperempuanan maupun terhadap tubuh perempuan). Karena itu dalam materi pornografi (film, gambar dll) terutama ditujukan untuk melayani kepuasan laki-laki. Dan penggambaran yang dominan perempuan menjadi obyek seolah merupakan pembenaran kekerasan seksual terhadap perempuan (mendorong tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak). Tindakan menjadikan perempuan dan tubuhnya sebagai obyek adalah suatu pelanggaran hak perempuan atas tubuhnya. Jadi industry pornografi telah menjadikan perempuan sebagai korban.

Maka dari itu penolakan gerakan perempuan terhadap UU Pornografi, adalah semata karena isi dari UU tersebut yang tidak melindungi perempuan sebagai korban tetapi justru malah menempatkan perempuan sebagai pelaku kejahatan yang dituntut harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi pada dirinya sendiri. Secara paradigma hukum hal itu bertentangan dengan tujuan hukum yang harusnya melindungi pihak yang menjadi korban (kaum lemah, dalam istilah HAM, kaum rentan, vulnerable groups, termasuk di dalamnya adalah perempuan dan anak-anak).

Di lain pihak, secara paradoksal, tiba-tiba laki-laki dianggap sebagai pihak yang pasif (bahkan menjadi korban) atas tindakan perempuan perempuan yang “mengundang”. Karena itu laki-laki harus “dilindungi” dari para perempuan penggoda tersebut.  Karena mereka menganggap sumber masalah pada tubuh perempuan dan perempuan itu sendiri. Karena itu perempuanlah yang harus diatur dan dikendalikan. Perilaku perempuan harus dibatasi, kalau tidak akan menimbulkan masalah. Bentuknya antara lain adalah tubuh perempuan harus ditutupi. Kalau tidak perempuan tidak bersedia, maka dia harus dikenai sanksi atau dilarang tampil di depan umum.




[1] Penulis adalah Ketua Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Provinsi Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pengawas Asosiasi LBH APIK Indonesia.

Minggu, 21 Februari 2016

TENTANG LBH APIK SEMARANG

LBH APIK Semarang
Dibentuk pada 30 Juni 2004 sebagai respon atas kebutuhan perempuan miskin di Semarang pada khususnya dan di Jawa Tengah pada umumnya yang menjadi korban ketidakadilan untuk menempuh jalur hukum. Berdasarkan nilai-nilai keadilan, kerakyatan, persamaan, kemandirian emansipasi, persaudaraan, keadilan sosial, non sektarian dan menolak kekerasan serta memenuhi kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. LBH APIK Semarang memberikan bantuan hukum bagi perempuan dan anak dengan konsep Bantuan Hukum Gender Struktural (BHGS). Yang digagas untuk mengisi ruang kosong dimana dalam struktur yang timpang dan masyarakat miskin menjadi korban.
LBH APIK Semarang adalah lembaga nirlaba yang mempunyai tujuan tercapainya suatu masyarakat adil makmur dan demokratis dimana keadilan gender terwujud dalam sistem hukum, sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan kebudayaan secara menyeluruh. Hak-hak perempuan terampas dan akses mereka untuk mendapatkan keadilan sangatlah rendah. Dalam situasi demikian, maka perempuan miskin menjadi korban yang utama. Hal itu disebabkan dominannya nilai-nilai budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Sehingga perempuan rentan menjadi korban ketidakadilan, yakni subordinasi, stereotype, diskriminasi dan kekerasan.

Divisi Pelayanan Hukum:
Melakukan pendampingan hukum bagi perempuan pencari keadilan yang mengalami ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan memberikan konsultasi hukum, pendampingan dan pembelaan, baik diluar maupun didalam pengadilan bagi perempuan. Kasus yang ditangani diantaranya adalah:

  1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
  2.  Kekerasan Seksual
  3.  Perempuan sebagai tersangka (seringkali korban membela diri dari tindakan kekerasan yang dialaminya).
  4.  Kekerasan Seksual terhadap anak perempuan.
  5.  Pelanggaran Hak Dasar Warga Negara
Selain itu juga melakukan Gugatan Class Action dan Legal Standing guna pembelaan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, perburuhan, tanah dan lingkungan.

Divisi Perubahan Hukum:
  1. Melakukan kajian kritis terhadap berbagai produk yang merugikan perempuan serta melakukan berbagai upaya untuk mengkampanyekan usulan-usulan perubahan kebijakannya.
  2. Melakukan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk merubah pola pikir sampai pada tingkat perubahan perilaku masyarakat sehingga akan mendukung terciptanya sistem hukum dan kebijakan yang adil yang berspektif gender.
  3.  Melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum melalui kegiatan diskusi, seminar dan lokakarya dalam rangka mewujudkan keadilan gender. 
  4.  Melakukan kerjasama dengan berbagai organisasi dan lembaga yang memiliki misi yang sama.
  5.   Melakukan pendokumentasian, menyusun dan menyebarluaskan informasi tentang penegakan hak-hak perempuan.

      Divisi Informasi, Dokumentasi dan Administrasi
  1.   Melakukan pengumpulan informasi dari berbagai media mengenai kekerasan berbasis gender dan hak-hak dasar kaum marginal.
  2.   Melakukan pengumpulan dokumentasi dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh semua divisi.
  3.  Mempublikasikan dan pendokumentasian kegiatan
  4. Administrasi surat menyurat
  5. Pendataan kasus melalui media online.
  6. Mengelola Medsos : Facebook, Twitter, Fanpage, Instagram, Youtube dan Blog.


Alamat : Jl. Poncowolo Timur 1 No. 409A Kelurahan Pendrikan Lor Kecamatan Semarang Tengah Kota Semarang, Jawa Tengah.
Telp/Fax (024)3510499. hotline : 082124117070 Email : apiksemarang@yahoo.com Facebook : Lbh Apik Semarang. IG: lbh_apik_semarang Twitter : @LBHAPIKSEMARANG